Jumat, 10 Desember 2010

KEMANDIRIAN BERTEOLOGI


Tunggul Wulung dikategorikan orang sakti oleh sebagian orang-orang di wilayah Jepara. Kesaktian beliau di antaranya : mampu menempuh perjalanan jauh ( Jepara – Pati, sekitar 40 km ) dalam waktu 10 menit berjalan kaki. Cerita yang lain menyebutkan bahwa Tunggul Wulung mampu berkotbah dalam waktu dan jam yang sama di dua tempat yang berbeda (artinya : beliau bisa memecah dirinya menjadi dua).
 
Terdapat lebih banyak lagi cerita tentang kesaktian dan hal-hal spektakuler yang beliau kerjakan yang beredar di khalayak. Tunggul Wulung juga mengajarkan dan mempraktekkan cara-cara kekristenan yang berbeda dengan kekristenan umum ( barat ). Tidak mengherankan jika mantram, ubo rampe kembang menyan, dan lain sebagainya merupakan hal yang lazim dalam praktek hidup kekristenan Tunggul Wulung.
 
Secara garis besar, Tunggul Wulung mempraktekkan kekristenan yang “njawani”. Kebetulan Tunggul Wulung adalah seorang pribumi asli yang “mengenal Kristus” karena mendapatkan panggilan langsung melalui laku. Tunggul Wulung tentang perkenalan dan pemahamannya tentang Yesus Kristus, Alkitab dan Kekristenan dapat dikategorikan “mandiri”, terbatas dalam singgungan dan masukan dari konsep-konsep Teologia Kristen barat. Tunggul Wulung menghasilkan pandangan teologis dan praktek hidup kekristenan berdasarkan Alkitab yang diinterpretasikan berdasarkan konsep-konsep filosofis Timur ( Jawa ).
 
Tunggul Wulung sebagai seorang Kristen berperilaku selayaknya orang Timur. Konsep-konsep pemikiran Tunggul Wulung tentang Yesus, Alkitab dan kekristenan “seringkali dianggap miring” oleh sebagian orang. Tunggul Wulung dianggap mistis, klenik, sinkretis dan lain sebagainya. Pandangan miring tersebut seringkali ditegaskan dengan dukungan dukungan praktek hidup “sakti” Tunggul Wulung yang seringkali dipertanyakan : apakah dari Tuhan atau dari bukan Tuhan.
 
Menarik sekali menanggapi justifikasi “miring” yang dikenakan kepada Tunggul Wulung oleh sebagian orang. Justifikasi ini tentu didasarkan sebuah “paradigma berpikir” yang menjadi “standart acuan”. Dengan kata lain, penilaian ketidaklaziman Tunggul Wulung ini muncul dari “sebuah kelaziman umum” yang ada di pikiran para penilai. Kelaziman tersebut adalah standart yang telah ada.
 
Apakah standar kelaziman tersebut? Standar kelaziman tersebut adalah system interpretasi barat yang menghasilkan teologia dengan frame “barat”, dan praktek-praktek hidup barat yang timbul dari system interpretasi dan “teladan barat”. Konsep barat, entah Eropa atau Amerika telah menjadikan dirinya “seolah-olah” Alkitab itu sendiri. Praktek-praktek kekristenan ala Barat seolah-olah merupakan sebuah praktek hidup Kekristenan yang benar. Akibatnya : “segala sesuatu di luar kelaziman Barat” dianggap sumir. Pertanyaannya adalah : apakah memang demikian? Pendapat teologi yang teraplikasi dalam hidup mau tidak mau merupakan hasil interpretasi yang dibangun dari sebuah paradigma berpikir.
 
Demikian halnya pendapat teologia barat yang menghasilkan praktek-praktek hidup kekristenan adalah produk “paradigma pikir Eropa”. Ketika Alkitab ini ditafsir oleh orang-orang barat dengan paradigma pikir mereka merupakan sesuatu yang sah. Tetapi ketika produk interpretasi ini dijadikan sebuah standar acuan kebenaran, tentu perlu dipertanyakan dan dipertentangkan. Alkitab tidak sama dengan Barat.
 
Kekristenan yang benar tidak sama dengan kekristenan ala Barat. Kekristenan “produk Barat” sah bagi orang-orang Barat, tetapi belum tentu pas dan relevan dengan orang-orang Kristen di Indonesia. Mengapa? Karena Indonesia tidak sama dengan barat. Produk teologia semestinya relevan dengan manusia pelakunya.
 
Kristen Indonesia semestinya menerapkan praktek hidup Kristen berdasarkan produk teologia yang sesuai dengan frame keIndonesiaan. Kekristenan Indonesia dan produk teologianya yang berbeda dengan “Barat” tidak berarti menyimpang. Berbeda iya, kalau salah tidak. Sangat naïf jika memaksakan kebenaran Barat bagi Timur ( Indonesia ).
 
Apa yang dipikirkan dan dikerjakan oleh Tunggul Wulung merupakan sebuah kemandirian. Berteologi dan bertindak Kristen sesuai ala berpikir Timur ( Indonesia ). Tidak semestinya jika paradigma Barat menjadi standar justifikasi bagi keindonesiaan Tunggul Wulung. Teologia Barat punya hak hidup dan wilayahnya sendiri, demikian pula teologia Kristen Timur punya hak dan wilayahnya sendiri. Istilah mistik, klenik, dan sinkretis yang dikenakan kepada Tunggul Wulung merupakan sebuah arogansi “paradigma Barat” terhadap teologia Timur. Kata lain : keserakahan rasionalisasi Barat terhadap tata pikir Ketimuran.
 
Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan. Berinterpretasi dan berperilaku Timur merupakan hak dan keharusan Kekristenan Timur. Hak ini sama diberikan kepada orang-orang Kristen Barat untuk bebas berinterpretasi dan berperilaku Barat. Kemandirian berteologi,berinterpretasi dan berperilaku dalam konteks merupakan hak dan juga kewajiban. Tujuannya supaya kekristenan membumi di mana dia berada.
 
Karena sesungguhnya, demikianlah semestinya Alkitab dihidupkan oleh setiap manusia di mana saja dia berada, sesuai dengan konteks budaya masing-masing. Mari berteologia dan berinterpretasi dalam konteks secara lebih percaya diri. Yesus Kristus empunya semesta raya dengan segala kekhasannnya masing-masing, memberkati.





God Bless You

"Hitherto the Lord has helped us."
Ebenhaezer
From the desk of  Daniel Lauw

MISTIK KRISTEN ?? APAKAH ITU...??

Tanya :
Ebenhaezer, saya pernah mendengar kata "Mistik Kristen". Apakah dalam Kristen ada "mistik" ? Bukankah mistik itu berarti klenik ? jangan-jangan "Mistik Kristen" itu bentuk dari sinkretisme kekristenan dengan ilmu perdukunan ??
(from Someone)

Jawab :
Shaloom "someone"
Istilah “mistik” memang seringkali dicampuradukkan dengan “magi” yang dikaitkan dengan gejala parapsikologis, sihir, tenung, santet, klenik dan pelbagai praktek okultis. Pengalaman mistik (mistisisme) juga sering disejajarkan dengan keadaan ekstase dan perubahan kesadaran yang dapat diusahakan secara artifisial dengan hipnose dan obat-obatan. Pengertian dan pemahaman  seperti ini sebetulnya telah mengaburkan dan mereduksi konsep mistik dan mistisisme yang sebenarnya.

Istilah “mistik” sebenarnya tidak di artikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kuasa kegelapan, tapi kepada sesuatu hubungan rohani yang tidak dapat dijelaskan secara akal. Walter E.Elwell, dalam bukunya “Evangelical Dictionary of Theology” menjelaskan bahwa Mistik bukanlah sebagai magic, clairvoyance, parapsikologi atau occultisme, atau juga tidak terdiri dari kekhusukan dalam imaginasi pencaindera, penglihatan atau wahyu manusia.Jadi salah kaprah-lah kalau mengidentikkan mistik dengan klenik dan sejenisnya yang berkonotasi "dunia gelap", sehingga banyak orang Kristen langsung alergi begitu mendengar kata ini.

Secara etimologis, istilah "mistik" berasal dari kata Yunani "mystikos", yang dibentuk oleh kata kerja "myo" yang berarti "menutup mata". Pada mulanya istilah ini dipakai untuk menunjuk upacara-upacara rahasia (tersembunyi) dan sakral yang hanya diketahui oleh mereka yang telah diinisiasikan. Dalam perkembangan kemudian dimaknai sebagai suatu proses dalam system religi yang bertujuan untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan atau sebagai pengalaman spiritual yang mendalam menyangkut penyatuan eksistensial antara Allah dan manusia, unmediated encounter of God and creature. Edward Schillebeeckx menyebut pengalaman mistik sebagai suatu bentuk intensif dari pengalaman iman akan Allah. Sifat “intensif” (mendalam) mistik ini bukanlah pengalaman iman yang “biasa”. Mistik adalah penghayatan yang khusus dan mendalam dari kontak iman. Walter Hilton menekankan aspek “perasaan khusus” dalam kontak tersebut. Mungkin perasaan itulah yang disebut Thomas Aquinas sebagai “intuisi sederhana” dalam mengenal Allah. Dengan intuisi ini, orang mengalami Allah: “melihat”, “menyentuh”, dan “merasakan” Allah dengan cara yang tidak biasa.

Secara garis besar, ada dua tipe pengalaman mistik yang menjadi sendi spiritualitas, yaitu pengalaman mistik yang menekankan hubungan cinta kasih yang demikian dalam dengan Tuhan (extrotertive mysticism/der Eine), dan pengalaman mistik yang menekankan realitas kesatuan dimana manusia terlebur menjadi satu dalam transendensi khaliknya (introtertive mysticism/das Eine). Karl Rahner mengatakan bahwa “Orang beriman pada masa yang akan datang ialah seorang mistik, atau ia tidak bisa beriman lagi”.
 
Dengan demikian jelas bahwa mistik bukanlah klenik juga bukan sinkretisme. Ia ada pada setiap agama, juga dalam kekristenan. Khazanah Gereja di ranah mistik begitu kaya. Misalnya : Life of Moses karya St. Gregorius dari Nyssa; Theologia Mystica dari seorang penulis Siria dengan nama samaran Dionisius Areopagus (Pseudo-Dionisius); Itinerarium Mentis in Deum dari St. Bonaventura; The Cloud of Unknowing dari pengarang Inggeris anonim; Abecedario Espiritual dari Fransiskus Osuna; El Castilo Interior oleh St. Theresia dari Avila; Philokalia dari Makarios dari Korintus; The Spiritual Life: A Treatise on Ascetical and Mystical Theology dari Adolphe Tanquerey, belasan mahakarya dari St. Johanes dari Salib yang mendasari lahirnya buku Theologia Mistik, Ilmu Cinta karya William Johnston yang diterbitkan oleh Kanisius pada tahun 2001, dan ratusan risalah lain yang tak dapat disebut satu per satu.

Yach, ini sedikit yang bisa saya bagikan. Beberepa referensi tentang arti kata, makna bahkan tulisan-tulisan kristen ttg Theologia Mistik dapat ditelusuri dari beberapa bacaan berikut.


1. Anton.M.Moeliono (ed), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, PN.Balai Pustaka, 1988, p.588.
2. Dick Hartoko SY, Sekelumit Mistik Dunia Barat, Majalah Mawas Diri, Januari 1987, p.48.
3. Ensiklopedi Nasional Indonesia vol.10, Jakarta, PT.Cipta Adi Pustaka, 1990, p.337-338.
4. JD.Douglas, The International Dictionary of The Christian Church (Michigan: Zondervan Corporation, 1974, p.691.
5. Lianto Liem, Situs “Clara et Distincta”. http://lianto71.blogspot.com
6. Theologi Kontemporer,; http://sabda.org, e-learning; Situs sumber bahan pelajaran Kristen dan pendidikan elektronik). Bab XII.A.
7. Walter A.Elwell, Evangelical Dictionary of Theology, Michigan : Zondervan Publishing House, 1085, p.744.
8. WJS.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, PN.Balai Pustaka, p.652. makna Suluk dan Tasawuf, p.973 & 1023
9. William Johnston, Theologia Mistik, Ilmu Cinta, Yogyakarta, Kanisius, 2001

Selamat menapak jalan spiritualitas. GBU



God Bless You

"Hitherto the Lord has helped us."
Ebenhaezer
From the desk of  Daniel Lauw