Minggu, 07 Juni 2015

KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF DALAM BERGEREJA



Istilah kepemimpinan transformatif ini pertama kali muncul dari literatur sekuler yang di tulis oleh James MacGregor Burns dalam bukunya “Leadership” yang memenangkan pulitzer Leadership. Dalam buku itu Burns menggunakan istilah “Transforming Leadership” untuk menggambarkan kepemimpinan yang mengubahkan yaitu mereka yang mengubah pikiran dan hati para pengikutnya sehingga mereka berusaha keras untuk memenuhi visi yang diucapkan pemimpinnya. Konsep ini dikembangkan oleh Bernard M.Bas dalam study ekstensifnya tentang organisasi kepemimpinan yang disebut “Transformational Leadership” dalam bukunya “Leadership and Performance beyond Expectations” (Wofford, 2011:7). Meskipun berangkat dari literatur sekuler dan digunakan dalam berbagai organisasi bisnis dunia, namun model kepemimpinan transformatif yang menekankan pada nilai, visi, relasi, apresiasi, inspirasi. mobilisasi hingga cara kerja team work dan pemberdayaan anggota ini justru sangat tepat diterapkan bagi kepemimpinan gereja daripada kepemimpinan bisnis.

PERSOALAN GEREJA DAN KEPEMIMPINAN MASA KINI
1. Gereja Di Tengah Arus Perubahan Zaman
Gereja tidak pernah terlepas dari konteks zaman yang mengitarinya. Gereja hidup di dalamnya dan terjalin relasi dengan dunia. Interelasi ini menimbulkan hubungan timbal balik. Gereja memberi warna dan rasa pada konteks zaman, sementara zaman yang bergerak cepat dalam perubahan juga mempengaruhi daya kehidupan dan tatanan dalam gereja. Gereja tidak mungkin bersikap acuh tak acuh atas percepatan perubahan zaman, karena perubahan itu sendiri memiliki konsekuensi logis pada transformasi atas kehidupan manusia.
Dalam perjalanan sejarah, gereja telah menunjukkan kemampuan untuk bertahan di tengah berbagai situasi yang mengitarinya. Sistem organisasi, pola ibadah, metode pendidikan kristiani dan model kepemimpinan telah tertata begitu rupa dan digunakan selama berabad-abad. Namun dunia belum berhenti berputar dan perubahan masih terus terjadi. Perubahan-perubahan dalam budaya berjalan begitu cepat dan dalam skala global, perkembangan ilmu pengetahuan  begitu pesat merambah dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Fenomena global ini memaksa seluruh tatanan kehidupan untuk mengoreksi dirinya, mengambil kebijakan, dan membangun nilai-nilai yang mampu berdiri kokoh di tengah kisaran zaman. Tak terkecuali dengan gereja.
Sebaik-baiknya gereja di masa lalu dalam menata sistem, mengelola ibadah, merumuskan metode-metode pendidikan kristiani dan menjalankan pola kepemimpinan, perubahan yang ada menuntut gereja untuk berani membuka diri, mengadakan pembaruan-pembaruan dengan kreatif dalam berbagai aspek dan menyesuaikan diri secara kontekstual dengan situasi serta tuntutan yang ada agar gereja tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh anggota-anggotanya. Bukan berarti gereja hanyut begitu saja dan menyerap semua perubahan, melainkan gereja mampu bersikap reflektif-kritis atas setiap perubahan untuk membangun jemaat Tuhan.  Apabila gereja berhenti dan berpuas diri, maka statemen yang dimunculkan Eddie Gibbs menjadi sebuah peringatan : “Gereja-gereja yang gagal membaca dan menafsirkan tanda-tanda zaman beresiko menghadapi masa depan yang suram” (Gibbs, 2012 : 3).
Ketika dunia dan pola kehidupan manusia berubah, maka tak pelak gerejapun menghadapi tantangan sekaligus tuntutan untuk mengalami pembaharuan.  Bahkan  jauh sebelum pergeseran dan ragam perubahan menjamah gereja, teks Alkitab telah menunjukkan data-data sahih tentang kemungkinan penciptaan dan pembaruan dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali perubahan dan pembaruan dalam tata hidup komunal maupun dalam pola kepemimpinan. Sebagai contoh, pola kepemimpinan Musa telah mengalami perubahan paradigma dari model kepemimpinan “strong and powerfull leadership” kepada “sharing leadership” . Hal ini merupakan tonggak penting bagi para pemimpin untuk melihat fleksibilitas dalam kepemimpinan. Krisis kepemimpinan dalam gereja seringkali terjadi bukan semata-mata karena ketidakmampuan para pemimpin mengalami perubahan dan pembaharuan, melainkan karena ketidakmauan dan ketakutan untuk keluar dari zona kenyamanan. Baik kenyamanan yang terbentuk oleh situasi yang stabil, tertata dalam keteraturan dan mudah di prediksi maupun kenyamanan atas kekuasaan yang melekat pada pola kepemimpinan lama sebagai “pusat segalanya”. Perubahan memang berarti gejolak, dan gejolak seringkali tampil dalam wajah ketidakpastian. Inilah yang melahirkan keraguan dan ketakutan untuk melangkah, dan akhirnya para pemimpin lebih memilih kestabilan meskipun berdampak “kematian” baik pada diri pemimpin maupun komunitas jemaat yang dipimpinnya.  
“Kematian” pada diri pemimpin gereja nampak dalam berbagai bentuk, misalnya hilangnya sukacita dalam pelayanan dan terjebak dalam rutinitas yang stagnan, kemalasan mengembangkan kreatifitas, hilangnya kekuatan otoritas untuk mengatasi persoalan, pudarnya hasrat memelihara dan mengembangkan spiritualitas pribadi maupun komunal, terkontaminasi oleh kepahitan dan kekecewaan yang berdampak  stress dan mudah curiga dengan rekan pelayanan atau jemaat. Akibatnya kalau tidak angkat kaki meninggalkan pelayanan, maka pemimpin tersebut akan meringkuk tanpa daya “seperti landak tanpa duri” (Gibbs, 2012:17) hingga emiritus organisasi maupun “emiritus alami” datang menjemput. 
Kematian” dalam komunitas pun dapat terjadi sebagai dampak “kematian” peran pemimpin. Kenneth Cloke dan Joan Goldsmith membahasakan “kematian komunitas” itu dengan istilah “zombification dan pengerdilan” (Gibbs, 2012:16). Zombification merujuk pada kondisi ketika gereja nampaknya masih bergerak dan beraktivitas namun  di dalamnya tidak ada gairah/vitalitas/kehidupan sedangkan Pengerdilan menyiratkan makna pertumbuhan yang tidak dialami oleh gereja sekalipun sudah bertahun-tahun gereja tersebut ada dan “dipelihara”. Tak ubahnya tanaman bonsai yang kerdil dan tidak mengalami pertumbuhan “… menjadi lebih besar dari pada segala sayuran yang lain dan mengeluarkan cabang-cabang yang besar, sehingga burung-burung di udara dapat bersarang dalam naungannya." (Markus 4:32). Dengan makna senada, John Cobb membahasakan “kematian” dalam komunitas dengan istilah “kesuaman” (lukewarmness), yaitu ketika gereja tidak lagi mengembangkan teologi dan hal ini menyebabkan gereja gagal menjawab berbagai perubahan dan melakukan misinya di dalam dunia (Hadiwitanto, 2010 : 125)
Pdt.Eka Darmaputera menggambarkan wajah “kematian komunitas” sebagai kenyataan ketika gereja tertimbun dalam “rutinisme, formalisme dan verbalisme” (Darmaputera,2005:32). Rutinisme yang dimaksud adalah ketika gereja bergerak secara mekanis menjalankan apa yang rutin dari waktu ke waktu namun tanpa penghayatan, semangat dan terobosan. Ibadah hanya menjadi rutinitas yang membosankan, tanpa gairah dan kreatifitas, tidak membawa jemaat dalam perjumpaan dengan Tuhan yang mampu mengubah kehidupannya, dan tidak lagi sesuai dengan perubahan zaman. Inilah salah satu faktor yang mengakibatkan beberapa gereja main-stream mulai di tinggalkan oleh jemaat, khususnya kaum muda usia 35 tahun ke bawah. Metode pembelajaran Firman Tuhan melalui pendidikan kristiani juga bersifat monolog melalui khotbah dan tidak menginspirasi jemaat untuk menemukan kekayaan Firman melalui pendekatan spiritualitas yang menyentuh aspek kognitif, afekstif dan aktif. Sisi kreatifitas yang Tuhan anugerahkan kepada manusia sejak penciptaan tidak berkembang dengan baik, meskipun manusia pada dirinya sendiri sadar adanya hal-hal yang membutuhkan pembaruan.  
Sistem pengelolaan bergereja dan pelayanannyapun cenderung formalisme, dalam arti segala sesuatu hanya bisa berjalan secara resmi, sah, sesuai ketentuan yang ada, apapun kondisi dan situasinya. Gereja tidak lagi peka dan kreatif menanggapi panggilannya atas hidup kemanusiaan. Pola seperti ini jelas tidak sejalan dengan spiritualitas Yesus yang digambarkan cukup radikal oleh Albert Nolan sebagai pribadi yang “bebas melanggar hukum setiap kali menaati hukum berarti membahayakan manusia kerena melakukan yang buruk terhadap orang-orang yang tidak pernah menjadi maksud dari hukum” (Nolan, 2009:94). Aturan dan formalitas memang penting namun tidak boleh mengorbankan orang. Yang penting bagi Yesus adalah orang dan kebutuhannya. Jika harus memilih mana yang harus dikorbankan, Yesus memilih mengorbankan hukum dan aturan formal. Artinya, Yesus sangat terbuka dengan konteks jaman dan kebutuhan, dan tidak terbelenggu oleh pola kerja dan aturan sekiranya hal tersebut justru menjadi penghalang bagi pelayanan. Sikap Yesus ini dapat di sebut juga “Politics of Compassion” (Kebijakan Bela Rasa) yang kadang berhadapan dengan “Politics of Holiness/Purity” yang menekankan kekudusan melalui ketaatan pada normat, aturan, hokum danm ragam kebijakan.
Verbalisme juga menjadi wajah “kematian” gereja dan pemimpin. Hal ini terjadi ketika gereja dan para pemimpinnya yang cukup gigih membahas segala sesuatu, menyita banyak waktu, tenaga dan dana namun tidak ada tindak nyata. Segala pemikiran dan pembahasan hanya berhenti sebatas keputusan yang tertuang di atas kertas. Segala sesuatu seolah dapat selesai dengan sendirinya hanya karena telah dibicarakan dan diucapkan namun dalam realita tidak ada tindakan apapun. Gereja sebagai lembaga spiritualitas lalu menjadi timpang, karena penekanan yang berlebihan pada aspek kognitifnya namun tidak melakukan refleksi yang berbuah pada aksi yang aktif. Dunia yang dilanda berbagai perubahan yang membuat orang kehilangan arah dan identitas membutuhkan peran dan kehadiran yang nyata dari gereja dan para pemimpinnya untuk memberikan rasa, arah dan jawaban. Verbalisme hanya menghadirkan gereja dalam ke-ekslusifannya namun tidak di rasakan dampak garam dan terangnya dalam masyarakat.
Di amati dari bingkai pembangunan jemaat pada masa kini, nampak juga ragam ketimpangan yang menunjukkan bahwa gereja belum siap menyikapi perubahan dalam masyarakat. Di tengah-tengah kondisi masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi, ada gereja yang menghambur-hamburkan uang dengan membangun gedung gereja yang semakin tinggi dan megah. Gereja dalam hal ini belum menjalankan fungsi positif, kritis dan realistis dalam perkembangan masyarakat. (Darmaputera 1989, p.54). Di antaranya derasnya arus dunia digital, ada gereja yang menelan begitu saja segala dimensi modernitas dan menata ibadah-ibadah kontemporer bak panggung entertainment dengan segala kemewahan dan selebritasnya, sementara ada juga gereja yang terlalu konservatif dan menolak segala hal yang berbau tekhnologi. Di antara sikap-sikap antipati yang menyudutkan dan menghancurkan gereja dari kalangan ekstrim non-kristen, ada gereja-gereja yang menyikapi dengan menggelar KKR akbar, penyembuhan ilahi dengan panggung spektakuler di lapangan terbuka, sementara di kalangan gereja inter-denominasi juga terjadi persaingan tidak sehat dalam perebutan jemaat. Akibatnya ada gereja yang bertumbuh pesat dalam kehadiran jemaat, namun ada juga gereja yang ditinggalkan jemaatnya. Ironisnya, pertambahan jemaat tersebut sebenarnya identik dengan perpindahan jemaat. Seringkali tolok ukur kemajuan dan pertumbuhan gereja lalu di pahami sebatas jumlah anggota yang makin banyak, ibadah yang dihadiri banyak orang, persembahan yang besar, padatnya kegiatan dan gedung ibadah yang megah. Pada kenyataannya, kemerosotan kehidupan internal gerejawi lebih merisaukan daripada kemerosotan fungsi gereja di tengah masyarakat (van Kooij,2010:4).
Albert Nolan cukup menghentak kesadaran bahkan menjungkirbalikkan pemahaman ketika menyatakan bahwa saat ini ada banyak orang kristen dan gereja Tuhan – dalam aspek-aspek tertentu – tidak sejalan dengan Yesus (Nolan,2009:15). Di tengah konteks zaman yang menuntut gereja dan pemimpin untuk kreatif dan terbuka bagi perubahan, bagaimanapun juga gereja/pemimpin haruslah tetap mengacu dan berakar pada Yesus. Berjalan pada “jalan Yesus” dan bukan pada jalan dunia, jalan tradisi iman maupun jalan para tokoh spiritual dunia lainnya.
Keprihatinan ini mendorong gereja dan para pemimpin untuk berani mendefinisikan ulang model kepemimpinan itu sekaligus menantang para pemimpin gereja untuk melakukan perubahan sikap, baik secara pribadi maupun dalam hidup berjemaat, baik dalam spiritualitas maupun dalam gaya kepemimpinan mereka. Ketika gereja menumpukan diri pada kepemimpinan  terpusat maka dampaknya pun akan terlihat dari keterbatasan kreatifitas. Peran pemimpin  memang sangat menentukan, namun perkembangan ilmu pengetahuan – khususnya tekhnologi informasi – membuka kesadaran adanya banyak area yang tidak terjangkau oleh satu orang atau sekelompok orang tertentu. Pemberdayaan jemaat akan memungkinkan bangkitnya kreatifitas dan potensi jemaat untuk menggapai ranah-ranah kreatifitas dan pembaruan yang dapat berdampak positif bagi pembangunan jemaat. Gereja perlu memahami bahwa kepemimpinan merupakan suatu nilai yang menembus ke seluruh komunitas dan mampu merangkul banyak anugerah umat agar dapat memimpin gereja ke masa mendatang.  Model kepemimpinan yang terbuka atas perubahan dan mampu memberdayakan jemaat seperti inilah yang dapat disebut kepemimpinan transformatif.
Sebagai sebuah gereja, GKMI Ebenhaezer juga tidak kebal terhadap perubahan. Bahkan gereja ini terlahir sebagai dampak perubahan dan krisis kepemimpinan yang mengakibatkan pemisahan diri dari gereja asal. Kenyataan tersebut mendorong pemikiran dan upaya untuk membangun model kepemimpinan yang  mampu merangkul jemaat sekaligus membangkitkan dan menyatukan segala potensi yang ada menuju gereja yang hidup, dewasa dan mandiri. Kepemimpinan transformatif merupakan model kepemimpinan yang diharapkan mampu menjawab kebutuhan tersebut.

2. Persoalan Dan Tantangan Kepemimpinan Gereja Masa Kini
Sebagai seorang pemimpin yang telah memimpin lebih dari 30 tahun pada “Willow Creek Community Church” di Amerika Utara dan berhasil mengembangkan jemaat dari “segelintir orang menjadi kekuatan Kerajaan Allah yang tersebar di seluruh dunia”, Rev.Bill Hibels mengamati dan menyatakan bahwa “Di balik setiap pelayanan yang berhasil/berjaya selalu ada pemimpin yang berani dan berorientasi melayani” (Hybels, 2004: 27). Vitalitas gereja yang berjuang terletak pada pemimpinnya, yaitu pemimpin yang visioner ; berani dan mampu menyebarkan karunia spiritual kepemimpinannya; mampu membangun tim yang efektif, penuh kasih dan memiliki fokus yang jelas; dan berjuang terus menerus untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan mereka ke tingkat berikutnya, tidak perduli betapapun sulitnya.
Perkembangan gereja sangat dipengaruhi oleh pemimpinnya. Beberapa fenomena persoalan dan tantangan yang muncul dalam konteks kepemimpinan gerejawi di Indonesia, sedikit banyak memberikan gambaran tentang kualitas kepemimpinan yang ada dan atmosfer kehidupan gereja yang melingkupinya.
Persoalan dan tantangan bagi kepemimpinan gereja masa kini antara lain :
1.    Orientasi nilai budaya Indonesia yang tertuju vertikal ke atas (Koentjoroningrat, 1984:142)  menyebabkan kepemimpinan cenderung berpola hierarkis. Menurut teori elite kekuasaan Suzanne Keller yang di dukung oleh C.Wright Mills, pemimpin hierarkis berada di puncak piramida kekuasaan (Budiarjo,1984:22-23). Kepemimpinan dilaksanakan berdasarkan kekuasaan dan otoritas yang dimiliki, baik dengan cara force/tekanan maupun persuasi. Pola ini menempatkan pemimpin sebagai “pusat segalanya”. Jaringan kerja pada pola kepemimpinan hierarki lebih bersifat formal daripada sebagai tim kerja, karena yang terjadi lebih banyak kepemimpinan tunggal sementara “anggota tim” hanyalah pelaksana. 
Kepemimpinan seperti ini menimbulkan persoalan bagi sang pemimpin sendiri maupun bagi gereja yang dipimpinnya. Pemimpin yang menanggung beban sendirian akan mengalami kelelahan, keputusasaan dan kekeringan spiritualitas (Wuellner, 2012: 16). Sehebat apapun seorang pemimpin, ia tidak akan sanggup menanggung segala hal sendirian. Ia membutuhkan orang-orang yang turut memikul beban bersamanya, saling berbagi dan menguatkan. Pada sisi lain, kepemimpinan seperti ini rentan bagi munculnya penyakit “narsisisme” sebagai konsekuensi alami kedudukannya (Hall,1992:57). Pada dirinya akan muncul keyakinan bahwa hanya dia saja yang dapat mengambil keputusan dan didukung oleh semua orang. Ia akan sulit melihat adanya potensi pada jemaat. Apabila dalam satu gereja terdapat lebih dari satu pemimpin maka pola hierarki akan memperkuat persaingan karena godaan berkuasa akan jauh lebih kuat.
Peter Wiwcharruck, dalam bukunya “Christian Leadership Development and Church Growth” berkata : “Bila sebuah jemaat terkondisi untuk menerima tradisi bahwa seluruh wewenang dan tanggungjawab itu semata-mata ada di tangan pendeta atau hanya di tangan satu kelompok eksklusif di lapisan puncak, maka hampir dipastikan akan terjadi ini : 80 % warga jemaat, lambat atau cepat, akan mengalami situasi spiritual yang suam, pasif dan apatis. 10 % menanggapinya dengan positif; sedangkan 10 % sisanya akan mengabaikan sama sekali kepemimpinan yang ada. Mereka akan mencari jalan mereka sendiri. Tidak jarang mereka tersesat dan menemui kesulitan serius “di tengah jalan” (Darmaputera, 2005 : 32) .
Henry J.M.Nouwen berpendapat bahwa “gerak kepemimpinan kristiani bukanlah naik melainkan gerak turun yang akan membawanya sampai ke salib”. Kepemimpinan tidaklah mengandalkan kekuasaan dan kekuatan, tetapi kepemimpinan yang tanpa daya dan rendah hati (Nouwen,1993:92)
2.      Pada umumnya para pemimpin gereja (pendeta) memasuki pelayanannya pada sebuah gereja yang telah terstruktur begitu rupa dengan sistem yang sudah jelas dan terpelihara bertahun-tahun lamanya. Akibatnya para pemimpin cenderung beradaptasi dengan apa yang sudah ada, menyukai status quo lebih daripada hasrat untuk melakukan perubahan. Gerejapun berjalan stagnan seolah tanpa jiwa, mengalir begitu saja dari waktu ke waktu tanpa ada perkembangan atau perubahan yang berarti. Orangpun terbangun dengan mental models “biasanya begini, dari dulu juga sudah begitu” sebagai penolakan atas perubahan. Kreatifitaspun akan “terberangus” karena dalam kreatifitas senantiasa tersimpan kemungkinan perubahan, sementara di balik perubahan tersimpan kemungkinan pertentangan, dan dibalik pertentangan senantiasa terbuka kemungkinan penolakan (baca : pemecatan). Pemimpin tidak lagi memiliki fungsi kepemimpinan sebagai “pengendali, penggerak, pendorong dan pengubah” (Darmaputera 2005:15), hanya menjadi pemimpin “boneka” atau pemimpin di atas kertas.
3.      Percepatan dunia yang diakibatkan ledakan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, khususnya komunikasi dan informasi menghembuskan perubahan yang cepat dan radikal dalam berbagai aspek yang berdampak pada transformasi yang luas dalam peta kehidupan manusia. Gereja tidak jarang berada dalam kebingungan arah bahkan kebingungan spiritual. Fenomena “chaos” ini nampak misalnya dalam kegandrungan mengejar kepuasan rohani melalui sesuatu yang sifatnya sensasional, supranatural dan bangkitnya fundamentalisme; sementara pada ekstrim yang berbeda mengarah pada pluralisme, liberalisme dan universalisme yang merelatifkan iman, mencabut keilahian Kristus dan kewibawaan Alkitab. Imbas dari kebingungan spiritual ini membawa jemaat dalam keadaan bertanya dan mencari, sehingga tidak jarang mereka terjebak ke dalam “jalan yang disangka lurus tetapi ujung-ujungnya menuju maut” (Ams 14:12).
Dalam masa-masa chaos seperti ini, Warren Bennis mengatakan bahwa orang-orang tersebut menginginkan arahan, kepercayaan dan harapan dari para pemimpin (Gibbs 2012:68). Yaitu pemimpin yang mampu memberikan visi yang jauh melebihi masa kini, menyodorkan skenario alternatif yang dapat mengatasi ancaman dan menghadirkan pemulihan. Dengan demikian, pemimpin dituntut bukan hanya tanggap atas dinamika kebutuhan dan pergumulan jemaat melainkan juga dituntut untuk mengenal dan menemukan jawaban alternatif atas segala isu, dampak perubahan dan pengajaran yang berkembang. Pemimpin dituntut untuk tidak berhenti pada tingkat pengetahuan, ketrampilan dan mentalitas-iman spiritual yang saat ini dimilikinya.
Namun celakanya banyak pemimpin yang tidak cukup bertumbuh dalam hikmat menghadapi gejolak perubahan zaman, dan justru ikut terjebak dalam kebingungan yang sama, sehingga mungkinkah “orang buta menuntun orang buta”? (Mat 15:14) Keprihatinan yang cukup kuat pada masa kini adalah ketika pemimpin-pemimpin gereja sedemikian hanyut dengan kesibukan sehingga mengabaikan pertumbuhan spiritualitas pribadi. Bagaikan sebuah pohon, seorang pemimpin perlu memberikan waktu bagi pertumbuhan spiritualitasnya agar ia memiliki akar yang kuat dan batang yang teguh, sehingga ia mampu hadir di tengah kegelisahan jemaat dan menjadi tempat berpegang yang kuat. Bagaikan mata air, pemimpin harus mencegah agar dirinya tidak mengalami kekeringan spiritualitas agar dapat memuaskan kehausan spiritualitas jemaat. “Gereja setempat adalah harapan dunia dan masa depannya terletak di tangan para pemimpinnya” (Hybells,2004:28) demikian slogan yang berulang kali di serukan Hybells untuk mengingatkan peranan gereja dan pemimpin dalam menanggapi dampak perubahan dan menjawab pergumulan.  Jika gereja dan para pemimpin sudah tidak lagi mampu menjadi tumpuan harapan dan kehilangan kepercayaan jemaat maka gereja dan pemimpin sudah kehilangan hakekat panggilannya. Kualitas kepemimpinan seorang pemimpin ditentukan oleh kepekaan serta kemampuannya untuk melakukan apa yang tepat, pada saat yang tepat, dengan cara yang tepat (Darmaputera, 2005:17). Minat dan komitmen untuk bertumbuh, belajar dan mengembangkan potensi yang dimilikinya nampaknya masih sangat kurang disadari oleh para pemimpin gereja  masa kini.
4.      Persoalan dan tantangan lain yang dijumpai dalam kepemimpinan gereja masa kini juga nampak dari fakta teralienasinya kaum awam dalam gelanggang pelayanan. Meskipun gereja memiliki banyak anggota dan berlimpah sumber daya manusia (SDM) namun kerapkali dijumpai barisan “pengangguran kaum awam  yang mengindikasikan bahwa gereja kurang memberikan perhatian serius bagi pemberdayaan jemaat atau kurang melibatkan jemaat secara aktif. Kepemimpinan konvensional masih berkutat pada orang-orang yang sama dalam kurun waktu yang lama. Regenerasi kepemimpinan berada pada titik terendah. Jemaat ditempatkan (dan lebih suka menempatkan diri) menjadi penonton daripada pemain, pasif daripada aktif, pengikut daripada pemimpin. Akibatnya tingkat mobilitas gereja menjadi kecil, lemah dan stagnan.
Demokratisasi (kebangkitan kaum awam) akan menjadi kekuatan luar biasa bagi pembangunan jemaat jika gereja mampu membangun sinergi yang memadukan semua kekuatan dan potensi jemaat. Tetapi demokratisasi juga berpotensi memunculkan iritasi dan friksi jika tidak diimbangi dengan pemberdayaan yang memadai. Di sinilah kepemimpinan harus mampu merangkul dan membekali jemaat dengan pendidikan yang seimbang antara aspek kognitif, afektif dan aktif dalam gerak pertumbuhan dan pelayanan. Dengan demikian jemaat akan menyadari dirinya sebagai bagian dari komunitas yang berharga dan dapat berkontribusi di dalamnya.

Dengan mencermati persoalan dan tantangan tersebut, nampak bahwa kepemimpinan gereja berada pada titik kritis yang dapat mengakibatkan kemerosotan dalam pertumbuhan gereja dan pemenuhan panggilan pelayanan ditengah-tengah dunia. Krisis kepemimpinan seperti ini akan berdampak bagi krisis pengikut, dan krisis pengikut akan berdampak bagi kepemimpinan masa depan.

KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF
1. Mengkaji Definisi Kepemimpinan
Tak terhitung banyaknya usaha telah dilakukan para ahli untuk mendefinisikan kepemimpinan. Pdt.Eka Darmaputera mendefinisikan pemimpin adalah mereka yang membuat “sesuatu” terjadi, They make things happen (Darmaputera,2005:13).  Mereka berhasil menembus kebekuan sehingga sejarah tidak lagi bisa berjalan “biasa” seperti sebelumnya. Eddie Gibbs mengumpulkan ragam definisi antara lain dari J.Robert Clinton (Leadership Emergency Theory) bahwa “Seorang pemimpin Kristen adalah seorang yang mendapat kapasitas dan tanggungjawab dari Allah untuk memberi pengaruh kepada sekelompok umat Allah tertentu untuk menjalankan kehendak Allah bagi kelompok tersebut”. James Kouzes dan Barry Posner (The Leadership Challenge) : “Kepemimpinan bukanlah milik pribadi dari beberapa orang yang memiliki kharisma. kepemimpinan adalah proses yang digunakan oleh orang-orang biasa ketika mereka memberikan apa yang terbaik dari diri mereka dan dari orang lain. Kepemimpinan adalah kapasitas anda untuk menuntun orang lain ke tempat yang belum pernah mereka (dan anda) datangi”, Steven Bernstein dan Anthony Smith (The Puzzle of Leadership) mengatakan “Kepemimpinan saat ini dipahami banyak orang untuk mengacu pada tindakan kolektif, dirancang dengan suatu cara agar membawa perubahan yang signifikan sembari meningkatkan kompetensi dan motivasi dari semua yang terlibat – tindakan dimana lebih dari satu individu memengaruhi proses”, sedangkan Robert Banks dan Bernice M.Ledbetter (Reviewing Leadership) berkata “Kepemimpinan melibatkan orang, kelompok atau organisasi yang menunjukkan jalan dalam aspek kehidupan – dalam jangka waktu singkat maupun panjang – dan dengan demikian, akan memengaruhi bahkan memberdayakan cukup orang untuk membawa perubahan terhadap aspek kehidupan tersebut. Walter Wright (Relational Leadership) melengkapi “Kepemimpinan adalah sebuah hubungan – sebuah hubungan di mana satu orang mencoba memengaruhi pemikiran-pemikiran, perilaku-perilaku, kepercayaan-kepercayaan atau nilai-nilai orang lain (Gibbs,2012:19-22).
Mencermati definisi tersebut nampak bahwa kepemimpinan bukanlah soal posisi, status atau jabatan yang olehnya seseorang dapat menggerakkan pengikut. Posisi tidak mencetak pemimpin, justru sebaliknya kepemimpinan dapat membuka jalan menuju posisi/status atau jabatan tertentu. Kepemimpinan juga bukan semata soal intelektual/pengetahuan, meskipun sudah sering pameo “Knowledge is power” diucapkan. Pengetahuan memang menjadi elemen utama kepemimpinan namun bukan menjadi jaminan bahwa tingkat intelektualitas akan menentukan kualitas kepemimpinan. Kepemimpinan juga berbeda dengan managemen. Ted W.Engstrom memodifikasi ulang paparan Olan Hendrik untuk membedakan keduanya (Engstrom,tt:20) :
Leadership is quality, Management is a science and an art.;
Leadership provides vision; Management supplies realistic perspectives;
Leadership deals with concepts; Management relates to functions;
Leadership exercises faith; Management has to do with fact;
Leadership seeks for effectiveness; Management strives for efficieny;
Leadership is an influence for good among potencial resource; Management is the coordination of available resource organized for maximum accomplismenth;
Leadership provides direction; Management is concerned about control;
Leadership thrives on finding oppurtunity; Management succeeds on accomplishment
Meskipun definisi tersebut dilakukan dengan berbagai pendekatan, baik dengan teori sifat, perilaku, kontinum, situasional dan sebagainya namun ragam pendefinisian tersebut bermuara pada satu pengertian yaitu bahwa “Kepemimpinan berpaut-erat dengan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain kepada suatu tujuan”. Persoalannya apakah pengaruh itu dinyatakan melalui kekuatan yang menekan (force) ataukah meyakinkan (persuasion), berdasar otoritas-formal ataukah legitimasi-informal, kepatuhan membuta ataukah kesadaran, itulah yang membedakan bagaimana kepemimpinan itu dijalankan. Menurut Hall, ketaatan pengikut  terhadap pemimpin sebenarnya telah mengalami pergeseran. Pada masa lalu ketaatan berarti melaksanakan apa yang diperintahkan, namun pada masa kini ketaatan berarti konsensus, yaitu ketika pemimpin dan pengikut terampil berbagi dan saling mendengarkan lalu mencapai keputusan bersama (Hall,1992:58).
Dari pemahaman terakhir nampak bahwa kepemimpinan pada masa sekarang ini seharusnya sudah memasuki ranah keterbukaan dan bukan eksklusif-instruksional. Kepemimpinan bertujuan untuk mendukung orang/kelompok dan menolong mereka untuk menjalankan tugasnya dan bukan untuk mendiktekan apa yang harus mereka jalankan (Hendrik, 2006: 68). Namun realita kepemimpinan seringkali masih berbeda sehingga muncul ragam persoalan dan tantangan sebagaimana tersebut di atas. Dalam konteks bergereja, gaya kepemimpinan hierarkis yang mengandalkan kekuasaan dan otoritas sudah tidak pada tempatnya di terapkan dan harus ditinggalkan. Gereja adalah komunitas sukarela yang makin berkembang dengan wawasan, informasi dan kreatifitas. Ada banyak area yang tidak terjangkau oleh pemimpin namun di kenal baik dan dikuasai oleh jemaat. Dalam kondisi semacam ini, gaya kepemimpinan yang lebih tepat bukanlah gaya kepemimpinan yang menekan melainkan membebaskan, bukan instruksi tapi diskusi, bukan mengandalkan karakteristik individual melainkan kemampuan organisasi, bukan mengendalikan melainkan memberdayakan.
Bornemann menyebut gaya ini “bukan otoriter tetapi kooperatif”, perbedaannya jelas : Gaya otoriter menempatkan referensi pada jabatan; gaya kooperatif pada rundingan bersama.; otoriter membangun jarak dan hierarkis; kooperatif membangun kedekatan dan susunan datar ; otoriter mengutamakan anggota yang patuh, taat dan disiplin; kooperatif mengutamakan karakter yang kuat dan menghargai orang yang bebas dan dewasa pikirannya ; otoriter mengakibatkan pengikut kurang dimengerti dan dihargai, merasa diperas dan tangan terikat; kooperatif mengakibatkan pengikut merasa dihargai dan dimengerti sebagai person ; otoriter membangun iklim yang penuh ketegangan, bahaya kecurigaan satu sama lain dan pembentukan klik; kooperatif bertendensi ke arah kepercayaan, kesatuan, intern dan harmoni ; Gaya otoriter tidak membangun kemandirian dan tanggung jawab sehingga harus mengandalkan otoritas jabatan; gaya kooperatif menghasilkan kemandirian dan tanggung jawab sehingga memberikan peneguhan dan pembenaran kepercayaan kepada pemimpin (Hendrik,2006:76-77).
Dalam bahasa Lipman-Blumen, kepemimpinan harus bergerak dari model kepemimpinan transaksional ke model transformasional (Gibbs,2012:29). Kepemimpinan transaksional memiliki kesepakatan tahu sama tahu antara pemimpin dan pengikut. Terjadi transaksi dimana pemimpin akan menukarkan apa yang dibutuhkan pengikutnya untuk memperoleh apa yang dibutuhkannya. Pemimpin transaksional memiliki satu tujuan dan para pengikutnya memiliki tujuan yang lain (Wofford,2011:8), sedangkan kepemimpinan transformatif terjalin dalam koneksi karena memiliki tujuan dan visi yang dihidupi bersama, di dalamnya terdapat penghargaan dan kepercayaan, serta ruang yang terbuka untuk pemberdayaan dan perubahan.

2. Kepemimpinan Transformatif
            Andrew Carnegie pernah menyatakan bahwa  “Tidak seorangpun bisa menjadi pemimpin yang hebat bila ia melakukan semuanya sendirian, atau memperoleh semua pujian karena melakukannya” (Cole,2011:1). Pernyataan ini benar, karena sangat mustahil seorang pemimpin melakukan semua hal dengan kekuatan, kemampuan dan ketrampilannya sendiri. Itulah salah satu alasan fundamental mengapa kepemimpinan harus berlandaskan tim daripada usaha individu. Salah satu penyebab terjadinya kekeringan spiritual pada pemimpin dan berdampak pada kepemimpinan dan karakternya adalah ketika ia mengerjakan semuanya sendiri. Kepemimpinan dalam gereja adalah sebuah tindakan kolektif dan relasional dengan nilai-nilai dan visi yang menyerap hingga ke seluruh komunitas. Eddie Gibbs menegaskan “Kemajuan era informasi menggarisbawahi perlunya melihat kepemimpinan sebagai sebuah fungsi tim, mengenal kontribusi-kontribusi tersendiri dari setiap anggota tim berdasarkan kepribadian, talenta dan pengalaman mereka” (Gibbs,2012:45). Di sinilah kepemimpinan transformatif menempatkan diri. Ide dasar kepemimpinan transformatif adalah kepemimpinan yang mampu menggerakkan orang dan menghadirkan perubahan.
Kepemimpinan transformatif ini membebaskan pemimpin dari kekuasaan bergaya otoriter kepada gaya kooperatif; dari hierarki ke jaringan yang fleksibel, responsif dan memberdayakan; dari self-oriented kepada people-oriented, dari kepemimpinan tunggal kepada kepemimpinan tim. Tim yang di bentuk pun lebih dari sekedar bekerja sama, melainkan menjalani hidup dalam keterkaitan yang mendalam bersama satu sama lain saat melayani bersama (Hybells,2004:87). Sebuah tim yang efektif, penuh kasih, memiliki fokus/visi yang jelas dan terbangun dalam kedekatan/keakraban yang intens dan saling melengkapi antar anggota. Didalamnya terjadi sebuah “... Proses di mana orang terlibat dengan orang dan menciptakan hubungan yang meningkatkan motivasi dan moralitas dalam diri pemimpin dan pengikut.”(Northouse,2013:176).
Seorang pemimpin transformatif memiliki ciri-ciri yang positif, antara lain mampu menyatukan tujuan bersama yang melukiskan nilai-nilai, motivasi, keinginan, kebutuhan, aspirasi dan harapan mereka. Perbedaan dalam tim dihargai dan tidak dilihat sebagai ancaman melainkan sebagai kekayaan yang dapat dikembangkan bersama untuk saling memperkaya. Justru dalam perbedaan tersebut, pemimpin akan melakukan negosiasi dan menciptakan aliansi-aliansi jangka pendek berdasarkan konsensus dan kompromi yang sehat. Para pemimpin transformatifpun akan berusaha meningkatkan perilaku moral pada level yang makin tinggi pada anggota sekaligus juga pada dirinya sendiri.

Faktor-faktor penting bagi kepemimpinan transformatif (bdk.Northouse,2013:181-3)
a.       Pemimpin transformatif memiliki pengaruh ideal (idealized influence). Ia patut di ikuti dan di teladani karena memberikan pengaruh yang ideal dalam membangun kepercayaan, mengarahkan pada tujuan, memiliki komitmen, visi dan sence of mission yang jelas. Bukan hanya terbatas pada kata-kata, pengetahuan dan kebijakan melainkan juga pada karakter pribadi yang terlihat dan dapat di baca orang lain. Seorang pemimpin harus memiliki karakter sebagai orang yang dapat dipercaya (trustworthiness), bijaksana (prudence), berpihak pada kebenaran (truthfulness) dan memiliki integritas (integrity) (Trull & Carter,2012:8). Dalam buku “Success Through Character”, Jakoep Ezra mengatakan  bahwa “Kekuasaan dapat menghantar seseorang menggapai puncak, tapi hanya karakter yang dapat membuat seseorang bertahan di puncak”(Ezra, 2009: ix).
b.      Pemimpin transformatif mampu memberikan motivasi yang menginspirasi (inspirational motivation) anggota/pengikutnya. Pemimpin transformatif mengkomunikasikan visi yang ia miliki dan memotivasi pengikut untuk menjadi bagian dari visi bersama komunitas. Ia pun mampu memberikan motivasi yang memberikan inspirasi untuk mencapai standar/kualitas hidup yang lebih tinggi, optimis dan antusias untuk membangkitkan semangat kelompoknya.
c.       Pemimpin transformatif mampu memberikan rangsangan intelektual (intellectual stimulation) kepada anggota/pengikutnya sehingga analisa masalah, brainstorming ide dan proses pembelajaran makin hidup. Pemimpin transformatif akan menjadi pemimpin yang inspiratif, yang  bukan hanya “merangkul” tapi juga “menyertakan” orang lain agar berkembang menjadi lebih terbuka dalam mengutarakan ide-idenya dan men-stimulasi kemampuan intelektual mereka  sehingga lebih kreatif , inovatif  dan kritis pada nilai hidup mereka sendiri dan relevansinya dengan visi bersama (Gibbs,2012:176).
d.      Pemimpin transformatif mendorong/membangun kemampuan dan mengupayakan pengembangan karier pengikutnya. Ia mampu membangun hubungan yang saling bergantung dan memperlakukan orang lain sebagai individu (individual consideration) yang dihargai dan di dengar aspirasinya (Gibbs,2012:194).

Pemimpin transformasional pada hakekatnya adalah pemimpin yang memberikan pengaruh positif dan mendatangkan perubahan (agent of change) bagi komunitasnya sebagai organisasi maupun bagi  individu-individu pengikutnya secara personal.

KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF DALAM ALKITAB
 1.      Perjanjian Lama : Kepemimpinan Transformatif Musa
Bukan hanya pemimpin masa sekarang yang dapat dihempaskan oleh kelelahan, Musa sebagai pemimpin terbesar dalam Perjanjian Lama juga menghadapi persoalan tersebut Kharisma kepemimpinan Musa memang luar biasa sehingga umat Israel rela antri dari pagi sampai petang untuk meminta petunjuk dan Musa menghadapi semua itu sendirian (Kel.18:13). Justru gaya kepemimpinan tunggal Musa inilah yang menyebabkan pelayanannya menjadi tidak efektif. Ia tidak mungkin menjangkau dan menyelesaikan semua persoalan, sekalipun kesungguhannya tidak perlu di ragukan. Akibatnya ia mengalami kelelahan fisik, psikis dan spirit demikian juga dengan komunitas yang ia layani (Kel.18:18). Terlalu banyak harga yang harus di bayar bagi kepemimpinan tunggal sementara hasil yang di dapatkan tidak seimbang. Kelelahan akan mengakibatkan penumpukan masalah, dan penumpukan masalah biasanya berkawan akrab dengan frustrasi dan kekecewaan, yang kemudian berbuntut pada kejenuhan dan stagnasi, bahkan secara komunal dapat memicu konflik.  
Nasehat Yitro menghembuskan paradigma baru bagi kepemimpinan Musa, yang menjadi cikal bakal kepemimpinan transformatif di zaman modern. Sebuah gagasan cemerlang di cetuskan untuk membentuk kepemimpinan tim (Kel.18:19-22).  Faktor kepemimpinan transformatif dimunculkan melalui berbagi kekuasaan, nilai-nilai , tanggung jawab dan langkah-langkah pemberdayaan. Dengan demikian Musa tidak perlu menangani semua sendirian, sehingga “… engkau akan sanggup menahannya, dan seluruh bangsa ini akan pulang dengan puas senang ke tempatnya” (Kel.18:23). Paradigma kepemimpinan Musa ini mengajarkan prinsip-prinsip kepemimpinan yang mencakup : Menemukan, Merekrut dan Melatih pemimpin bagi tugas kepemimpinan. Terjadilah pergeseran kepemimpinan dari kepemimpinan tunggal kepada kepemimpinan tim, centering kepada synergizing, single power kepada empowering.
Berbagi kepemimpinan dan pemberdayaan tidaklah mengurangi kualitas dan otoritas seorang pemimpin. Justru sebaliknya, ia dapat menggunakan otoritasnya dengan memberikan kesempatan bagi banyak orang untuk memberikan kontribusi dan berdaya guna bagi komunitas yang dipimpinnya. Pelayanan menjadi lebih efektif dan diperkaya. Banyak pemimpin yang  tidak berani berbagi kekuasaan dan melakukan pemberdayaan kepemimpinan karena kuatir akan melahirkan persaingan kekuasaan, menggoyahkan kepastian kerja, adanya kemungkinan pergantian/tergusur, dan penolakan terhadap perubahan (Maxwell, 2000:227-33). Di samping itu, dengan pemahaman yang salah tentang peran kepemimpinan, tidak sedikit para pemimpin gereja yang merasa bahwa sebagai pemimpin maka merekalah yang bertanggung jawab atas semua hal . Padahal tidak pernah dijumpai klosula di gereja manapun yang menggariskan hal ini. Seorang pemimpin transformatif adalah pemimpin yang memberdayakan pemimpin-pemimpin baru, merangkul dan melibatkan dalam kepemimpinan, memberikan peluang untuk berkontribusi bagi komunitas dan kehidupan. “Lebih baik merangkul 1000 orang untuk bekerja daripada seorang diri menangani pekerjaan 1000 orang”, kata DL.Moody.
Sejak zamannya, Musa telah menunjukkan bahwa kepemimpinan “single fighter” bukanlah gaya kepemimpinan yang tepat, terlebih ketika jumlah komunitas dan inventarisasi masalah makin bertambah. Sehebat-hebatnya seorang pemimpin (dan penulis rasa, langka sekali menemukan pemimpin sehebat Musa pada masa kini), ia tidak akan memiliki cukup waktu, kekuatan dan potensi untuk menanggung semua hal di atas bahunya. Hanya pemimpin berjiwa besar seperti Musa yang terbuka untuk menyadari keterbatasan diri, membuka telinga untuk menerima saran/masukan dan rela merombak pola kepemimpinan lama yang tidak lagi mampu menjawab kebutuhan.
Penggalangan team-work tentu saja tidak boleh mengabaikan pentingnya kualifikasi rohani sebagai diamanatkan dalam pola kepemimpinan Musa (Kel.18:21). Bukan sekedar “asal ada yang mau”, melainkan dengan pertimbangan yang matang dan menemukan adanya elemen-elemen kepemimpinan rohani yang mendukung. Jika tidak demikian, justru akan memunculkan persoalan baru daripada meningkatkan efektifitas yang hendak di capai. Kualifikasi rohani bagi pemimpin gereja harus mendapat penekanan yang seimbang dengan kualifikasi lain seperti pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari dimensi ekklesiologis bahwa Gereja itu kudus sebagaimana Allah juga kudus. Kualifikasi rohani (kekudusan) menjadi gambar utama sebuah gereja, karena itu harus di topang juga dengan pemimpin-pemimpin yang memiliki kualifikasi rohani yang memenuhi syarat. Tanpa kerohanian yang baik, hanya akan ditemukan pemimpin-pemimpin yang handal dan cerdas namun tanpa hati. Kualifikasi rohani bagi teamwork Musa adalah “orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengejaran suap”, di dalamnya nampak adanya kombinasi yang kuat antara skill (kecakapan), spiritualitas (takut akan Allah), karakter (dapat dipercaya) dan kebenaran (benci suap).
Perubahan bukanlah perubahan sampai terjadi perubahan”, demikian sebuah ungkapan yang cukup populer. Musa melakukan perubahan dengan nyata. Sebagai pemimpin ia menangkap kebutuhan transformasi kepemimpinan sebagai kemendesakan, dan ia tidak ragu-ragu mengambil keputusan serta tidak mau menunda apa yang memang bisa dilakukan dengan segera. (Kel.18:24-26). Kualitas kepemimpinan seorang pemimpin ditentukan oleh kepekaan serta kemampuannya untuk melakukan apa yang tepat, pada saat yang tepat, dengan cara yang tepat (Darmaputera,2005:17). Seorang pemimpin transformatif bukan hanya sadar akan otoritas jabatan yang ia miliki, namun juga tahu kapan dan bagaimana menggunakannya dengan tepat. Perubahan hanya dimungkinkan terjadi ketika pemimpin berani melakukan tindakan yang tepat, pada saat yang tepat dan dengan cara yang tepat, yaitu dalam jalinan konektivitas dengan komunitas yang dipimpinnya. Perubahan sistem dalam komunitas tidak dapat dilakukan sendiri melainkan harus di dukung oleh anggota komunitas tersebut. Keprihatinan atas kepemimpinan masa kini adalah kekurangpekaan untuk menangkap dan mensosialisasikan kemendesakan untuk melakukan suatu perubahan. Hal ini semakin diperparah oleh mentalitas menunda apa yang seharusnya bisa dilakukan dengan segera, dan ketidakberanian untuk mulai melangkah dan melakukan perubahan dengan melibatkan jemaat.  
Pembangunan Jemaat akan berhasil apabila anggota di libatkan dan diberi kesempatan untuk mengaktualisasikan diri sesuai potensi yang dimilikinya.  Hal ini sangat mencerminkan dimensi ekklesiologi Gereja sebagai tubuh, dimana setiap orang/anggota diciptakan oleh Allah dengan potensinya masing-masing (I Kor.12:18). Seorang konsultan pertumbuhan gereja, Win Arn menyatakan bahwa rasio peranan yang dapat dilakukan jemaat adalah 60 : 100, artinya terdapat 60 peranan/tugas/pelayanan bagi setiap 100 anggota. Gereja dengan rasio rendah, dimana pelayanan dan kepemimpinan hanya dipegang orang-orang tertentu akan mengalami hambatan yang serius dalam pertumbuhannya (Arn,1987:10). Resiko yang terjadi adalah lahirnya jemaat pasif atau “pengangguran kaum awam”.

2.      Perjanjian Baru : Kepemimpinan Transformatif Tuhan Yesus
a. Pemimpin Sebagai Pelayan (Servant)
Salah satu ciri kepemimpinan yang berprinsip (Principle Centered Leadership) ialah kepemimpinan yang berorientasi pada pelayanan (Covey ,1997:30). Tuhan Yesus pernah berkata : “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Mat 20:26-28). Sebuah statemen radikal namun membebaskan para murid dari disorientasi kepemimpinan. Bagi Yesus, kepemimpinan itu bukanlah soal posisi atau kekuasaan melainkan sebuah pelayanan. Kekuasaan dipahami sebagai partisipasi dan pelayanan (van Kooij,2010:102), bukannya berorientasi pada diri sendiri dengan keinginan menjadi terbesar, terkemuka dan dilayani (Mat. 20:26; Mrk 10:43-44), melainkan bertolak dari kesadaran dan kesediaan penuh untuk membaktikan hidup bagi orang lain, sekalipun berkonsekuensi berat. Sebuah pengabdian hidup dalam rangka pembebasan, pemberdayaan dan pengaktualisasian manusia. Ketika pemimpin gereja lebih suka berdiam dalam zona nyaman yang berpusat pada kepentingan diri maka gerejapun akan menjadi komunitas elit-eksklusif  yang tidak mempunyai peran sosial sebagai garam dan terang dunia.  Jika ingin melihat perubahan terjadi, para pemimpin harus bersedia mengorbankan kekuasaan, gengsi, dan bahkan profesi mereka untuk membangun kehidupan Kerajaan Allah yang terbuka bagi semua orang dan melayani semua orang (Cole,2011:71).
Karakteristik kepemimpinan Yesus sebagai Pelayan dinampakkan dalam bentuk pelayanan, dukungan dan pemberdayaan. Yesus tidak berhenti pada tuturan kata ideal melainkan dalam perilaku utama berupa keteladanan dan semangat rendah hati. Seiring dengan pengajarannya mengenai kerendahan hati, Yesuspun menampilkan diri-Nya “Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan” (Luk. 22:27) dan dengan nyata Yesus berlutut membasuh kaki murid-murid-Nya, “Jikalau aku membasuh kakimu, aku yang adalah Tuan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu, sebab aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah kuperbuat kepadamu…maka berbagahagialah kamu, jika kamu melakukanya (Yoh.13:14).  Memberikan teladan merupakan cara transformasi yang efektif sehingga para pengikut dapat melihat langsung perilaku apa yang dibuat oleh pemimpin, yang mendorong mereka untuk mengikuti jejak, memiliki keserupaan dan membangun komitmen. Transformasi kepemimpinan Yesus tidak di tempuh melalui jalan paksaan dan indoktrinasi, melainkan melalui keteladanan, bimbingan, pengajaran  dan apresiasi. Hal inilah yang mendorong para murid untuk melakukan pekerjaan karena mereka memang menghendakinya, bukan karena diperintah/terpaksa. Maxwell (2006:64) mengidentifikasikan lima prinsip sebagai petunjuk untuk dapat menjadi teladan, yaitu: 
               1. Memperbaiki diri sebelum memperbaiki orang lain,
2. Memperbaiki diri lebih banyak dari pada orang lain,
3. Mengejar apa yang benar lebih daripada melakukan apa yang benar,
4. Melakukan apa yang dapat dilihat bukan hanya dengan kata-kata, dan
5. Belajar dari teladan orang lain.
Jadi intinya adalah memimpin diri sendiri terlebih dahulu baru memimpin orang lain. Dr. Jerry C. Wofford dalam bukunya Transforming Christian Leadership (1999) mengungkapkan bahwa kepemimpinan pelayan memperluas kepemimpinan transformatif hingga ke wilayah perhatian baru, yakni pelayanan yang rendah hati. (D’Souza, 2009:14-6).

b. Pemimpin Sebagai Gembala (Shepherd)
Dalam Mazmur 23 dikatakan:”Tuhan adalah Gembalaku, takkan kekurangan aku.” Sumber inspirasi seorang pemimpin sebagai gembala adalah Tuhan sendiri. Sebagai Gembala , Tuhan Yesus rela memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umatnya sebagai ‘domba-domba’. Karakteristik kepemimpinan Yesus sebagai gembala di nampakkan dalam kepedulian, keberanian dan tuntutan. Bagi pemimpin-gembala perhatian dan produk bukan pada hasil dan keuntungan melainkan para pengikut/ anggota (D’Souza, 2009:27). Kepemimpinan Yesus berpusat pada pribadi manusia, menjaga para anggota dan menginginkan mereka berkembang dan berhasil memenuhi tujuan dan panggilan mereka (Blanchard & Hodges, 2007:157-8). Itulah sebabnya, Yesus tidak hanya menyatakan diri-Nya sebagai Gembala yang Baik (Yoh.10), namun Ia-pun men-transformasikan kepemimpinan-Nya dengan mengangkat Petrus sebagai gembala (Yoh.21:15-19), dan Petrus pun melanjutkan dengan meminta kepada para Penatua Gereja untuk menjadi gembala umat Allah (1 Pet. 5:2).
Pemimpin sebagai gembala di dorong oleh semangat cinta kasih, sehingga ia akan membangun relasi yang baik dengan domba-dombanya. Ia mengenal domba-dombnya dan domba-domba mengenal gembalanya, ia hadir dan siap sedia memimpin dari depan, berani melindungi domba-domba dari bahaya,  menuntun dan membimbing para domba pada kehidupan, peduli pada domba yang bermasalah, memiliki kesetiaan dan kerelaan mengorbankan diri bagi kepentingan domba-dombanya (Yoh 10). Lowney menyatakan bahwa kepemimpinan yang didorong oleh cinta kasih: memiliki visi untuk melihat bakat, potensi, dan harkat setiap pribadi; memiliki keberanian, gairah, dan komitmen untuk membuka kunci potensi; kesetiaan dan dukungan satu sama lain sebagai hasilnya, yang menyemangati dan mempersatukan Tim (Lowney,2005:200).

c. Pemimpin Sebagai Pengurus (Steward)
Seorang pemimpin dapat menjalankan peran kepemimpinannya bukan berdasarkan “surat sakti” yang melegitimasikan statusnya, melainkan dari kepercayaan dan otoritas yang diberikan kepadanya. Kepercayaan memiliki dampak yang sangat besar bagi pemimpin. Haring menjelaskan bahwa rasa percaya diri (self-confidence) dan merasa diri berharga (selfesteem) adalah syarat yang perlu agar seseorang berkembang dalam kematangan yang cukup untuk bisa bertanggung-jawab (Sujoko,2008:109). Kepercayaan memang bergandeng-erat dengan tanggung-jawab. Dalam Lukas 12:42-43, Tuhan Yesus berkata : “Jadi, siapakah pengurus rumah yang setia dan bijaksana yang akan diangkat oleh tuannya menjadi kepala atas semua hambanya untuk memberikan makanan kepada mereka pada waktunya? Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang ?”. Dan hal ini semakin ditegaskan-Nya ketika Ia berkata, “Setiap orang yang banyak diberi akan banyak dituntut, dan siapa yang banyak dipercayai akan lebih banyak lagi dituntut.” (Luk.12:48). Yesus telah menunjukkan dimensi kepemimpinan-Nya sebagai pemimpin yang dapat dipercaya dan bertanggung jawab, jujur, berintegritas dan transparan.
Donna Prestwood dan Paul Schumann (D’Souza,2009:175) mengungkapkan bahwa Yesus memiliki 4 kemampuan utama sebagai pemimpin transformatif yang menghasilkan perubahan, yaitu :
a.       Ennoble (memaknai), yaitu dengan cara menanamkan visi dan misi serta menemukan makna dan tujuan dari apa yang dilakukan. Seorang pemimpin harus mampu mentransformasikan nilai, visi, misi dan tujuan menjadi milik bersama.
b.       Enable (memampukan), yaitu dengan mendorong para pengikutnya untuk mampu berdaya guna dan efektif. Proses memampukan diupayakan dengan cara melengkapi orang/anggota dengan pengetahuan, kecakapan dan kemampuan untuk melakukan inovasi. Titik tolak Yesus adalah hati yang berbelas kasih  (Blanchard & Hodges,2006:49). Kendala terbesar untuk menjadi pemimpin seperti Yesus adalah hati yang dimotivasi oleh kepentingan pribadi.
c.       Empower (memberdayakan), yaitu dengan cara membangkitkan kegairahan, membangun kepercayaan dan menghasilkan tindakan. Proses pemberdayaan terhadap para murid dilakukan oleh Yesus selama mereka hidup bersama-Nya dan tetap memberi kepercayaan kepada mereka. Pemberdayaan mengindikasikan keberanian pemimpin untuk mempercayai orang yang dipimpin, sekalipun mereka sangat terbatas dan berulang kali melakukan kesalahan.
d.       Encourage (mendorong), yaitu dengan dengan terus memotivasi para murid untuk membuahkan hasil dan memberikan pengaruh yang berdampak pada perubahan dan pemberdayaan yang berkesinambungan.  Pemberdayaan dilakukan tidak hanya secara konstan tetapi terus-menerus sehingga orang lain dapat menjadi pemimpin.


PENUTUP
Gereja senantiasa berada di antara damba dan realita. Ketika gereja mendambakan sesuatu yang ideal, maka gereja mau tidak mau harus terbuka untuk melihat realita kehidupan bergereja saat ini. Gereja tidak bisa menutup mata, apalagi merasa nyaman dan berpuas diri dengan apa yang ada, karena itu berarti gereja berada pada titik kritis pertumbuhan bahkan berada pada zona berbahaya yang dapat melumpuhkan gereja. Suatu pertumbuhan dimungkinkan terjadi jika gereja menyadari dimana posisinya saat ini, apa yang sedang dikerjakan, dan apa yang sedang terjadi. Kesadaran ini bermakna kontributif ketika gereja tidak hanya berhenti sebatas evaluasi, namun berani mengembangkan potensi dan bersedia mengubah diri. Ketika gereja dan pemimpin merindukan terjadinya perubahan, maka gereja dan para pemimpin harus berani menerima resiko cara berpikir yang berbeda, pendekatan yang berbeda, metode yang berbeda. “Adalah sebuah kegilaan !”, kata Albert Einstein, “Jika seseorang melakukan hal yang sama berulang kali dan mengharapkan hasil yang berbeda” (Cole, 2011: 49)
Peranan pemimpin yang mampu mentransformasikan kepemimpinannya memiliki arti yang sangat besar bagi pembangunan jemaat, sekalipun harus tetap di sadari bahwa kepemimpinan transformatif bukanlah kepemimpinan yang dijalankan oleh orang-orang yang sempurna, melainkan oleh mereka yang sungguh-sungguh mau bekerja dan memiliki komitmen yang tinggi untuk mentransformasikan hidupnya bagi komunitas yang dipimpinnya. Oleh karena itu seorang pemimpin transformatif pertama-tama harus memiliki hati yang mau melayani dan menggunakan seluruh potensinya hanya untuk melayani. Kepemimpinan transformatif bukanlah soal kekuasaan dan kekuatan melainkan soal  hasrat hati yang tinggi untuk memberdayakan, memampukan dan mengangkat setiap orang dalam jaringan kerjasama. Neil Cole pernah berkata “Saya tidak ingin menghilangkan para pemimpin, saya ingin menghilangkan orang awam dengan menjadikan mereka sebagai pemimpin” (Cole, 2011:70), pada bagian lain Andrew Carnegie mengingatkan “Tidak seorangpun bisa menjadi pemimpin yang hebat bila ia melakukan semuanya sendirian, atau memperoleh semua pujian karena melakukannya” (Cole, 2011:1). Pembangunan jemaat merupakan tanggung jawab bersama dan menuntut partisipasi aktif dari setiap bagian/organ yang ada di dalamnya. Tidak ada satu orang pun atau satu kelompok pun dalam tubuh gereja yang harus menanggung beban, melakukan perubahan dan berjuang sendirian menuju perkembangan gereja. Peranan pemimpin (klerus maupun awam) dalam komunitas bukan untuk mengambil alih tanggung jawab dan peran jemaat, melainkan men-transformasikan kepemimpinan tersebut dengan mendayagunakan dan menggerakkan jemaat. Sejarah senantiasa membuktikan kebenaran bahwa pelayanan yang efektif dan membuka peluang bagi pertumbuhan adalah pelayanan yang dilakukan bersama sebagai sebuah tim. Vitalitas gereja terletak pada gerakan warga jemaat yang mampu bersinergi sebagai “batu-batu hidup” dalam pembangunan jemaat, yang mampu melakukan re-interpretasi dan mencari nilai-nilai kekristenan kontekstual, dan yang mampu menghasilkan dampak positif bagi dunia. Peran nyata gereja dalam kehadirannya di dalam dunia memang menjadi orientasi utama pembangunan jemaat. Gereja perlu terus membangun orientasi baru untuk melakukan tugas dan tujuannya dan menghadirkan transformasi di tengah-tengah permasalahan dunia (Hadiwitanto, 2010: 131)
Kesadaran membangun kepemimpinan tim ini merupakan ciri mendasar dari kepemimpinan transformatif. Melalui kepemimpinan tim akan terjalin kekuatan yang besar dengan jangkauan yang lebih luas dan dalam. Salah satu strategi membangun komunitas adalah dengan membangun keintiman antar jemaat dan sesama pelayan yang saling mengerti, menerima dan membangun dalam sebuah keterhubungan yang solid bagaikan sebuah keluarga. Konsep ini akan mudah dipahami jemaat karena kehidupan keluarga adalah kehidupan yang paling dekat dengan keseharian jemaat. Pdt.Dr.Rijnardus A.van Kooij dkk mengatakan : “Dalam keluarga ada misteri cinta kasih yang mempersatukan dan menyatukan sama seperti cinta kasih Kristus yang mempersatukan dan menyatukan semua orang. Dalam gambaran gereja sebagai keluarga, cinta kasih, persekutuan dan kesatuan mendapatkan wujud yang konkret (van Kooij,2010:107)”. 
Seorang pemimpin transformatif adalah juga seorang yang realistis namun juga optimis. Ia tidak menutup mata akan kenyataan yang ia jumpai, namun akan berusaha menemukan hal-hal positif yang dapat dikembangkan dan menjadi support bagi diri dan komunitasnya. Dibalik situasi seburuk apapun pasti ada kebaikan yang bisa ditemukan. Karena setiap manusia pada dasarnya memiliki potensi kreatifitas dan pembaruan sebagaimana mereka di ciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Inilah kekuatan besar dan potensial yang menjadi fondasi untuk mulai bergerak meletakkan dasar bagi bangunan Allah.
Terbukanya wawasan akan realita keberadaan GKMI Ebenhaezer – sebagai gereja yang masih sangat muda dan sedang berada pada masa pertumbuhan – memberikan pengaruh nyata yang mewarnai strategi untuk menggapai damba bersama di masa depan. Di dalamnya masih ditemukan berbagai kekurangan yang membutuhkan pembenahan, sekaligus di dapati berbagai potensi yang menunggu untuk dikembangkan. Di sini sangat dibutuhkan kemampuan dan kepekaan untuk menangkap urgensitas sebuah persoalan juga merupakan faktor penting bagi munculnya gerakan yang melahirkan perubahan. Model-model kepemimpinan, pendekatan-pendekatan dalam pendidikan kristiani dan pola-pola ibadah harus dilihat dalam bingkai kedinamisan untuk semakin di sempurnakan dari waktu ke waktu. Langkah-langkah identifikasi, evaluasi, pengembangan visi dan potensi, upaya-upaya transformasi dan rekonsiliasi dalam membangun relasi harus senantiasa menjadi konsentrasi, agar gereja tidak terhambat dan terlambat dalam mengantisipasi dan menyikapi perubahan.
Seorang pemimpin yang bijak tahu apa yang baik dan harus dipertahankan, apa yang kurang dan harus ditingkatkan, apa yang salah dan perlu dikoreksi, dan apa yang membutuhkan inovasi dan terobosan baru (Darmaputera,2005 : 16-7).

Ada tiga jenis manusia di dunia ini :
Orang yang tidak tahu apa yang terjadi
Orang yang melihat apa yang terjadi, dan
Orang yang melihat apa yang terjadi serta membuat sesuatu terjadi

Nicholas Murray Butler
Mantan Presiden Universitas Kolombia

SELESAI
 
"Hitherto the Lord has helped us."
Ebenhaezer
From the desk of  Daniel Lauw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar