Minggu, 07 Juni 2015

MEMBANGUN KOMUNITAS YANG MENYEHATKAN



Upaya Memahami, Menyikapi Dan Mengantisipasi
Fenomena Kerasukan Setan Dalam Konteks Pelayanan Jemaat Di Kota Pati

PENDAHULUAN : KONTEKS BUDAYA
Kerasukan Setan (Demon-Possesion) merupakan istilah yang tidak asing, bagi gereja-gereja, khususnya di kota Pati – Jawa Tengah. Bertahun-tahun lamanya kota ini di kenal sebagai “Kota pusat paranormal Indonesia/Kota seribu paranormal” (www.tempo.co 2013; bdk seputarpati09.blogspot.com 2014). Aktivitas paranormal ini cenderung pada dunia okultisme yang mengacu pada kejadian-kejadian misterius yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah menyangkut astrologi, nujum, horoskop, kartu tarot, ramalan, cenayang/spiritis, sihir, black magic dan satanisme. (Gardiner 2002:10). Di kota ini dapat ditemui tokoh-tokoh paranormal kondang Indonesia yang akrab dengan dunia magic, antara lain Boss Edy (Ketua Paguyuban Paranormal Indonesia), Jeng Asih, Mbah Roso, Sukma Jati, Anisa Dewi, David Gombak, dan Dewi Sedap Malam dll. Tidak jarang kota ini di kunjungi para artis, pejabat, pengusaha yang ingin mendapatkan kesuksesan, kecantikan, penangkal balak/bencana, ajian kanuragan, pengasihan, penglarisan, kewibawaan hingga pengobatan-pengobatan alternatif. Istilah-istilah seperti susuk, santet, jimat, mantra hingga bermacam tokoh hantu/setan/memedi/ lelembut  seperti tuyul, babi ngepet, genderuwo, pocong, jrangkong, glundhung pecengis, kuntil anak, sundel bolong, wewe gombel merupakan istilah dan nama yang sudah tidak asing bagi masyarakat. Bahkan anak-anak kecilpun sudah mampu membuat deskripsi profil sosok hantu tersebut.
Manifestasi kuasa setanpun sangat akrab dalam konsep masyarakat, terlebih ketika melihat fenomena-fenomena yang dianggap ganjil. Orang yang sakit dan berobat ke dokter namun tidak kunjung sembuh, akan dengan mudah di asumsikan sebagai orang yang terkena santet. Karena itu pengobatannya bukan oleh tenaga medis melainkan oleh paranormal. Seorang bayi yang selalu menangis tiap malam, diyakini karena melihat atau diganggu setan, karena itu perlu “di suwuk” oleh dukun. Terjadinya bencana alam di pahami sebagai akibat kemarahan para tokoh adikodrati (dhanyang), sehingga perlu di atasi dengan tradisi-ritual magis seperti “bersih desa” lengkap dengan ketoprak/wayang kulit yang dianggap dapat meredakan kemarahan tersebut, atau dengan mengadakan sembahyangan massal di punden-punden, sesaji-sesaji di kuburan atau perempatan jalan. Bukan hanya budaya Jawa, budaya Tionghoapun bergerak dalam ritme eksorsis yang senada melalui atraksi barong sai saat perayaan Imlek dengan berkeliling kota untuk mengusir setan-setan. Dalam konteks masyarakat semacam ini, orang tidak lagi membedakan antara kerasukan setan/kesurupan dengan gangguan jiwa. Ketika menjumpai seseorang yang menunjukkan sikap-sikap yang ganjil, melotot, mendesis, bertindak diluar kesadaran, pingsan, tak terkendali, berteriak-teriak dan semacamnya, maka dapat dipastikan bahwa setiap orang – dari agama manapun, tingkat usia dan pendidikan seperti apapun – akan dengan mudah mengambil kata sepakat bahwa orang tersebut sedang kerasukan setan.
Gerejapun tidak terlepas dari pemahaman-pemahaman seperti ini, bahkan sadar ataupun tidak, gereja turut ambil bagian dalam menumbuh-suburkan konsep masyarakat tersebut dalam ranah kehidupan beriman. Beberapa gereja pantekosta-kharismatis ada yang secara periodik melakukan “doa keliling kota” untuk melakukan eksorsisme dengan menaikkan “doa teritorial”, yaitu doa untuk mengusir roh-roh jahat (bahureksa) yang dianggap menguasai daerah/teritori tertentu di kota Pati. Di dalamnya terdapat keyakinan bahwa tempat-tempat seperti gereja, rumah, kota dan desa mungkin ditekan dan dipengaruhi oleh semacam penyebab seperti hantu, guna-guna, dosa manusia dan pengaruh roh jahat (Wagner 1992:90). Untuk menunjukkan ke “istimewa”annya, tidak jarang dijumpai para pendeta ataupun rohaniawan yang mengaku dapat melihat roh-roh jahat di rumah-rumah tertentu, kemudian melakukan doa-doa eksorsisme dengan bahasa roh untuk menengking, mengikat roh jahat dan membersihkan rumah (Gardiner 2002:26).  Hal yang sama juga terjadi terhadap jemaat yang sakit dan di anggap kerasukan setan. Eksorsisme pun dilakukan dengan metode “nyaris” senada, yaitu doa pengusiran setan, pujian, dialog dengan setan yang merasuki, teriakan pengusiran  “Dalam Nama Tuhan Yesus”, mengurapi/mengolesi dengan minyak hingga membakar/menyingkirkan benda-benda yang dianggap markas setan. Bagi beberapa eksorsis memang ada keyakinan bahwa roh-roh jahat dapat menempatkan diri pada obyek-obyek kebendaan tertentu (Wagner 1992:90).
Dalam pengamatan penulis, konsep yang seringkali muncul dalam analisa-sebab orang kerasukan setan dalam pandangan orang-orang kristen tersebut adalah :
1.      Ada orang jahat yang mengirimkan roh setan. Eksorsisme dilakukan untuk “mematahkan, menolak, membatalkan kiriman” tersebut, dan mem-proteksi yang bersangkutan agar tidak mendapatkan “kiriman” lagi.
2.      Ada roh jahat penguasa rumah yang merasa terganggu dan marah. Eksorsisme yang dilakukan berupa pembebasan orang dan pembersihan tempat-tempat dari kekuasaan dan kegiatan roh jahat (Gardiner 2002:9) .
3.      Ada dosa tertentu yang diduga dilakukan orang tersebut sehingga ia dikuasai setan. Eksorsisme dilakukan disertai dengan tuntutan pengakuan dosa dan pertobatan
4.      Iman yang dianggap lemah atau hati yang “kosong” sehingga setan memasuki dapat memasukinya. Pertahanan rohani yang lemah memungkinkan sejumlah akses bagi roh-roh jahat (Gardiner 2002:58)

Bagi penulis, fenomena ini memunculkan pertanyaan :
1.      Selama melayani hampir 20 tahun, penulis telah melayani di 4 kota. 12 tahun di kota Demak, Semarang dan Jepara dan hampir 8 tahun di kota Pati. Namun fenomena kerasukan setan belum pernah penulis jumpai pada jemaat di tiga kota pertama tersebut. Sedangkan di kota Pati, sejak tahun pertama penulis melayani (tahun 2005), penulis sudah berhadapan dengan jemaat yang kerasukan setan, keluarga yang secara massal tiga anaknya kerasukan setan, sekolah-sekolah yang siswa atau gurunya kerasukan setan (padahal sekolah katholik, yaitu SD/SMP Kanisius). Pertanyaan penulis, mengapa hal ini tidak penulis jumpai di kota lain, sementara di kota ini begitu mudah fenomena ini muncul.
2.      Apakah benar setiap orang yang mengalami gejala-gejala seperti “sikap-sikap yang ganjil, melotot, mendesis, bertindak diluar kesadaran, pingsan, tak terkendali, berteriak-teriak, suara berubah dan semacamnya” adalah benar-benar kerasukan setan ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan penulis kaji untuk menemukan perspektif yang lebih tepat dan alkitabiah untuk memahami fenomena kerasukan setan, bagaimana seharusnya menghadapinya dan apa yang dapat dilakukan gereja sebagai komunitas yang menyehatkan, dalam arti mampu menyembuhkan (curing),memulihkan (healing) dan mencegah (preventif),

ANTARA KERASUKAN SETAN DAN GANGGUAN JIWA
Hampir di setiap budaya, konsep dan kepercayaan akan dunia roh dan kuasa setan-setan dapat dijumpai. Bagi masyarakat Israel kuno, pemahaman inipun tidak asing. (bdk Philip J.King & Lawrence E.Stager 2012:435-436). Sekalipun dalam literatur Yahudi secara khusus tidak ada doktrin mengenai setan, namun menurut tulisan apokaliptik intertestamentum, Yahweh (Allah) dilukiskan sebagai Oknum yang memerintah roh-roh di bumi ini. (Simanjuntak 2008:37).  Pada masa intertestamental sekitar tahun 400 SM yang diyakini sebagai masa ketika Allah diam dan tidak mengirimkan nabi-Nya, penyembahan kepada berhala dan kepercayaan pada roh-roh mengalami pertumbuhan yang pesat. Ada roh yang dipercayai sebagai roh yang baik namun ada juga roh jahat yang disebut sebagai “setan-setan” yang suka mengganggu kehidupan manusia, dan diperkirakan mencapai jumlah sepertiga dari seluruh roh yang ada (Simanjuntak 2008:38). Mereka diyakini memiliki wilayah dan pembagian struktur tertentu berdasarkan kekuatannya (Purnomo 2008:47)
Pada masa-masa tersebut, eksorsisme merupakan hal yang sangat umum terjadi di seluruh dunia, baik dilakukan oleh para eksorsis-rohani maupun para penyihir. Dalam sejarahnya, Gerejapun memasukkan pelayanan eksorsis ini sebagai bagian dari ritual gereja, terutama ketika terkait dengan ritus baptisan, sebagaimana pemaknaan eksorsis yang berarti “to cause to swear” (Flinn 2007:268-269). Para bapa gereja seperti Justinus Martyr, Ireneus, Tertullianus, Minucius Felix, Tatian, Origenes, Cyprianus, Christosostom, Jerome dan Agustinus juga menghidupkan pelayanan kerasulan dalam bentuk pengusiran setan ini. (Alkitab.sabda.org)
Kerasukan setan atau kesurupan itu sendiri berasal dari kata daimonizomenon yang berarti “to be possessed by a demon or evil-spirit; afflicted by a demon or evil spirit; vexed by a demon or evil spirit” (Simanjuntak 2008:38).  Dalam keyakinan akan adanya roh Jahat/setan dengan pengaruhnya, maka kerasukan setan dipahami sebagai peristiwa hadirnya roh jahat dalam kehidupan manusia dan dipercaya dapat menyebabkan kepribadian seseorang berubah. Keadaan ini dapat membuat seseorang sakit secara fisik maupun mental dan mempengaruhi kehidupan sosialnya. Namun – tentu saja – tidak setiap orang sakit disebabkan oleh roh jahat. Dalam beberapa kasus yang diduga sebagai kesurupan, setelah di lakukan hipotesa dan diagnosa ternyata memiliki kemungkinan yang lebih besar sebagai masalah psikologis atau mental, dan bukan karena intervensi kuasa roh jahat. (Gardiner 2002:54). Gejalanya seringkali begitu mirip, sehingga tidak mudah untuk membedakannya. Beberapa tanda seringkali ditetapkan sebagai tanda kerasukan, misalnya  : tidak mengenali identitas diri dengan benar (muncul kepribadian baru), adanya pengetahuan dan intelektualitas baru yang sebelumnya tidak dimiliki, mengutuk Allah atau menyerang benda-benda simbol spiritual (salib, Alkitab), memiliki kekuatan yang besar (Simanjuntak 2008:140-142), perubahan intonasi suara, ekspresi wajah dan pola kepribadian, juga sikap-sikap kasar, menggertakkan gigi, melengking (Alkitab.sabda.org). Namun tanda-tanda yang sama juga seringkali dijumpai dalam kasus gangguan jiwa/skizofrenia, seperti keinginan bunuh diri, adanya delusi, halusinasi, bicara terdisorganisasi, gampang marah (Simanjuntak 2008:143). Gangguan kejiwaan seperti kepribadian ganda, atau Multiple Personality Disorder (MPD) dan Dissociative Identity Disorder (DID) juga memiliki tanda yang mirip. “Ketika  satu kepribadian mengambil kendali atas diri si penderita, suara si penderita akan berubah, disertai berbagai aktivitas tubuh seperti bola mata yang berputar, serangan kesakitan yang muncul mendadak atau bagian-bagian tubuh tertentu menjadi mati rasa” (Rakhmat 2013:377). Bahkan tidak jarang terjadi kombinasi kasus. Ketika para medis dan konselor menangani dengan obat-obatan dan langkah-langkah konseling sistematis, dan hasilnya secara definitif menunjukkan kemajuan maka mereka percaya bahwa hal ini murni masalah kejiwaan. Namun pada saat yang sama, pelayanan eksorsis yang melakukan pendekatan dengan langkah-langkah eksorsisme dan menemukan kemajuan, maka merekapun dapat beranggapan bahwa hal ini murni masalah spiritual. Dalam pelayanan ini alangkah baiknya meneliti dengan sungguh-sungguh gejala, latar belakang (etiologi) dan tanda-tanda orang yang dilayani, sambil membangun juga kesadaran bahwa manusia merupakan pribadi yang utuh – tubuh, jiwa dan roh – sehingga pelayanan secara medis, psikologi maupun spiritual merupakan pelayanan yang memiliki kontribusinya masing-masing dalam jalinan yang saling mempengaruhi.
Dunia saintifik menisbikan kepercayaan ini dan melihatnya sebagai ilusi yang dihasilkan oleh otak manusia. Hal ini karena roh memang tidak dapat dibuktikan secara empiris-obyektif. Semua yang dinamakan “pengalaman rohani” di produksi oleh neuron-neuron (sel-sel syaraf, berjumlah 100 milyar sel) yang membentuk organ otak manusia, sehingga pengalaman rohani sebenarnya terjadi hanya dalam tempurung kepala, dalam otak bukan dalam dunia adikodrati (Rakhmat 2013:374).  Dan apa yang tidak dapat dibuktikan secara empiris-obyektif lalu dianggap tidak ada. Demikian juga kerasukan tidak mungkin ada karena keberadaan setan dan kuasanya dianggap juga tidak ada. Apa yang dilakukan oleh Yesus dengan pelayanan eksorsis, dilihat sebagai fakta yang hanya berlaku pada zaman-Nya, dimana sudah menjadi hal yang umum untuk menghubungkan fenomena itu dengan kepercayaan akan dunia roh, yang sebetulnya sekarang ini disadari hanya sebagai gangguan mental atau psikologis.
Namun hal ini perlu dikaji lebih lanjut, karena kesaksian Alkitab menunjukkan pembedaan antara penyembuhan terhadap penyakit maupun pelepasan dari kuasa setan. Cara menanganinyapun berbeda. Sebagai contoh, dalam kasus yang sama yaitu menyembuhkan orang yang bisu dalam Markus 7:31-37 dan Markus 9, cara Yesus sangat berbeda. Orang yang bisu dalam Markus 7 di sebabkan oleh sakit, dan Yesus memasukkan jari tangan ke dalam telinganya, lalu dengan ludah-Nya Yesus meraba lidah orang tersebut dan berkata “terbukalah” maka orang itu menjadi sembuh. Sedangkan dalam kasus orang bisu tuli dalam Markus 9, Yesus melihat sumbernya bukan karena penyakit melainkan karena kerasukan setan, karena itu Yesus tidak melakukan tindakan apapun selain menghardik setan itu dan menyuruhnya pergi (9:25) dan orang itupun sembuh. Injil secara konsisten menyatakan bahwa ada tiga pelayanan yang menandai pelayanan Yesus, yaitu “Beritakan Injil, sembuhkan yang sakit dan usir setan-setan”. Tiga bentuk pelayanan ini pula yang dimandatkan Yesus bagi para murid untuk dilakukan (bdk Mrk 16:15-18).  Secara teologis, pengusiran setan memiliki dasar-dasar Alkitabiah yang mengesahkan pelayanan gereja pada masa kini. Penyangkalan terhadap realita kerasukan dan pengurangan secara halus ajaran ini justru akan melemahkan dasar teologis (Montgomery 1976:251).
Pada sisi lain, keyakinan/kepercayaan rakyat (folk belief) sebenarnya harus dipahami juga sebagai fakta empiris yang nyata hidup dalam masyarakat dan mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kepercayaan masyarakat Indonesia merupakan kesatuan antara apa yang mereka yakini (belief) dengan kelakuan (behaviours) dan pengalaman empiris (experiences) (Dananjaya 1986:153). Ketakutan dan penderitaan fisik yang dialami oleh orang yang kerasukan adalah fakta riil yang harus disikapi dengan simpati. Sehingga dalam konteks masyarakat Indonesia khususnya, kemajuan tekhnologi dan ilmu pengetahuan tidak dapat begitu saja menggeser kepercayaan yang terwariskan turun temurun lewat tutur kata dan budaya hidup bermasyarakat.
Seorang “spirit whisperer”, Ed Chandra Kanic menyatakan bahwa roh-roh itu riil, sekalipun ia tidak menyebutkan tentang roh jahat. Namun pada prinsipnya, dunia roh harus dipahami dalam pendekatan yang tidak semata-mata mengandalkan rasio. Ia berkata “Kita harus mengurangi kebiasaan memvonis dengan logika dan menambah ruang toleransi kepada berbagai kemungkinan dengan rasa. (Kanic 2009:11). Dalam pemahaman seperti ini, kesurupan mungkin saja terjadi, namun tidak dapat begitu saja di anggap sebagai gangguan jiwa, demikian juga sebaliknya. Keduanya berbeda, dan dibutuhkan kejelian, ketelitian dan observasi untuk mengetahui perbedaannya, sehingga dapat memutuskan tindakan yang paling tepat. Kanic sendiri membedakan kerasukan dalam tiga macam kategori, yaitu kesurupan medis yang disebabkan faktor kesehatan fisik seperti kelelahan, dehidrasi, kesurupan psikologis yang disebabkan faktor emosi yang menekan dan menguasai alam sadar, serta kesurupan jiwa yang disebabkan adanya “jiwa lain” yang memasuki tubuh fisik manusia. (Kanic 2009:145)

MENGHADAPI ORANG YANG KERASUKAN SETAN
Pelayanan terhadap orang yang kesurupan, pertama-tama haruslah bertolak dari hati yang berbelas kasih (compassion) sebagaimana yang dilakukan Yesus. Apakah yang bersangkutan benar-benar kerasukan setan atau mengalami gangguan kejiwaan, merupakan hal berikutnya setelah belas kasihan dinampakkan. Bagaimanapun juga, orang tersebut mengalami penderitaan. Keperdulian, perhatian dan sentuhan kasih akan mampu menembus jiwa dan menghadirkan pemulihan bagi penderita sekaligus menenangkan keluarga. Tindakan menyakiti fisik dengan alasan mengusir setan, sama sekali tidak di rekomendasikan, karena dengan demikian orang yang bersangkutan akan mengalami penderitaan ganda.
Dalam banyak kasus, pemicu kesurupan memiliki latar belakang kejiwaan semacam kesedihan, kesepian, beban yang berat, kebingungan, ketiadaan harapan. Oleh karena itu, pelayanan terhadap orang yang kesurupan seharusnya menyatukan secara utuh antara penyembuhan (curing) dan pemulihan (healing).  Dalam pelayanan ini, penting sekali untuk mencari beberapa penjelasan medis, mental atau psikologis terkait dengan peristiwa tersebut. Latar belakang penderita juga perlu ditelisik lebih jauh agar dapat diidentifikasi dengan lebih jelas, apakah kasusnya memang melibatkan kuasa occultisme ataukah karena faktor kejiwaan. Perhatian utama dalam hal ini lebih ditujukan kepada penderita, bukan kepada fenomena maupun roh jahat yang diduga merasuki.
Tidak jarang beberapa hal yang membuka peluang bagi seseorang mengalami kerasukan, baik dalam artian psikologis maupun demonis, tidak terlepas dari pilihan cara hidup dan pembentukan mentalitas diri. Seseorang yang melibatkan diri dengan dunia okultis (sihir, satanisme, spiritisme) dan membangun mentalitas hidup dalam ketakutan terhadap dunia roh, akan membuka akses bagi roh jahat untuk mengubah cara hidup dan cara berpikirnya. Terlebih ketika seseorang dengan sengaja memilih jalan hidup dalam kuasa dosa atau membiarkan diri berada dalam tekanan kejiwaan (traumatis) yang parah dan tidak segera mengatasinya, maka secara psikologis iapun memiliki pertahanan jiwa yang lemah.  Orang-orang Jawa umumnya percaya bahwa hanya orang-orang yang lemah jiwanya atau kosong pikirannya yang dapat dimasuki roh jahat (Mulder 1980:21)
Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah sikap mental pelayan eksorsis. Kebenaran yang esensial bagi mereka yang terlibat dalam pelayanan eksorsisme adalah mengakui/menyadari dasar pelayanannya adalah dalam kuasa Tuhan Yesus Kristus. Ketakutan menghadapi fenomena yang ganjil tersebut harus disingkirkan terlebih dahulu. Roh/jiwa tidak dapat menyentuh/mencolek manusia. Ia tidak dapat melukai, karena itu tidak perlu ditakuti (Kanic 2009:99). Keyakinan pelayan eksorsis akan kemahakuasaan Tuhan akan disadari pula oleh kuasa dalam alam roh yang tidak nampak namun sangat nyata menyadari kuasa Yesus yang mampu melucuti pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa (Kol 2:15) (Gardiner 2002:7)

PENUTUP : MEMBANGUN KOMUNITAS YANG MENYEHATKAN
Pada masa pelayanan Yesus, peristiwa kerasukan setan tidak terjadi di setiap kota yang dilayani. Pengusiran setan yang dilakukan Yesus lebih banyak terjadi di daerah Galilea, Sidon dan sekitarnya, namun tidak pernah dijumpai di kota besar seperti Yerusalem. Hal ini menjadi jawab dari pertanyaan penulis, mengapa di kota-kota seperti Demak, Semarang dan Jepara belum pernah penulis jumpai kasus kerasukan, namun di kota Pati cukup sering penulis jumpai kasus ini. Secara definitif hal ini dimungkinkan terkait dengan maraknya praktek okkultisme di kota “seribu paranormal” ini, namun juga tidak terlepas dari aspek pertumbuhan budaya. Bagi kota besar seperti Yerusalem, kebudayaannya telah cukup maju, dan ini berbeda dengan wilayah seperti Galilea, Sidon dan sekitarnya yang agak terbelakang kebudayaannya,  daerah hutan belantara dan merupakan tempat-tempat terpencil.  Di tempat seperti ini, takhayul dan kepercayaan akan dunia roh masih sangat kuat dan merajalela. Dalam pemahaman sosio-anthropologis, hal ini sangat mempengaruhi pola kehidupan dan nilai-nilai kemasyarakatan yang berdampak bagi pola pikir dan mentalitas. Sementara dari kajian spiritualitas, berkembangnya okultisme, spiritisme, tahyul, nujum dan sebagainya membuka akses besar bagi masuknya setan-setan.
Hal ini terkait dengan pelayanan Gereja sebagai komunitas yang mewarnai budaya dan membangun mentalitas yang sehat. Keberadaan gereja sebagai komunitas religius terbukti memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membangun kesehatan mental. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bergin (1983), John Gardner dalam bukunya “Religious Commitment and Mental Health” membuktikan bahwa kehidupan religius yang sehat berkorelasi dengan kesehatan fisik, rendahnya angka bunuh diri, umur panjang, terhindarnya penggunaan drugs dan alkohol, terhindarnya perilaku kejahatan, kepuasan pernikahan dan terhadap kesejahteraan hidup. (Simanjuntak 2012:191). Kehidupan religius yang sehat ini pertama-tama bicara tentang hubungan yang sehat dengan Tuhan, sehingga seseorang akan mengalami pembaharuan budi (Roma 12). Ia akan lebih mampu mengendalikan diri di saat menghadapi tekanan kejiwaan atas berbagai persoalan kehidupan. Kesadaran akan peranan Allah atas kehidupan akan membuat seseorang semakin berhati-hati bertindak, dengan demikian ia akan memiliki persepsi selektif untuk mampu memilah apa yang layak dipikirkan, dipergumulkan dan dilakukan serta menolak memberi kesempatan kepada apa yang merusak jiwa.
Pada sisi lain, komunitas gereja dapat berperan untuk membangun kehidupan relasional yang sehat di antara anggotanya. Penelitian psikologis menunjukkan bahwa gangguan jiwa tidak jarang muncul sebagai akibat relasi sosial yang terganggu. Dalam komunitas gereja, semangat untuk perduli dan mengampuni perlu dikembangkan sedemikian rupa, sehingga orang tidak lagi merasa sendiri dan kesepian saat menghadapi persoalan, merasa dikuatkan oleh komunitas, dan ia tahu bahwa ia dapat berbagi beban-rasa (sharing) tanpa ada rasa takut/kuatir ditertawakan/dipermalukan. Menurut Geertz, hanya agama-agama yang menjalankan fungsi sosial dan berakibat bagi kesejahteraan pengikutnya akan bertahan dari zaman ke zaman (Simanjuntak 2012:192).
Gereja pun perlu mengembangkan pelayanan pendampingan yang holistik bagi jemaat dengan mengembangkan pelayanan lintas-ilmu. Misalnya dengan membangun tim pelayanan konseling dan pemulihan bagi jemaat yang sakit, mengalami tekanan kejiwaan, memiliki sikap mental yang negatif. Tim pelayanan konseling ini dapat melibatkan disiplin ilmu teologi dari gembala jemaat bersama dengan anggota jemaat yang memiliki jalur ilmu yang terkait, misalnya psikologi, kedokteran. Bagi orang yang mengalami kesurupan, persoalan utama tentu perlu digali dan dikaji, baik itu persoalan rohani (kemungkinan keterikatan dengan occultisme, kehidupan dalam dosa, ketidakmampuan untuk mengampuni), maupun aspek medis (misalnya kesehatan yang terganggu, kurangnya insulin tubuh, kelelahan) dan psikologis (misalnya perasaan bersalah, kurangnya kemampuan bersosialisasi).
Tidak kalah pentingnya adalah peran orang tua dalam fungsi kontrolnya atas pergaulan anak-anak dan kaum muda.  Alkitab dengan jelas menunjukkan bahwa pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik (I Kor 15:33). Lingkungan hidup dan pergaulan seringkali menjadi jalan indoktrinasi nilai-nilai budaya masyarakat, baik yang positif maupun yang negatif. Salah satu dampak yang perlu disikapi untuk mencegah/mengantisipasi terjadinya kerasukan setan maupun gangguan kejiwaan adalah kontrol terhadap nilai-nilai budaya yang melahirkan citra-citra negatif terhadap kuasa-kuasa dan roh-roh. Kanic  mensinyalir bahwa ketakutan manusia sebenarnya merupakan reaksi yang timbul sebagai akibat dari sensasi pencitraan negatif, baik itu hal-hal yang nyata atau fantasi (Kanic 2009:99). Pendidikan orang tuapun perlu diarahkan untuk membangun kepribadian yang sehat. Kenyataan menunjukkan bahwa kerasukan seringkali terkait erat dengan indoktrinasi negatif yang ditanamkan secara mendalam sejak usia dini.  Dengan nada heran Kanic bahkan sempat mempertanyakan “Bagaimana mungkin anak berumur 5 tahun sudah mulai takut dengan berbagai mitos makhluk halus yang menyeramkan ??” (Kanic 2009:100).  Sebagaimana diungkapkan pada bagian pendahuluan, bahwa anak-anakpun sudah mengenal tokoh-tokoh hantu/setan/dedemit/ lelembut lengkap dengan sifat dan deskripsinya. darimana pengetahuan ini diperoleh ? Selain pendidikan dan pergaulan, faktor input melalui media massa juga perlu diwaspadai. Saat ini Televisi cukup marak dengan acara-acara yang mengekspose ketakutan dan imajinasi negatif dengan memunculkan tayangan-tayangan semacam “dunia lain, dua dunia, uji nyali, tempat angker, di sini ada Tuyul dll”, tak dipungkiri bahwa semuanya ini berperan dalam menanamkan ketakutan dan kepercayaan tersebut.
Kebersamaan, baik dalam ikatan komunitas gereja maupun keluarga memiliki peran penting bagi anak-anak/kaum muda dalam memahami nilai-nilai budaya dan berbagai informasi yang tidak dipahami. Misalnya dalam memahami mitos yang berkembang dalam masyarakat. Mitos pada masyarakat tradisional tidak jarang dikembangkan dengan tujuan yang baik, yaitu dalam pembentukan norma dan etika. Misalnya, tidak boleh keluar malam karena secara etis tidak baik berkeliaran malam hari. Hal ini diperkuat dengan kisah-kisah mitos agar orang menjadi takut. Kisah-kisah tentang mayat yang bagkit dari kubur terkait erat dengan bagaimana hidup yang dijalani di dunia sebelum kematian. Inti dari kisah seram ini sebetulnya untuk mengajarkan agar orang “memperhatikan bagaiamana ia hidup”, supaya ketika kematian datang maka hidup yang baik akan berdampak pada kematian yang baik. Meskipun pembentukan moral/karakter melalui kisah menakutkan ini perlu di tinjau ulang, namun fakta menunjukkan bahwa cerita-cerita semacam ini kadangkala tak terhindarkan sebagai informasi yang memasuki kehidupan anak/kaum muda. Disinilah pendampingan, keterbukaan dan kebersamaan akan menolong mereka untuk mengatasi ketakutan dan menangkap esensi pembentukan moral yang diharapkan.  

SELESAI

"Hitherto the Lord has helped us."
Ebenhaezer
From the desk of  Daniel Lauw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar