Senin, 18 Oktober 2010

MEMAHAMI DOA YABEZ





DOA YABES: DIABAIKAN ATAU DIEKSPLOITASI?

Akhir-akhir ini doa Yabes dipopulerkan lewat Bruce H. Wilkinson dan pelayanannya. Bukunya Doa Yabes: Menerobos ke Hidup Penuh Berkat amat laris, demikian juga macam-macam aplikasi dari buku itu seperti doa Yabes untuk remaja, untuk pemuda, untuk bahan renungan setiap hari dalam sebulan. Padahal, kisah tentang Yabes di seluruh Alkitab hanya tercatat dalam dua ayat. Selain itu, banyak tokoh lain dalam Alkitab yang doanya dikabulkan. Namun belakangan ini tokoh Yabes diekpos besar-besaran. Di samping itu, banyak juga orang menganggap doa Yabes terlalu dibesar-besarkan. Ron Gleason bahkan tidak merekomendasikan orang lain untuk membaca buku Wilkinson itu. Daripada kita masuk ke dalam pro-kontra yang membingungkan tentang doa Yabes, baiklah kita mempelajari teks Alkitabnya.
1 Tawarikh 4:9-10:
9 Yabes lebih dihormati daripada saudara-saudaranya, Ibunya memanggil namanya Yabes, “Karena aku melahirkan dengan kesakitan.”
10 Namun Yabes berseru kepada Allah Israel, “Semoga engkau memberkati aku berlimpah-limpah dan memperluas daerahku, dan kiranya tangan-Mu menyertaiku, dan menyingkirkan kemalangan supaya aku tidak sakit.” Allah mengabulkan permintaannya.

A.   Analisa Struktural, Retorik, dan Bentuk
Sedikit sekali yang dapat diketahui tentang tokoh Alkitab yang bernama Yabes. Ada yang mengaitkan Yabes dengan nama tempat berdiamnya kaum ahli kitab (1 Tawarikh 2:55; Curtis and Madsen 107). Namun keterkaitan itu diragukan (Williamson 59). Yang jelas Yabes termasuk suku Yehuda, suku Raja Daud. Dan salah satu fokus Kitab Tawarikh adalah dinasti Daud dan silsilahnya. Konteks 1 Tawarikh 4:2-23 adalah silsilah Yehuda dari cabang lain (begitu subjudul yang diberikan penerjemah LAI) dan Yabes termasuk di dalamnya. Struktur kalimat 1 Tawarikh 4:9-10 dapat diuraikan sebagai berikut.
Eksposisi (ay. 9a)
Ucapan langsung dari ibu Yabes (ay. 9b)
Ucapan langsung dari Yabes sendiri (ay. 10a)
Kesimpulan (ay. 10b)
Dalam eksposisi, dijelaskan Yabes istimewa dibandingkan saudara-saudaranya. Ihwal Yabes menjadi istimewa itu dijelaskan dalam kesimpulan, karena Tuhan mengabulkan doanya. Dalam bahasa Ibrani, panjang bagian eksposisi dan kesimpulan adalah sama, masing-masing terdiri atas empat kata yang dimulai dengan imperfek-konsekutif.

Bagian eksposisi dan kesimpulan membungkus bagian yang penting dari perikop itu, yakni ucapan langsung dari ibu Yabes maupun Yabes sendiri (ay. 9b-10a). Kedua ucapan langsung juga memiliki kesejajaran. Keduanya mengandung kata le’mor (“katanya”) dan masing-masing mengandung kata kerja qara’ (har. “memanggil”). Kata kerja itu dipakai ketika sang ibu menamakan anaknya Yabes dan ketika Yabes berseru kepada Allah.
Kembali kepada kesejajaran bagian eksposisi dan kesimpulan. Yabes lebih menonjol dan dihormati daripada saudara-saudaranya disebabkan Tuhan mengabulkan doanya. Itu berarti sebelum itu, Yabes telah berdoa (ay. 10a). Doa Yabes, doa yang dijawab Tuhan, membuat nasib hidupnya lebih baik daripada saudara-saudaranya. Secara retorik, isi doa Yabes mempunyai irama sajak yang diakhiri bunyi -i. Begitulah keistimewaan doa Yabes. Doa sendiri mendapat tekanan khusus dalam Kitab Tawarikh dan penulis Tawarikh meyakini betul khasiat doa (Brown 58; Williamson 59f.). Dalam kerangka itu, doa Yabes merupakan salah satu contoh doa yang dijawab Tuhan.

B.   Etimologi Yabes
Terdapat permainan kata yang amat jelas dalam bahasa Ibrani. Ketika lahir, anak itu diberi nama Yabes (#Be[.y:) sebab sang ibu melahirkan dengan kesakitan (‘oseb). Selanjutnya, Yabes mohon supaya dijauhkan dari sakit (akar kata kerja ‘sb). Jadi, nama Yabes pertama-tama untuk mengenang pengalaman sakit sang ibu ketika melahirkan anak itu. Yabes berarti “Ia (Yahweh) membuat sakit.” Mungkin proses persalinan yang dialaminya terlalu lama dan sang ibu mengalami kesakitan yang lama. Tetapi selain sang ibu, Yabes sendiri lahir menderita sakit atau setidaknya di bawah kondisi normal. Tidak dijelaskan bagaimana persisnya kondisi Yabes. Akibat proses persalinan terlalu lama, bayi di dalam perut bisa kekurangan oksigen. Akibatnya, ketika lahir badan bayi biru, tangan dan kakinya terkulai lemah, bayi tidak menangis menjerit-jerit sebagaimana normalnya, nafasnya satu-satu, denyut jantungnya lemah di bawah 100. Pokoknya, profil anak itu ketika lahir tidak menjanjikan masa depan yang cerah.
Pemberian sebuah nama yang ada asal-usulnya disebut etiologi dan biasanya dihubungkan dengan peristiwa yang memunculkan nama itu. Dalam Alkitab, hubungan antara nama dan peristiwa itu terlihat dalam bentuk akar kata yang sama. Nama tempat Bersyeba dikarenakan di tempat itu orang “telah bersumpah” (Kej. 21:31 < [syaba‘]). Betel disebut demikian karena tempat itu ternyata adalah “rumah Allah” (Kej. 28:17-19 < beyt-’el). Kitab I Tawarikh sendiri mengenal banyak etiologi. Nama Peleg dijelaskan sebab pada zamannya penduduk bumi terbagi (1:19 < [palag] “terbagi”). Nama Ahar (sebaiknya “Akar”; bdk. BIS “Akhan”) dijelaskan sebab ia yang mencelakakan orang Israel (2:7 < [‘akar] “mencelakakan”). Nama Yair dijelaskan sebab ia mempunyai 23 perkampungan (2:22 < ‘ir “perkampungan”). Nama Ge Harashim (NIV; TB “Lembah Tukang-Tukang”) dijelaskan sebab penduduknya terkenal berprofesi sebagai tukang (4:14 < harasim “tukang-tukang”). Nama Beria dijelaskan sebab malapetaka telah menimpa keluarga Efraim (7:23 < bera‘ah “malapetaka”).
Nama Yabes juga sebuah etiologi namun ada keistimewaannya. Penjelasannya tidak bersifat asal-usul namun akar kata yang dimaksud tidak persis sama. Secara etimologis, Yabes seharusnya berasal dari akar kata ‘sb (“sakit”). Dua kali akar kata itu muncul (ay. 9, 10) dan pada ayat 9 jelas dimaksudkan sebagai akar kata nama Yabes. Secara etimologis, terdapat kesalahan disengaja dengan mengasalkan Yabes dari akar kata ‘bs dan bukan ‘sb (Japhet 109). Antara ‘bs dan ‘sb perbedaannya adalah huruf kedua dan ketiga bertukar tempat. Pertukaran huruf seperti itu disebut metatesis. Sang ibu rupanya menghindar mengasalkan nama Yabes dari akar kata ‘sb (“kesakitan”)? Adakah maksud terselubung di balik penukaran huruf itu?
Penukaran huruf dalam kasus Yabes mungkin memperlihatkan kesadaran orang kuno akan kekuatan sebuah nama. Dalam tradisi Timur, nama tidak sekadar nama tetapi memiliki makna simbolik. Nama berkaitan dengan hidup sang penyandang nama, bahkan diyakini membentuk nasib orangnya. Lalu apa maksud pemberian nama Yabes yang seharusnya Yaseb? Rupanya sang ibu mengharapkan dengan penukaran huruf itu utusan dewa yang mendatangkan sakit tidak akan mengenali korbannya lagi sehingga loloslah anaknya dari sakit. Dalam bahasa kita, kira-kira daripada memberi nama “Malang,” namanya adalah “Lamang” dan anak itu tidak jadi malang.
Pemberian nama Yabes setidaknya memperlihatkan keyakinan sang ibu bahwa sakit yang dialaminya dan efeknya pada sang anak merupakan peristiwa yang tidak lepas dari tangan Tuhan. Menyadari kondisinya yang tidak normal seperti orang lain, Yabes ketika sudah dewasa berdoa memohon supaya nasibnya tidak malang dan tidak sakit-sakitan, sebuah harapan yang mungkin juga tersirat ketika ibunya memberikan nama Yabes kepadanya.

C.   Isi Doa
Berikut adalah lebih jauh lagi dengan isi doa Yabes. Yabes memohon Tuhan memberkatinya. Dalam bahasa Ibrani ’im-barek tebarakeni, adalah gabungan bentuk imperatif dan imperfek dari akar kata yang sama. Biasanya ’im berarti “jika.” Menurut Gesenius, diikuti imperfek arti ’im-tebarakeni adalah menyatakan keinginan (GKC §151e). Bentuk yang sama ditemui dalam Ams. 24:11 (“selamatkan”; BIS Mzm. 139:19 “Kiranya orang jahat Kautumpas”). Maka ’im-barek tebarakeni boleh diterjemahkan “berkati aku, berkatilah!”
Pengulangan akar kata kerja yang sama namun dalam bentuk imperatif dimaksudkan untuk menegaskan permintaan (Brown 56, cat. 10a, “may you indeed bless me”; bdk. BIS “Ya Allah, berkatilah aku”; NJPSV “Oh, bless me!”). Terjemahan TB (“Kiranya Engkau memberkati berlimpah-limpah”) memberikan tekanan pada berkat yang berlimpah-limpah dan urgensi dari permohonan untuk diberkati menjadi luput. Dengan berdoa ’im-barek tebarakeni, seolah-olah Yabes berkata, “Tuhan berkatilah aku, lakukanlah sekarang!” Terselip nada urgensi. Seakan-akan tanpa Tuhan memberkati, Yabes tidak tahu lagi harus mengandalkan siapa. Doa Yabes tidak basa-basi. Doa basa-basi adalah di mulut mengatakan “Tuhan berkatilah aku,” namun doa itu tidak disertai hati yang sungguh-sungguh berharap. Bila diberkati, baik. Bila tidak, juga tidak apa-apa. Sejujurnya orang yang berdoa cuma basa-basi tidak merasa hidupnya bergantung pada berkat Tuhan. Ia masih bisa berharap pada sumber-sumber lain yang kelihatan seperti kekayaan, kepintaran, posisi tinggi, kenalan orang penting, dan seterusnya.
Tetapi Yabes tidak bisa demikian. Tampaknya ia tidak punya pilihan lain. Diberkati Tuhan atau nasibnya akan tetap sakit seperti diisyaratkan dari nama pemberian ibunya. Tidak ada jalan lain selain mengandalkan Tuhan. Ia minta Tuhan memberkatinya. Ia berdoa untuk dirinya sendiri. Itu bukan ungkapan egoisme, tetapi ungkapan iman yang mengandalkan Tuhan. “Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah” (Yer. 17:7-8).
Kemudian Yabes merinci isi doanya: daerahnya diperluas, tangan Tuhan menyertainya, ia dijauhkan dari kemalangan dan sakit-sakitan.” Ia minta diberkati dalam tiga hal: perluasan daerah, kuasa Allah, dan jauh dari sakit.
Pertama, Yabes minta daerahnya diperluas. Sebagai anggota kaum Israel, ia maupun kaumnya tentu sudah mempunyai batas-batas wilayah sendiri. Namun, ia berdoa untuk wilayah yang lebih luas lagi. Dalam konteks Perjanjian Lama, perluasan wilayah tidak identik dengan penjajahan, melainkan supaya bangsa-bangsa lain mengenal Allah Israel. “Mintalah kepada-Ku, maka bangsa-bangsa akan Kuberikan kepadamu menjadi milik pusakamu, dan ujung bumi menjadi kepunyaanmu” (Mzm. 2:8). Ketika Yosua sudah lanjut usia, Allah berfirman kepadanya, “Engkau telah tua dan lanjut umur, dan dari negeri ini masih amat banyak yang belum diduduki” (Yos. 13:2). Lalu Tuhan menyebutkan beberapa daerah dari Filistin, Sidon sampai daerah orang Amori. Kedua, Yabes minta penyertaan kuasa Allah yang dalam hal ini dilambangkan dengan tangan Tuhan. Permintaan ini terkait dengan permintaan pertama, sebab perluasan wilayah tidak akan berhasil tanpa Allah yang berjalan di depan membuka jalan untuk itu. “Dengan Allah akan kita lakukan perbuatan-perbuatan gagah perkasa, sebab Ia sendiri akan menginjak-injak para lawan kita” (Mzm. 60:14). “Ya TUHAN, Engkau akan menyediakan damai sejahtera bagi kami, sebab segala sesuatu yang kami kerjakan, Engkaulah yang melakukannya bagi kami” (Yes. 26:12). Yabes menyadari keharusan bersandar pada kuasa Tuhan untuk perluasan daerahnya.
Akhirnya, isi doa yang ketiga adalah Yabes minta supaya tidak sakit sebagaimana dari namanya sebenarnya ia akrab dengan sakit. Tentu yang dimaksud bukan ia ingin menjadi manusia super yang tubuhnya kebal tidak bisa sakit. Yang dimintanya adalah tidak menderita karena sakit. Sakit dan menderita karena sakit adalah dua hal berbeda. Dalam hal ini, mungkin dapat dibandingkan dengan keinginan sebagian orang untuk tidak hidup lebih dari usia enam puluh tahun karena ia tidak mau tuanya sakit-sakitan. Atau, ada yang berharap lebih baik cepat mati saja daripada sakit-sakitan. Ada juga penderita kanker yang mau mati saja daripada menahan rasa sakit yang begitu hebat. Dalam hal Yabes, tidak jelas macam sakit apa yang mau dihindarinya. Sehubungan dengan permintaannya untuk wilayah yang lebih luas, hal itu baru dapat terjadi bila ia tidak mengalami kemalangan dan sakit macam-macam.

D.   Relevansi Doa Yabes
Begitulah Yabes memohon hidupnya diberkati dan itu menjadi kenyataan. Di telinga orang Israel, sungguh aneh orang bernama Yabes yang mestinya akrab dengan sakit-sakitan namun akhirnya menjadi lebih terhormat melebihi saudara-saudaranya. Kenyataan hidupnya paradoks dengan arti namanya. Dan, kunci sukses Yabes adalah karena ia mempunyai doa yang berani dan Tuhan mengabulkan doanya. Hidup Yabes berubah karena Tuhan mengabulkan doanya. Kendati penerapan doa Yabes tidak sama persis untuk masa kini yang konteksnya berbeda, secara prinsip doa Yabes tetap relevan.
1.    Prinsip Doa
Ada dua prinsip yang melandasi doanya. Pertama, ia mendoakan diri sendiri. Tindakan itu tidak egois bila ada keperluannya seperti Yabes. Janji pertama Allah kepada Abraham adalah memberkatinya, “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat” (Kej. 12:2). Maka, minta diberkati agar hidup dapat menjadi berkat sama sekali tidak salah. Sebelum menjadi berkat, kita harus diberkati dulu.
Kedua, kesederhanaan doa Yabes (minta diberkati) tidak berarti doa adalah perkara yang sederhana. Doa tidak pernah sederhana karena Allah, kepada siapa Yabes berdoa, adalah “Allah Israel.” Dalam Perjanjian Lama sebutan untuk Allah (’elohim) jarang berdiri sendiri, karena kata Ibrani yang sama bisa dipakai juga untuk menyebut allah-allah dari bangsa lain. Maka, sering ada embel-embel lain untuk kata “Allah,” misalnya Allah disebut Allah yang cemburuan, Allah Betel, Allah Yang Mahatinggi. Dalam doanya, Yabes menyapa dengan sebutan “Allah Israel,” sekaligus menggambarkan pengenalannya akan Allah nenek moyangnya, Allah yang dapat melakukan intervensi dalam sejarah hidup umat-Nya, Allah yang hidup dan berkuasa.
Ketika kita berdoa, pengenalan akan Allah adalah penting. Pengenalan itu seharusnya melandasi keyakinan kita dalam berdoa. Doa mesti disertai iman. Dengan iman, kita mengklaim janji Tuhan. Dengan iman, kita percaya bahwa Tuhan akan mengabulkan doa. Dengan iman, kita bersabar menunggu datangnya jawaban doa. Tuhan sering terhalang untuk mengubah hidup kita, karena kita terpaku pada apa yang ada dan mengabaikan potensi untuk perubahan dalam hidup kita. “Saya dilahirkan dari keluarga yang berantakan, maka sudah nasib kehidupan saya sekarang kacau.” “Saya dulu gagal, itu sebabnya sekarang saya gagal lagi.” Kita lupa bahwa di samping masa lalu ikut mempengaruhi masa sekarang kita, masa depan kita dapat berubah tidak seperti sekarang. Dengan kata lain, manusia sebenarnya tidak terbelenggu pada masa lalu. Tuhan dapat memutuskan belenggu-belenggu masa lalu dan untuk itu tidak ada yang mustahil bagi Allah. Maka yang lebih menentukan bukan masa lalu kita, tetapi apakah Tuhan mengubah kehidupan kita menjadi lebih baik.
Dalam dunia manajemen berlaku prinsip to make the impossible possible (membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin). Manajemen berupaya untuk menghapus kata “tidak” dari kata “mungkin.” Untuk Allah Yang Maha Kuasa, jauh lebih mudah lagi untuk menjadikan yang tidak mungkin menjadi mungkin. Karena itu, kita mesti optimis mengharapkan dari Allah perubahan yang lebih baik dalam hidup kita. Allah jauh lebih besar daripada para manajer. Allah adalah manajer dari alam semesta. Ia meninggikan mereka yang rendah, juga merendahkan mereka yang tinggi.
Tidak salah bila dikatakan bahwa Yabes memiliki ambisi yang secara fisiknya saat itu sebenarnya mustahil. Hanya karena intervensi Tuhan dalam kehidupannya, yang tidak mungkin menjadi mungkin. Itulah sebuah contoh ambisi yang dikuduskan (Sanders 115-23; Karman). Kata “ambisi” sering mendapat label jelek sebagai sesuatu yang tidak rohani. Dalam salah satu karya Shakespeare, Kardinal Wolsey berkata kepada Cromwell, “Cromwell, kuperintahkan untuk mencampakkan jauh-jauh ambisi; oleh dosa itu para malaikat jatuh.” Tetapi William Carey, bapak misi modern, berkata, “Harapkan perkara-perkara yang besar dari Allah dan lakukan perkara-perkara yang besar bagi Allah.” Sepanjang sebuah ambisi tidak bercita-cita untuk membangun kerajaan dan popularitas diri, tetapi untuk kemuliaan Tuhan, maka Tuhan mempunyai alasan untuk memberkati ambisi itu.

2.  Isi Doa
Yabes memohon supaya wilayahnya diperluas. Dalam konteks gereja, doa Yabes itu dapat dihubungkan dengan pesan Tuhan Yesus untuk memperluas kerajaan-Nya. “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk. 16:15). Rasul Paulus belum puas sebelum membawa Injil ke Roma (Rm. 1:10; 15:32), bahkan kalau bisa sampai ke Spanyol (Rm. 15:28), yakni ujung dunianya orang zaman itu. Utusan Injil kepada suku-suku Indian di Amerika, David Brainerd, berkata, “Saya tak peduli di mana atau bagaimana saya hidup, atau kesukaran apa yang saya tanggung, yang penting saya dapat memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus. Ketika saya tidur, saya memimpikan hal itu dan ketika saya terjaga, hal pertama yang saya pikirkan adalah memenangkan jiwa bagi Kristus.” Pengkhotbah besar kebangunan rohani George Whitefield juga mengatakan hal senada, “Jika Allah tidak memberikan saya jiwa-jiwa, saya percaya bahwa saya pasti mati.” Kerinduan supaya orang lain mengenal Tuhan Yesus tidak sama dengan Kristenisasi. Kristenisasi adalah usaha untuk mengkristenkan orang lain. Golnya adalah asal jumlah yang dibaptis banyak. Untuk itu, ditempuh berbagai macam cara dari paksaan seperti pada zaman kolonialisme Barat di Indonesia sampai kepada membujuk orang menjadi Kristen dengan iming-iming materi. Alkitab tidak pernah membenarkan Kristenisasi, tetapi yang dibenarkan adalah memberikan kesaksian tentang Tuhan yang hidup. Memberikan kesaksian adalah ungkapan hidup yang wajar dari seorang Kristen yang sudah mengalami anugrah Tuhan, anugrah yang begitu mahal dan istimewa.
Pada suatu kali Rasul Petrus dan Yohanes ditangkap penguasa majelis agama Yahudi karena pemberitaan mereka tentang Yesus Kristus. Ketika sidang digelar untuk mengadili kesalahan mereka, majelis agama tidak dapat berbuat apa-apa karena kedua rasul itu memaparkan bukti-bukti yang tidak dapat dibantah. Orang sakit yang sudah disembuhkan hadir di sana sebagai kesaksian hidup bahwa Yesus yang diberitakan benar-benar hidup dan berkuasa. Akhirnya, majelis agama melarang Petrus dan Yohanes untuk berbicara atau mengajar dalam nama Yesus. Apa jawab kedua rasul itu? “Tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar” (Kis. 4:20). Meski di bawah ancaman serius, mereka tetap bersaksi tentang Yesus yang sudah mati dan bangkit.
Tanpa kesaksian murid-murid Kristus seperti tercatat dalam Kitab Kisah Para Rasul, gereja tidak akan ada seperti sekarang. Kita sendiri mungkin masih menjadi penganut agama leluhur. Tetapi berkat kesaksian dan keberanian mereka, yang tidak segan-segan mati dalam kesaksiannya sebagai orang Kristen, gereja lahir dan berkembang. Di atas benih darah kaum martir itu gereja bertumbuh, kita disatukan dalam Tubuh Kristus.
Dalam pemberitaan Injil, dibutuhkan kuasa Tuhan. Ketika Yesus mengutus para murid-Nya untuk pergi menjadikan segala bangsa murid-Nya, Ia menjamin mereka dengan kuasa yang diperlukan. “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepada-Mu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:18-20). Tanpa dilengkapi dengan kuasa Tuhan, niscaya kita akan gagal melakukan mission impossible itu. Kuasa Tuhan dibutuhkan bukan untuk pamer tetapi demi efektivitas pelayanan dan hidup yang berbuah lebat bagi Tuhan.
Bencana, sakit, atau halangan dapat membuat kesaksian dan pelayanan kita tidak efektif. Di tengah-tengah berita kecelakaan setiap hari, bukankah suatu mukjizat Tuhan untuk menjauhkan kita dari semua itu. Keadaan baik kita dimaksudkan untuk bisa melayani dan bersaksi bagi Kristus yang hidup. Tidak salah meminta hidup sehat, namun mau apa dengan kesehatan kita? Bila untuk memuliakan Tuhan, untuk melayani orang lain, itu baik sekali.

E.   Evaluasi “Doa Yabes”-nya Wilkinson
Kini tiba saatnya kita mengevaluasi buku Wilkinson. Pikiran pokok Wilkinson lebih dijabarkan dalam buku-buku pendampingnya. Inti dari semua yang ditekankannya terangkum dalam prakata buku utamanya, “Saya ingin mengajar Anda bagaimana caranya memanjatkan sebuah doa yang berani yang Tuhan selalu jawab” (2000:3). Wilkinson menawarkan “resep” berdoa yang mujarab. Ia percaya betul kuasa doa, “Dengan doa yang sederhana dan penuh percaya, Anda dapat mengubah masa depan Anda. Anda dapat mengubah apa yang terjadi satu menit dari sekarang” (2000:33).
Tidak mudah sebenarnya menjabarkan pokok-pokok pemikiran Wilkinson karena ia menulis semua bukunya dalam bentuk populer untuk awam. Wilkinson juga sulit mengkritik sebab yang bersangkutan telah menjalani prinsip doa Yabes dalam kehidupan pelayanannya dan pelayanannya sungguh diberkati. Kendati demikian, di balik keyakinan Wilkinson akan kuasa doa atau doa yang mujarab dapat juga kita tarik benang merah yang melandasi pemahamannya atas doa Yabes.
1.       Pokok Pikiran Wilkinson
Pertama, Wilkinson menekankan sifat Tuhan sebagai Tuhan yang memberkati. Dalam salah satu ilustrasinya, ia berkata, “Seperti seorang ayah merasa dihormati memiliki anak yang meminta berkatnya, demikian pulalah Bapa Anda senang merespons dengan murah hati saat berkat-Nyalah yang paling Anda dambakan” (2000:30). Allah dalam pemahaman Wilkinson adalah Allah yang penyayang, baik, murah hati, inginnya memberkati anak-anak-Nya, royal dan cepat memberkati.
Kedua, dalam pemahaman Wilkinson Allah sebenarnya menyediakan banyak berkat untuk setiap anak-Nya namun itu hanya sebagian kecil saja dinikmati. Kehidupan Kristen yang normal adalah bila semua berkat yang disediakan itu dinikmati. Wilkinson melihat berkat rohani “di dalam surga” (Ef. 1:3) otomatis sudah dinikmati ketika kita diselamatkan, di antaranya adalah dosa diampuni, memperoleh status sebagai anak Allah, menerima Roh Kudus, menerima hidup kekal. Namun itu baru separuh berkat rohani yang dimaksudkan. Separuh berkat rohani lagi dialami di bumi dan hampir semuanya itu merupakan “berkat-berkat potensial” (2002:22). Menurut Wilkinson, kita tidak boleh terlalu cepat puas dengan keadaan kita karena keberadaan kita belum optimal sesuai rencana dan kehendak Tuhan. Berdoa seperti Yabes adalah menginginkan “bagi diri kita sendiri tidak lebih dan tidak kurang dari apa yang Tuhan inginkan bagi kita” (2000:26) atau “berdoa meminta apa tepatnya yang Tuhan inginkan” (2000:27).
Ketiga, hidup yang penuh berkat tidak sama dengan kaya raya secara materi. Dengan tegas Wilkinson (2000:25f.) berkata bahwa “tidak ada kesamaan sama sekali dengan Injil populer bahwa Anda harus meminta kepada Tuhan sebuah Cadillac, pendapatan dengan enam angka, atau … keuntungan sebanyak-banyaknya.” Sukses kesaksian-kesaksiannya berkisar pada pelayanan, pemberitaan Injil, dan ihwal menjadi berkat bagi mereka yang memerlukan Tuhan. Mukjizat yang dimaksudnya juga bukan dibatasi seperti dalam Kesembuhan Ilahi tetapi mukjizat dalam penginjilan. Pokoknya, Wilkinson mengharapkan orang Kristen tidak puas menjadi orang Kristen biasa-biasa saja. Mukjizat, tidak harus yang spektakuler, harus dialami sehari-hari sebagai bagian hidup yang memang diperuntukkan Tuhan bagi kita. Maka, meminta yang dimaksud Wilkinson tidak asal meminta, tetapi meminta dengan berani, “Tuhan menjawab doa-doa yang berani” (2000:114). Begitulah, untuk pekabaran Injil ia berani meminta banyak kepada Tuhan. Hidupnya sungguh dipakai Tuhan. Ia tidak hanya bicara di depan massa tetapi juga kepada pribadi-pribadi yang ditemuinya di mana saja dalam perjalanan. Doanya adalah agar ia menjadi berkat dipakai Tuhan secara maksimal. Maka, analisanya tentang banyak orang Kristen yang hidupnya miskin kesaksian, disebabkan mereka tidak berani meminta atau kalau pun meminta, meminta terlalu sedikit. Padahal, menurut Wilkinson Tuhan siap mencurahkan berkat secara berlimpah.
Keempat, jalan satu-satunya untuk menikmati “berkat-berkat potensial” adalah memintanya kepada Tuhan, berdoa. Menurut Wilkinson (2000:29f.), kebaikan Tuhan tanpa batas, namun “bila Anda tidak meminta berkat kepada-Nya, Anda tak akan memperoleh semua yang sebenarnya Anda miliki.” Tuhan akan “membuka perbendaharaan surga” karena kita berdoa (2000:105). Bahkan, lebih lanjut lagi ditegaskan bahwa orang Kristen hidup di dunia untuk meminta berkat, “Anda ditebus untuk ini: meminta kepada-Nya yang terbaik menurut ukuran Tuhan yang Ia rencanakan bagi Anda, dan memintanya dengan segenap hati Anda” (2000:115). “Ubahlah kehidupan Anda sekarang dengan meminta … dan meminta lagi” (2002:23).
2.    Kritik terhadap Wilkinson
Wilkinson memahami doa Yabes sebagai gabungan antara theologi tentang Allah dan theologi berkat. Tidak ada yang salah dengan konsep tentang Tuhan adalah Tuhan yang memberkati. Tidak ada yang salah juga dengan konsep doa “mintalah, maka akan diberikan kepadamu” (Mat. 7:7). Tanpa mengurangi kesaksian hidup dan pelayanannya yang dinamis, menerobos, sukses, sebagai bukti penerapan doa Yabes dalam praktik hidupnya, saya melihat Wilkinson akhirnya tidak dapat menghindar dari eksploitasi konsep berkat dan jatuh ke dalam beberapa ekstrem.
Pertama, Wilkinson cenderung menekankan sifat Allah yang kompleks menjadi Allah pemberi berkat. Reduksi demikian berbahaya sebab sifat Allah yang lain seperti kudus dan adil, misalnya, tidak mendapat tempat dalam theologi doa Wilkinson.
Kedua, dalam rangka mendorong orang Kristen untuk berani meminta, orang dianjurkan untuk lebih mengejar berkat Tuhan daripada Tuhannya sendiri. Tidak dibedakan oleh Wilkinson antara Pemberi berkat dan berkat-Nya itu sendiri. Padahal, dalam kehidupan Kristen yang semakin dewasa, dari mengejar berkat-berkat Tuhan orang Kristen mencari Tuhan itu sendiri. Tetapi dalam Wilkinson, mengejar berkat Tuhan sama saja dengan mencari Tuhan.
Ketiga, akibat tekanan yang berlebihan pada keberanian untuk meminta, Wilkinson menegaskan bahwa Tuhan punya “favorit” (2000:94f.). Tuhan lebih sayang orang yang berani meminta dengan berani, meminta dengan ambisius, untuk menjadi orang yang “lebih dihormati” seperti Yabes. Pandangan ini tidak sesuai dengan Alkitab. Allah juga menyukai “jiwa yang hancur, hati yang patah dan remuk” (Mzm. 51:19). Meminta yang besar kepada Tuhan adalah baik, tetapi itu tidak berarti tuhan lebih menyukai orang itu dibandingkan orang lainnya.
Keempat, menurut Wilkinson (2000:30) berkat terhalang dikarenakan orang Kristen tidak meminta, “Anda kehilangan berkat-berkat yang datang kepada Anda hanya bila Anda meminta.” Menjelang akhir bukunya ia mengatakan dosalah yang menyebabkan penghalang berkat, “Satu-satunya yang bisa memutus siklus hidup berlimpah ini adalah dosa, karena dosa memutus aliran kuasa Tuhan” (2000:106). Dilihat dari kata-kata yang miring (“hanya,” “satu-satunya”) kesannya Wilkinson menganggap “tidak meminta” sebagai “dosa.” Kalau benar bahwa tidak meminta kepada Tuhan adalah dosa, begitu banyak orang Kristen berdosa karena lalai tidak meminta. Tentu saja ini bertentangan dengan pemahaman biasa yang membedakan antara kehidupan Kristen yang tidak optimal yang belum tentu dosa dan dosa yang terang-terangan melanggar firman Tuhan.
Kelima, doa Yabes dijadikan seperti mantera yang dapat mengubah hidup orang yang mengucapkan doa itu. Ia menuturkan, “Yang penting adalah mengetahui Anda ingin menjadi siapa dan memintanya. Optimisme Wilkinson bahwa kita bisa tahu kondisi optimal kita yang seharusnya, dalam praktiknya justru tidak mudah. Yang lebih realistis untuk kita adalah berusaha melakukan yang terbaik dari kita dan lihat sejauh mana Tuhan memberkati usaha kita. Cara Tuhan memberkati pelayanan kita tidak dibatasi dengan kondisi fixed yang seolah-olah sudah ditakdirkan bagi setiap. Tuhan bisa menambahkan talenta sesuai dengan kebutuhan kita di lapangan. Tuhan juga bisa membuka pintu kesempatan yang lebih luas.
Akhirnya, jangan dilupakan bahwa Yabes berdoa demikian karena keadaannya amat sulit. Dari kesulitannya dan dari masa depannya yang suram itulah, ia berdoa dengan isi doa yang luar biasa. Kebanyakan kita, kondisinya tidak ekstrem seperti Yabes. Apa urgensinya Tuhan menjawab doa kita minta tidak sakit, bila kita punya uang untuk biaya sakit? Apa urgensinya Tuhan menjawab doa kita untuk menjadi kaya sekalipun dengan janji akan mengembalikan separuh kekayaan kita nantinya kepada Tuhan, bila dengan kondisi cukup seperti sekarang kita tidak mengerti memberikan perpuluhan kepada Tuhan? Apa urgensinya Tuhan menjawab doa kita supaya diberikan lima talenta, bila satu talenta yang kita miliki sekarang belum dipakai? Sekadar pertanyaan-pertanyaan untuk direnungkan.

Kepustakaan:
Brown, Roddy. 1 Chronicles. Word Biblical Commentary 14. Waco: Word, 1986.
Curtis, Edward L. and Albert A. Madsen. A Critical and Exegetical Commentary on the Books of Chronicles. International Critical Commentary. Edinburgh: T. & T. Clark, 1910.
Gesenius. Hebrew Grammar. E. Kautzsch (ed.), A. E. Cowley (rev.). Oxford: Clarendon, 1910.
Gleason, Ron. The Prayer of Jabez: Is It for Me? 2 Parts. Magazine Online, Volume 3, Nr 27 July 2-8 and Nr 28 July 9-15 (2000).
Japhet, Sara. I & II Chronicles. Old Testament Library. Louisville: Westminster/John Knox, 1993.
Karman, Yonky. “Ambisi Yang Dikuduskan.” Pelita Zaman 10 (1995) 17-24.
Sanders, J. Oswald. A Spiritual Clinic: A Suggestive Diagnosis and Prescription for Problems in Christian Life and Service. Chicago: Moody, 1958.
Wilkinson, Bruce H. The Prayer of Jabez (Doa Yabes): Menerobos ke Hidup Penuh Berkat. Terj. Jennifer T. Silas. Batam: Interaksara, 2000.
Wilkinson, Bruce H. dan David Kopp. The Prayer of Jabez (Doa Yabes): Renungan. Terj. Jennifer T. Silas. Batam: Interaksara, 2002.
Williamson, H. G. M. 1 and 2 Chronicles. New Century Bible Commentary. Grand Rapids: Eerdmans, 1982.



God Bless You

"Hitherto the Lord has helped us."
Ebenhaezer
From the desk of  Daniel Lauw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar