Kamis, 06 Desember 2012

KETIKA SORGA MENYAPA PARA GEMBALA DI MALAM NATAL PERTAMA


DARI tahun ke tahun, dari abad ke abad, Natal selalu dirayakan sebagai hari lahir Yesus Kristus, juru selamat umat manusia. Namun, di tengah semarak dan hingar-bingar perayaan Natal masa kini, adakah yang me-nerawang ke masa silam ke malam Natal yang pertama, saat Sang Bayi Agung itu terbaring di palungan?

Di malam Natal pertama, gembala mendapat kehormatan besar. Sebab kepada merekalah kabar baik itu disampaikan pertama kalinya oleh malaikat. Tetapi, kenapa harus gembala? Gembala, dari dulu hingga sekarang, adalah profesi yang tidak bergengsi. Bah-kan di era itu, ahli Taurat meno-rehkan status sebagai orang berdosa pada gembala. Ahli Taurat mendiskualifikasi gembala dari agama. Mereka disebut sebagai orang berdosa, karena memang ada gembala yang tidak jujur: menggembalakan 100 ekor domba, namun yang kembali ke kandang 98 ekor. Kepada majikan dia mengaku, domba yang hilang dimangsa serigala. Gara-gara itu, gembala divonis rata. Siapa pun yang menjadi gembala, maka kepahitan, kepedihan, ketersingkiran, adalah bagiannya. Mereka tidak punya nilai.

Dari segi duniawi, gembala sebenarnya tidak berhak mendapat kesukacitaan itu. Mereka bukan orang-orang yang berjasa pada bangsa dan negara. Mereka hanya orang-orang lugu, sederhana, awam, yang berbicara spontan, apa adanya. Beda dengan orang-orang pintar, pejabat, pemimpin, politikus, yang sering berbicara bukan lagi dengan suara hati, tapi kepalsuan.

Ketika berita Natal disampaikan kepada para gembala, mereka bersukacita. Tidak pernah dibayangkan, berita surga akan datang pertama kali pada mereka. Di malam Natal pertama itu, mereka mendapat penghargaan justru di dalam kehinaan. Mengapa tidak? Ahli Taurat saja sudah menyetempel mereka sebagai orang berdosa. Tapi Bapa Surgawi turun ke bumi menemui mereka, memberi kehormatan luar biasa sebagai tamu pertama mengunjungi Natal yang sejati, di mana bayi kudus itu hadir untuk memberi keselamatan dan pengharapan bagi umat manusia.

Dalam konteks masa kini, banyak orang mengulang kesalahan para ahli Taurat, yang terlalu mudah menjatuhkan vonis: memukul rata semua orang, mengutuk semua orang, sementara dia sendiri tidak pernah memeriksa diri sendiri. Berbahagialah gembala yang dicap berdosa oleh ahli Taurat, sebab mereka masuk sorga. Kasihan para ahli Taurat yang selalu berkata-kata indah, suci, namun perilakunya menyimpang dari tuntutan surga. Mereka harus ke neraka dan binasa. Mereka merasa hebat sehingga berhak menghakimi orang lain dalam kekuasaan keagamaan yang mereka miliki. Orang yang berkuasa dalam keagamaan memang bisa tampil mengerikan. Sebab tanpa sadar dia mengkudeta jabatan Tuhan, menjadikan dirinya sebagai Tuhan. Tidak bisa berkuasa sebagai presiden, dia berkuasa sebagai pemimpin agama, yang memuaskan diri dengan ucapan semaunya, mengatasnamakan Alllah, padahal semuanya palsu.

Ahli Taurat menyingkirkan para gembala, tetapi Tuhan mengangkat harkat mereka dengan luar biasa. Agama menyisihkan mereka, menempatkan mereka pada status buruk. Mereka bukan saja tidak terpandang, tetapi juga terbuang karena dianggap penuh dosa. Mereka memang bukan apa-apa, namun di malam Natal, mendapat anugerah di dalam ketidaklayakan mereka. Di sini Allah menunjukkan, Natal menyentuh lapisan yang tidak terbayangkan struktur pikir manusia. Natal menyentuh kehinaan. Natal menyentuh kesendirian. Natal menyentuh keterpurukan dan ke-berdosaan. Natal menjangkau apa pun yang tidak terjangkau oleh agama. Natal bukan lukisan pestapora dengan sejuta tata cara yang menghabiskan biaya besar. Natal adalah suatu cara bagaimana berbagi rasa supaya sukacita jadi milik semua orang. Natal seharus-nya bisa mampir pada setiap orang, sehingga yang terpuruk, tersisih dan tersingkirkan memahami makna dan menerima anugerah itu.

Bagaimana kita menyikapi Natal
? Apakah kita masih menyambutnya seperti dulu ? Repot hanya memikirkan baju baru/hadiah bagi anak-anak: membungkusnya dalam kado dan menaruhnya di bawah pohon Natal. Memberi atau mendapat hadiah, tentu saja tidak salah. Tapi ketika konsentrasi bertumpuk di sana, itu menjadi masalah. Lebih celaka lagi jika kita masih bertumpu pada kebingungan-kebingungan mengumpulkan dana Natal, pertikaian antar panitia Natal. Aneh sekali, karena tidak mengekspresikan nilai kesukaan, pengabdian pelayanan kepada Tuhan, tetapi terperangkap pada jebakan yang menakutkan, berbayang noda-noda dosa.

Di mana sukacita Natal itu
? Di mana bahagia Natal itu ? Mengapa Natal diwarnai orang-orang munafik yang menampilkan diri dengan sejuta senyuman, tapi hati penuh kepalsuan, sementara Natal menuntut kesejatian. Karena itu Natal tidak terlalu perduli dengan struktur agama. Natal pertama tidak datang pada ahli Taurat dan pemimpin agama. Natal justru mendatangi orang-orang susah, lugu, yang mengutarakan isi hati secara spontan, tanpa basa-basi.

Oleh karena itu, adalah penting untuk menanyakan apa sebetulnya makna Natal bagi kita. Apakah Natal merupakan demonstrasi betapa banyaknya harta kita
? Menghiasi rumah, memasang pohon-pohon Natal, bikin acara, memang tidak salah. Yang menjadi masalah, apakah Natal hanya di rumah atau sekitar rumah kita saja ? Bagaimana dengan orang lain yang tersisih, yang banyak kita jumpai di sekitar kita. Apakah mereka tidak berhak menikmati sukacita kita, berbagi rasa dengan mereka, seperti surga berbagi rasa dengan gembala. Di mana kepedulian kita ? Mungkin kita perduli, tapi apakah itu hanya pada Natal Desember?

Jika itu yang terjadi, berarti Natal telah mengurung kita secara ketat. Sebab dia hanya berkisar pada tanggal 25 Desember saja. Lalu bagaimana dengan hari-hari sesudah atau sebelumnya? Adakah sukacita itu tetap sama, sehingga membuat kita bukanlah orang-orang yang terjebak pada perangkap musiman: musim Natal, musim berbuat kebaikan, tidak ada Natal, tidak ada kebaikan? Pertanyaan ini perlu kita renungkan di malam Natal ini.*



With Love In Christ

"Hitherto the Lord has helped us."
Ebenhaezer
From the desk of  Daniel Lauw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar