Minggu, 07 Juni 2015

TRADISI CENG BENG DALAM BUDAYA TIONGHOA DAN PERJUMPAANNYA DENGAN IMAN KRISTEN



PENDAHULUAN
“Dimana ada sinar matahari, di situ ada orang China”, demikian salah satu ungkapan bangsa China/Tionghoa[1] yang menggambarkan luasnya penyebaran bangsa ini. Bangsa ini memang merupakan salah satu bangsa dengan peradaban dan kebudayaan tertua di dunia, bahkan tertua di Asia setelah India. Sejarah mencatat sebelum periode Nabi Musa berjumpa dengan Yahweh disemak duri yang menyala-nyala, bangsa China sudah ada di muka bumi dan muncul sebagai salah satu ras manusia yang cukup besar. Demikian juga sebelum muncul negara-negara seperti Jepang, Korea, Taiwan, Hongkong, Singapura dan beberapa peradaban Indo-China yang tersebar luas di Asia, negara China sudah ada terlebih dahulu dengan kekuatan budaya dan pengaruhnya yang merambat ke seluruh dunia sampai saat ini[2] , tak terkecuali di Indonesia. Keberadaan masyarakat Tionghoa – pendatang maupun keturunan – sudah cukup berakar di bumi pertiwi ini sehingga praktek-praktek kebudayaan mereka pun dapat di jumpai di berbagai pelosok negeri. Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, kelompok masyarakat ini cukup di hormati dan di sebut sebagai vreemde Oosterlingen, yaitu kelompok masyarakat Timur Asing (China, Arab dan India), yang status sosialnya berada di antara bangsa Belanda dan inlander (bumiputera)[3].  Jarak sosial antara kelompok masyarakat Timur Asing dengan inlander ini cukup jauh terbentang. Hal ini tentu membawa dampak bagi perkembangan budaya-nya, terutama dalam perjumpaannya dengan kekristenan yang melekat pada kehadiran bangsa Belanda.
Pada satu sisi, status sosial yang berada jauh di atas status sosial masyarakat pribumi menyebabkan praktek-praktek tradisi budaya Tionghoa dimungkinkan untuk di jalankan/di praktekkan di Indonesia selama hubungan sosial-dagang-politis dengan penguasa Belanda berjalan dengan baik. Sempitnya ruang gerak bagi budaya Tionghoa justru muncul pasca kemerdekaan dengan PP-10 yang di keluarkan oleh Presiden Soekarno, dan makin ketat pada masa Presiden Soeharto yang menganggap orang-orang Tionghoa sebagai pendukung komunisme dan agen RRC. Pada masa itu seluruh bahasa, budaya dan agama Tionghoa dilarang muncul di ruang publik, bahkan identitas nama-pun harus di pribumikan menjadi nama Indonesia. 
Namun pada sisi lain, ketika budaya Tionghoa mengalami perjumpaan dengan kekristenan maka keduanya berdiri bagaikan dua kekuatan yang seolah-olah tidak mungkin di satukan. Kekristenan masuk dalam superioritasnya sebagai satu-satunya agama yang paling benar dengan segala atribut dan nilai budaya barat yang di bawanya, sementara “kebudayaan bangsa-bangsa dan agama lain  dipandang sebagai karya-karya iblis dan karena itu dari kodratnya bertentangan dengan Injil Yesus Kristus[4]. Akibatnya muncul sikap anti terhadap adat istiadat dan tradisi Tionghoa. Budaya Tionghoa dipandang tidak lebih dari sekedar mitos yang tidak koheren dan tanpa sebab, sehingga mustahil di cari penalarannya[5]. Dianggap sarat dengan okultisme dan tidak sejalan dengan Firman Tuhan. Sementara bagi orang Tionghoa yang masih berpegang pada adat istiadat dan tradisi, kekristenan tidak lain adalah “agama orang barat” yang tidak menghargai budaya, terutama budaya dan adat istiadat Tionghoa yang menjunjungi tinggi pemujaan leluhur. Menjadi orang Kristen seolah-olah berarti juga harus meninggalkan budaya Tionghoa-nya, dan menjadi orang Tionghoa seakan-akan juga berarti tidak dapat menjadi orang Kristen.
Kenyataan inilah yang sering menimbulkan dilema pada diri orang Kristen Tionghoa, karena pada satu sisi mereka menyadari diri mereka sebagai orang Kristen namun pada saat yang bersamaan, mereka juga sadar terlahir sebagai orang Tionghoa. Ajaran kekristenan dan budaya Tionghoa seolah berada pada sisi berseberangan sehingga orang harus memilih salah satu dan meninggalkan yang lainnya. Hal ini tentu tidak mudah. Bagaimanapun juga hidup manusia tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya yang melingkupi dan membentuknya. Mengubur semua warisan budaya, sebenarnya berarti mengubur diri kita sendiri juga ?[6] ; Sementara ketika orang Kristen Tionghoa menjalankan tradisi-tradisi tersebut maka ia pun dapat di anggap terlibat dalam praktek okultisme yang melanggar Firman Tuhan.
Dilema tersebut nampak dari berbagai pertanyaan yang muncul dari orang-orang Kristen Tionghoa. Misalnya, Apakah orang Kristen boleh merayakan Imlek, bolehkah mengunjungi makam orang tua/leluhur (Ceng Beng), bolehkah melestarikan barongsay, bolehkah berdoa di depan makam/peti jenazah, bolehkah memecah semangka dalam upacara pemberangkatan jenazah dll. Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya sebagian kecil dari puluhan pertanyaan yang intinya mencerminkan “kebingungan” untuk menentukan sikap sebagai orang yang beragama Kristen sekaligus berbudaya Tionghoa.
Apakah budaya dan iman Kristen memang berseberangan ? Paper singkat ini hendak menunjukkan bahwa antara budaya (Tionghoa) dan iman Kristen sesungguhnya dapat terjadi perjumpaan yang menolong orang kristen mengalami pertumbuhan spiritualitas dengan tetap berpijak pada akar budayanya sekaligus bertumbuh dalam penghayatan akan iman Kristennya. Salah satu aspek budaya yang akan penulis soroti yaitu dalam hal penghormatan terhadap leluhur sebagaimana dinampakkan melalui hari raya Ceng Beng.

HARI RAYA CENG BENG
Hari raya Ceng Beng (Ceng/Qing = bersih; Beng/Ming = Terang) merupakan salah satu dari 14 hari raya yang sangat di hormati oleh orang Tionghoa[7].  Hari raya ini di adakan setahun sekali, yaitu pada bulan ke tiga tahun Imlek, atau pada tanggal 5 atau 6 april menurut kalender Masehi. Pada hari raya tersebut, orang Tionghoa akan mengunjungi (ziarah) ke makam orang tua/ leluhur. Mereka membersihkan makam tersebut, menaikkan doa-doa dan membakar kertas sembahyang, membakar dupa (hio), lilin dan memberikan  sesajian[8]. Sesajian tersebut merupakan persembahan kepada roh almarhum dan biasanya berupa buah-buahan atau kue basah yang di sukai oleh almarhum ketika masih hidup. Selain itu orang Tionghoa juga membakar uang kertas, rumah-rumahan, mobil-mobilan bahkan boneka kertas (yang diartikan sebagai pembantu) yang dikirimkan ke alam baka untuk menyenangkan hati leluhur. Di penghujung upacara Ceng Beng, mereka akan menempelkan beberapa kertas kuning yang panjang dan kecil di atas Bong Pai (batu nisan) [9].
Bagi orang Tionghoa, kematian dipahami bukan sebagai “titik” melainkan “koma”, yang berarti masih ada kelanjutan dan hubungan. Kematian tidak hanya di kaitkan dengan keadaan tubuh ini saja tetapi juga masih merupakan bagian dari dunia, dari kehidupan dan dari keluarga[10]. Ketika orang tua meninggal, maka mereka akan berada dalam kerajaan langit yang di pimpin oleh Kaisar langit (Heavenly Emperor/Shang Ti) yang menguasai para dewa dan para leluhur serta segala yang hidup di bumi. Langit dan bumi ini memiliki kaitan yang erat, sehingga masih dapat terjalin komunikasi. Komunikasi dari bumi di tempuh melalui pemberian sesajen (korban, persembahan) sebagai bentuk pembagian rejeki dan doa-doa, sedangkan kehendak langit dapat diketahui menggunakan ramalan. Apabila orang-orang di bumi lalai memberikan persembahan kepada para leluhur, maka hal ini akan mengakibatkan kemarahan yang berdampak bencana bagi bumi maupun kesialan hidup bagi keturunan leluhur tersebut. Sembahyangan (dan persembahan/sesajen) kepada para leluhur akan mencegah bencana tersebut, dan jika dilaksanakan dengan tepat justru akan mendatangkan rejeki (Ping An). Karena para leluhur tersebut diyakini memiliki pengetahuan terhadap masa depan mereka yang masih hidup di bumi, sekalipun sangat terbatas, yaitu hanya pada anak cucu atau keturunan satu marga[11]. Mereka juga diyakini masih dapat melakukan tindakan, baik berupa hukuman, yaitu dengan menghalangi rejeki dan mempersulit hidup mereka atau sebaliknya dengan menolong dan menjadikan hidup mereka lancar/sukses.
Dalam ritual sembahyang-nya, orang Tionghoa bukan hanya mengirim doa agar jalan arwah tersebut bersih (Ceng) dan terang (Beng) namun juga agar mereka di berkati. Karena itu dalam doa, mereka juga mohon restu untuk pekerjaan mereka, pernikahan, mohon perlindungan jika akan pergi jauh, minta ijin jika akan menjual rumah warisan dll. Tidak jarang dalam kesempatan tersebut, mereka juga akan mohon pengampunan atas segala kesalahan yang pernah dilakukan. Dalam tradisi asli, penyesalan/permohonan pengampunan ini di awali dengan hari raya makan dingin satu hari sebelumnya. Saat itu mereka pantang menyalakan api dan tidak boleh makan makanan yang hangat. Semua harus dingin. Bagi orang Tionghoa yang menyukai makanan yang hangat bahkan panas, makan makanan dingin adalah sebuah penyiksaan dan hal ini di artikan sebagai pengorbanan /bentuk keprihatinan supaya roh leluhur mau berbelas kasih dan memberikan pengampunan[12].
Bagi orang Tionghoa, warna-warna tertentu dihayati bukanlah sekedar warna, namun ia memiliki makna. Hal ini diterapkan dalam keyakinan mereka akan Feng Shui/Hong Sui[13], yang memiliki 5 unsur dasar sesuai arah mata angin Pat Kwa, yaitu unsur air, logam, kayu, tanah dan api yang masing-masing di simbolkan dengan warna hitam, putih, hijau, kuning dan merah[14]. Dalam upacara tradisi, warna-warna tersebut juga memiliki makna. Misalnya hitam sebagai simbol duka, putih sebagai simbol terang, merah simbol semangat/bahagia dsb. Secara khusus warna kuning bagi orang Tionghoa dimaknai sebagai “warna identitas” [15]. Dalam mitos kuno, mereka percaya bahwa bangsa Tionghoa di lahirkan dan dibesarkan oleh sungai kuning (Huang Ho). Sungai Kuning inilah, menurut catatan sejarah Tiongkok, yang menaungi lahirnya budaya bangsa Tionghoa[16]. Penjiwaan ini nampak dari berbagai ungkapan yang mengarah pada identitas dan budaya bangsa Tionghoa, misalnya kulit kuning (= orang Tionghoa), tanah kuning, beras kuning, kacang kuning, sungai kuning, jubah kuning (= jubah kerajaan), istana kuning (= istana raja), kaisar kuning (Huang Ti), muka kuning (= perempuan cantik), bahkan alam bakapun di sebut “Alam Kuning”[17]. Dengan memasang kertas warna kuning pada Bong Pai, maka hal itu untuk menunjukkan :
1.      Identitas. Yaitu bahwa almarhum adalah orang Tionghoa dengan demikian, anak cucunya juga orang Tionghoa. Identitas ini merupakan kebanggaan.
2.      Harapan. Yaitu agar roh leluhur dapat masuk ke sorga (alam kuning)
3.      Pengakuan Sosial. Yaitu sebagai penanda bahwa makam tersebut masih memiliki keluarga yang berbakti. Makam yang tidak terawat menunjukkan bahwa anggota keluarga almarhum tidak berbakti (Put Hao).
Bagi orang Tionghoa, sebutan Put Hao ini sangat di takuti, merendahkan martabat dan sangat di hindari. Hal ini tidak terlepas dengan sistem etika Tionghoa yang di sebut “Hao/Hauw” (Filial Piety)[18]. Konsep etika ini mempengaruhi setiap aspek hubungan kekeluargaan dan memberikan arti bagi kehidupan. Semua kebiasaan dan adat tradisional rakyat secara kolektif maupun individual memperlihatkan pengaruh praktek dari prinsip etika ini. Dalam etika ini, keluarga mempunyai kedudukan yang sangat penting, yaitu sebagai fondasi dan unit (primer) masyarakat. Seorang ahli kebudayaan China, Mencius mengatakan “akar dari kerajaan ada pada negara, dan akar dari negara ada pada keluarga[19] sehingga keluarga dianggap sama kedudukannya dengan kuil/tempat ibadah[20]. Praktek Hao (hormat/bakti) harus di mulai pada orang tua sebelum pada bangsa dan negara. Orang yang tidak menghormati/berbakti pada orang tua akan di sebut anak yang Put Hao dan akan mengalami kehidupan yang tidak baik selama di dunia maupun di akherat. Secara harafiah, Put Hao berarti “tidak berbakti”, namun dalam keyakinan orang Tionghoa, maknanya jauh lebih dalam dari sekedar tidak berbakti, karena ia dapat di artikan sebagai anak yang durhaka. Dengan demikian, dibalik kata Put Hao terkandung kutukan[21].
Hao pada orang tua ini tidak memiliki batas waktu, karena itu harus di nampakkan selama orang tua masih hidup maupun ketika mereka sudah meninggal. Merupakan pantangan yang sangat besar bagi orang Tionghoa untuk melupakan budi orang tua. Ceng Beng dalam pemahaman ini dilihat sebagai bukti dari bakti anak terhadap orang tua yang tidak terpisahkan / terhentikan oleh kematian. Berbagai kesibukan pekerjaan dan urusan keluarga tidak jarang membuat seorang anak melupakan leluhurnya, namun dengan adanya Ceng beng maka sesibuk-sibuknya seseorang, minimal setahun sekali mereka harus mengingat dan mengunjungi makam orang tua/leluhurnya. Dengan demikian di harapkan mereka tidak melupakan akar identitas dan budayanya.

PERJUMPAAN IMAN KRISTEN DENGAN TRADISI CENG BENG
Jika di kaji lebih dalam, sikap orang kristen yang menolak tradisi dan adat istiadat budaya Tionghoa tidak sepenuhnya bertolak dari persoalan teologis-doktriner, melainkan karena adanya benturan antara “budaya Kristen” dan budaya Tionghoa. Apa yang di sebut “budaya Kristen” ini sebenarnya tidak ada, yang ada adalah budaya barat yang melekat pada ajaran kekristenan yang di bawa oleh para misionaris barat. Prof. E.G.Singgih mengatakan bahwa “Maklumlah banyak dari misionaris Barat dahulu diam-diam ingin menjadikan orang Kristen berbudaya seperti mereka. Budaya barat itu Kristen, sedangkan kekristenan itu barat. Orang Jawa Kristen menjadi bingung, terlebih lagi orang Cina Kristen di Jawa”[22].
Budaya sesungguhnya sangat melekat dalam kehidupan manusia dan hal ini sangat mempengaruhi dinamika penghayatan religiositas seseorang. Agama selalu di ekspresikan melalui budaya, dan budaya berakar pada agama. Tanpa budaya, agama tidak dapat dinyatakan dengan konkrit[23]. Oleh karena itu, penghayatan akan religiositas yang akan menumbuhkan spiritualitas yang lebih matang, mau tidak mau harus berakar dari konteks budaya yang menghidupi dan dihidupi oleh seseorang. Selama orang Kristen di Indonesia masih bersikap eksklusif dengan mengasumsikan budaya barat sebagai “Budaya Kristen” yang paling benar dan memegang teguh warisan radikal yang menolak budaya lain, maka iman Kristen akan sulit memahami dan mengalami perjumpaan dengan tradisi-tradisi non-barat semacam hari raya Ceng beng tersebut.
Penghayatan akan Iman Kristen seharusnya bertolak bukan dari warisan ajaran para pendahulu, melainkan dari terang Alkitab. Karena dibalik lahirnya ajaran/doktrin tertentu, pasti di dalamnya juga termuat nilai-nilai budaya yang melatarbelakanginya. Dengan demikian titik tolak pertama untuk mengalami perjumpaan antara iman Kristen dengan tradisi Tionghoa adalah dengan menggunakan Alkitab sebagai “kaca mata” untuk menimbang dan menilai budaya tersebut, bukannya menggunakan “budaya Barat” untuk menilai “Budaya Timur”. Titik tolak ke dua yang perlu di bangun adalah sikap yang terbuka untuk memahami spirit yang ada di balik adat istiadat dan tradisi tersebut. Tidak jarang penolakan terhadap sebuah tradisi di sebabkan karena ketidaktahuan mengapa ada tradisi semacam itu, apa tujuan dan fungsinya. Dengan demikian, sebagai orang Kristen kita perlu memiliki ketrampilan untuk berjalan di tengah, tidak terjatuh pada modernisme (mengambil bentuk budaya Barat – sering dalam bentuk yang paling dangkal) di satu pihak dan di lain pihak tidak jatuh dalam arkaisme (mengambil bentuk budaya Timur – sering dalam bentuk yang paling feodal)[24].
Tradisi Ceng Beng ini memang merupakan tradisi yang terbentuk dari konsep budaya paternalistik (Xiao-Dao) dalam prinsip etika yang di sebut “Hao/Hauw” (Filial Piety) yang berbaur dengan unsur-unsur mitologi dan tahyul. Namun jika elemen-elemennya dapat diperjelas, maka di dalamnya dapat ditemukan kisi-kisi perjumpaan dengan iman Kristen. Apabila keduanya diinkorporasikan dengan baik dalam kerangka iman Kristen maka pada gilirannya akan melahirkan spiritualitas  baru yang berakar pada budaya (inkulturasi) dan membawa pertumbuhan dan penghayatan yang lebih kuat pada iman Kristen.
Walaupun tradisi Ceng Beng ini terkait dengan pemujaan leluhur, namun sebenarnya motif religius umum yang mendasari budaya ini tidaklah eksklusif, sebab ia juga di dapati pada bangsa-bangsa lain[25].  Dalam budaya Jawa pun tradisi ini dapat di temui berupa tradisi “nyekar” dan “ngirim donga”[26]. Demikian juga dalam tradisi bangsa Yahudi sebagaimana di saksikan dalam Alkitab, tradisi mengunjungi kubur dan mengenang leluhur dapat di jumpai. Misalnya ketika Yesus di kuburkan, para murid wanita juga mengadakan kunjungan ke makam dengan membawa rempah-rempah untuk meminyaki mayat Yesus (Mrk 16:1-2). Dalam Kitab Kejadian tercatat dengan teliti mengenai Abraham yang menguburkan istrinya di makam Makhpela (Kej 23) dan dikemudian waktu juga menjadi makam Abraham, Ishak dan Yakub, para leluhur Israel (Kej 25:9; 49:31, 50:13). Ketelitian deskripsi ini menunjukkan bahwa kematian dan pengenangan terhadap leluhur merupakan bagian yang penting dalam Alkitab. Penghormatan pada leluhur tidak terlepas dari sikap ibadah mereka terhadap Allah dan mempunyai makna penerusan sejarah, bahkan berkembang menjadi adat istiadat bangsa. Bagi orang Yahudi, beribadah kepada Allah juga berarti menghormati leluhur[27].
Secara praktis, kunjungan ke makam leluhur untuk mengenang dan membersihkan kubur merupakan tradisi yang tidak bertentangan dengan Alkitab. Persoalan yang seringkali menjadi penolakan bagi orang Kristen adalah pada praktek penyembahan, misalnya dengan menaikkan doa bagi arwah leluhur, memohon ampun atas kesalahan di masa lalu atau sembahyangan untuk minta ijin, berkah, rejeki dll. Di balik praktek sembahyangan tersebut terdapat pemahaman bahwa roh leluhur masih dapat berkomunikasi dan melakukan tindakan-tindakan timbal balik dengan keluarga yang masih hidup. Dalam iman Kristen, roh leluhur sudah terpisah dengan kehidupan manusia (Luk 16:19-31), tidak tahu apa-apa, termasuk tidak tahu apa yang terjadi pada keturunannya (Pkh 9:5-6).  Demikian juga doa yang meminta petunjuk arwah merupakan hal yang tidak diperkenan Tuhan (Ul 18:10-11). Doa minta petunjuk hanya bisa ditujukan kepada Allah, dan bukan kepada arwah (Yes 8:19). Oleh karena itu hal-hal yang terkait dengan pemujaan seperti sembahyangan (baik lesan maupun dengan kartu sembahyang) dan mendirikan altar sebaiknya tidak perlu dilakukan. Tetapi jika penyembahan yang dimaksudkan hanya berupa “soja” atau “paikui”, maka penyembahan yang dimaksud tersebut bukanlah penyembahan melainkan penghormatan, dan hal ini tidak bertentangan dengan iman Kristen. Bentuk penghormatan semacam ini merupakan bentuk penghormatan kepada orang tua yang sudah memiliki bentuk yang tetap/khas dalam budaya Tionghoa, baik ketika orang tua masih hidup maupun ketika sudah meninggal, dan bukan bermaksud menyembah (dalam arti mendewakan/ meng-ilahkan).
Etika “Hao/Hauw” (hormat/bakti terhadap orang tua) yang tercermin dalam tradisi Ceng Beng sebenarnya juga memiliki kesejajaran dengan Alkitab. Ada banyak bagian Alkitab yang memuat perintah Tuhan untuk menghormati orang tua (misalnya Ul 5:16; Ams 1:8 ; Mat 15:4 ; 19:19; Mrk 7:10, 10:19; Kol 3:20; Ef 6:2). Bahkan terhadap bangsa Israel, Allah menetapkannya dalam Dasa Titah sebagai hukum yang berada di antara hukum yang terkait relasi dengan Tuhan dan sesama (Keluaran 20:12), atau sebagai hukum pertama dalam etika hubungan antar manusia. Artinya, di atas segala etika antar manusia, menghormati orang tua adalah hal yang utama dan pertama. Kenyataan ini menunjukkan bahwa “Hao” memiliki dasar dalam Alkitab dan tidak berbenturan dengan budaya Tionghoa.
Namun Alkitab lebih menekankan Hao tersebut pada saat orang tua masih hidup, karena setelah mati, mereka tentu tidak tahu dan tidak  dapat merasakan apa-apa. (Pkh 9:5-6). Karena itu penghormatan terhadap leluhur yang sudah meninggal tentunya harus dipahami dalam bingkai dan cara yang berbeda, yaitu untuk memelihara kasih dan mengenang jasa leluhur atas kehidupan anak-cucunya. Bukan pemujaan melainkan penghormatan. Hanya Tuhan yang patut di puja, namun penghormatan dapat diberikan kepada orang tua bahkan sekalipun mereka sudah meninggal. Logikanya sederhana, yaitu bahwa manusia harus belajar mengasihi sebagaimana Tuhan mengasihi, dan kasih yang Tuhan  miliki adalah kasih yang kekal dan tidak terpisahkan oleh apapun, bahkan oleh maut sekalipun (Rm 8:38-39). Apabila kasih kepada orang tua merupakan hal yang paling mulia di antara segala jenis relasi antar manusia, maka kasih seperti inipun tidak perlu “dimatikan” seiring kematian orang tua. Kasih ini dapat tetap dimiliki dan ditunjukkan dalam sikap hormat yang tidak terputus oleh kematian.
. Kong Hu Cu (Confusius) juga mengajarkan bahwa bakti kepada orang tua (Hao) sebagai bakti yang harus di utamakan dan diwujudkan ketika mereka masih hidup. “Berbaktilah pada orang tuamu ketika mereka hidup dan berdukalah ketika mereka mati[28]. Dengan demikian Hao sebenarnya menemukan kemuliaannya ketika dinyatakan saat orang tua masih hidup, bukan hanya pada saat mereka sudah meninggal. Apalah artinya bakti (hao) yang datang setelah orang tua meninggal dengan membakar segudang kertas sembahyang dan rumah-rumahan, mobil-mobilan, padahal semasa hidup mungkin anak-anaknya bersikap kurang ajar atau tidak perduli alias tidak berbakti (Put Hao)[29].
Iman Kristen perlu memahami essensi dari penghormatan terhadap leluhur ini dan tidak hanyut oleh penghakiman dengan menyatakannya sebagai penyembahan berhala. Karena bagi orang Tionghoa, penghormatan terhadap orang tua bahkan leluhur merupakan hal yang tidak dapat di tawar-tawar. Salah satu “ketakutan” para orang tua sehingga melarang anak-anaknya menjadi orang Kristen tidak jarang di dasari oleh pemikiran bahwa kelak makam mereka tidak akan di rawat, jenazah mereka tidak di hormati dan anak-anak akan menjadi anak Put Hao, yang berarti menjadi anak durhaka, hidupnya celaka dan di tolak oleh surga (Kerajaan langit/alam baka). Bahkan muncul pandangan umum di kalangan orang Tionghoa, seandainya mau jadi orang Kristen, jadilah orang Kristen Katholik, sebab di sini mereka masih mempunyai kebebasan untuk dapat memasang hio/membakar dupa sebagai tanda bakti[30].
Membakar hio/dupa sebenarnya merupakan warisan Alkitab dan tidak ada satu ayatpun yang melarang penggunaannya. Dalam Perjanjian Lama, penggunaan dupa/kemenyan merupakan bagian yang penting dalam Ibadah. Bahkan di Bait Suci juga di sediakan mezbah khusus untuk “pembakaran ukupan” (kata lain untuk ukup adalah dupa, incense, wewangian[31]) sebagaimana yang dikerjakan oleh Zakharia, ayah dari Yohanes Pembaptis (Luk 1:8-10). Dupa/kemenyan juga merupakan lambang doa (Mzm 141:2; Why 8:3), lambang ibadah (Mal 1:11) dan persembahan yang berharga bagi Raja (bdk Mat 2:11).  Bahkan asal mula bahan-bahan pembuatan dupa/hio yang berasal dari rempah-rempah berbau wangi sebenarnya juga ide dari Tuhan sendiri (lihat Kel 30:34-35). Gereja-gereja pasca Perjanjian Baru (Katholik dan Ortodoks) meneruskan tradisi ini  namun gereja Protestan dengan pengajaran dunia Barat menolaknya, bahkan menganggap penggunaan dupa sebagai tanda orang kafir yang dipertentangkan dengan orang beriman yang tidak menggunakan dupa[32]. Apabila merujuk pada warisan Alkitab dan tradisi gereja, penggunaan wewangian dengan membakar hio sebagai simbol doa orang Tionghoa sebenarnya dapat diterima.

MEMBANGUN SPIRITUALITAS BARU YANG KONTEKSTUAL
Mencermati perjumpaan iman Kristen dengan tradisi Ceng Beng sebagai salah satu contoh tradisi dalam budaya Tionghoa, nampak bahwa kekristenan perlu me-rekonstruksi pola pikir kolonial (kolonialisme) yang membangun paradigma negatif terhadap budaya non-barat dan secara turun temurun serta dalam waktu yang cukup lama menunjukkan sikap-sikap penolakan tanpa mau mencoba memahami nilai-nilai religius yang termuat dalam budaya tersebut. Agama justru akan bertumbuh apabila mampu menangkap religiositas yang berporos pada pengalaman dan penghayatan dalam budaya. Religiositas inilah yang menjadi inti agama[33] dan menghantarkan umat Kristen pada pertumbuhan spiritualitas yang kontekstual.
Penolakan terhadap tradisi dan menganggapnya sebagai hal yang tabu, kafir dan harus di jauhi tidak jarang disebabkan karena dirinya tidak dapat membedakan tradisi yang sejalan dengan Alkitab dan yang tidak. Penolakan ini lah yang seringkali menyebabkan orang kristen dianggap tidak tahu adat dan tidak menghormati budaya. Sementara orang Kristen sendiri menuduh orang Kristen Tionghoa yang menjalankan tradisi budayanya sebagai orang Kristen pada siang hari dan animis pada malam hari[34]. Sebagai contoh larangan “soja” atau “paikui” di depan makam atau peti jenazah di sebabkan karena ketidaktahuan bahwa “soja” atau “paikui” sebenarnya merupakan bentuk penghormatan ala Tionghoa dan bukannya sebuah penyembahan; demikian juga dengan asumsi turun temurun terhadap hio/dupa/kemenyan yang dianggap sebagai penyembahan berhala dan ditolak mentah-mentah, padahal ini merupakan warisan yang alkitabiah.
Dalam mengembangkan spiritualitas yang baru dan kontekstual, kekristenan perlu lebih terbuka dalam memahami tradisi dalam ragam budaya yang ada, termasuk budaya Tionghoa. Orang Kristen Tionghoa tetap dapat menjadi Kristen yang taat sekaligus sebagai orang Tionghoa yang menghidupi budayanya. Bukan berarti kekristenan lebur begitu saja tanpa sikap kritis ke dalam budaya, melainkan kekristenan dapat mentransformasikan budaya dalam bingkai iman kristen. Spiritualitas kristen tetap harus memiliki dasar teologis sesuai Alkitab, namun juga tetap menyadari diri sebagai bagian dari dan yang dibentuk oleh kebudayaan[35].    
Transformasi budaya senantiasa memiliki dua sisi, yaitu konfirmasi dan konfrontasi[36]. Konfirmasi berarti mengukuhkan dan membenarkan. Dalam tradisi Ceng beng, konfirmasi ini nampak misalnya dengan memberikan apresiasi bagi orang Kristen Tionghoa untuk mengunjungi makam leluhur pada hari raya tersebut, membersihkan makam, menyatakan penghormatannya terhadap leluhur dengan tata cara mereka, menyalakan hio bahkan menaikkan doa syukur atas kenangan-kenangan dan jasa almarhum/leluhur semasa hidupnya.  Penyalaan lilin dan penempelan kertas warna kuning juga sejalan dengan tradisi gereja yang menghargai lilin dan memaknai warna-warna sebagaimana nampak dalam liturgi/ibadah.
Sedangkan konfrontasi berarti penghakiman dan pemotongan. Dalam tradisi Ceng Beng, konfrontasi ini nampak ketika iman Kristen berhadapan dengan pemahaman tradisi yang menjalin komunikasi antara keluarga yang hidup dengan leluhur yang sudah meninggal, yang kemudian dinyatakan melalui sembahyang meminta rejeki, perlindungan dan restu dari leluhur. Demikian juga dengan segala bentuk persembahan yang sebenarnya bermakna “upeti” berupa makanan, buah dan kertas-kertas berbentuk rumah, mobil yang dibakar. Terhadap nilai-nilai yang tidak sesuai dengan iman Kristen inilah kekristenan harus berani menolak/memotong.
Ketika iman Kristen sungguh-sungguh mau terbuka memahami tradisi Ceng Beng dalam perjumpaan tersebut, maka di dalamnya akan ditemukan nilai-nilai religius yang seiring iman Kristen namun dapat dikembangkan dalam pendekatan budaya yang dikenal oleh mereka. Misalnya etika Hao/Hauw (Filial Piety) yang memiliki banyak aspek keluhuran untuk mempersatukan umat dan membangun kesadaran peran dan tanggung jawab sebagai bagian dari komunitas. Demikian juga di balik praktek penghormatan leluhur , didalamnya terkandung satu kepercayaan akan adanya kehidupan baru sesudah kematian badan dan kepercayaan akan eksistensi Allah sebagai sumber tunggal dari segala yang hidup, baik kehidupan sementara manusia di muka bumi ini maupun kehidupan kekal sesudah kematian badan[37].
Spiritualitas Kristen yang mentransformasikan budaya adalah spiritualitas yang sadar konteks. Ia bertumbuh dalam keseimbangan antara teologia dan budaya, serta mampu menyikapi adat istiadat dan tradisi dengan bijak. Berani menolak apa yang perlu di tolak, namun juga berani merangkul apa yang perlu di rangkum.




By Race, I am Chinese
By Grace, I am Christian


 





"Hitherto the Lord has helped us."
Ebenhaezer
From the desk of  Daniel Lauw
Prodi Pasca Sarjana Master of Arts in Practical Theology (MAPT)
Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta,


[1] Li Xiao Xiang dan Fu Chun Jian, Origins of Chinese People and Customs, (Jakarta: PT Elex Media Computindo (Kelompok Gramedia), 1995), h.13. Orang China/Tionghoa menyebut kebangsaan mereka berdasarkan dinasti, seperti Han Ren (Dinasti Han), Tang Ren/Teng Lang (Dinasti Tang), China (Dinasty Chin). Nama China kuno pada awalnya adalah Hua Xia (tanah indah dan subur di dataran tengah), kemudian berubah menjadi Cung Kua/Tiongkok (Negeri tengah). Nama Tiong Hoa merupakan gabungan dari nama Cung Kua dan Hua Xia menjadi Cung-Hua atau Tiong Hoa. Dalam paper ini, penulis tidak membedakan penggunaan istilah China maupun Tionghoa.
[2] J.S. Kwek, Mitologi China & Kisah Alkitab: Mitos, Legenda & Adat Istiadat China Yang paralel Dengan Kisah-Kisah Alkitab, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2006), h. vii
[3] Emanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan : Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 117
[4] Jebadu, Alex, Bukan Berhala ! : Penghormatan Kepada Para Leluhur, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2009), h. 1
[5] Willy Berlian, “Iman dan Budaya Tionghoa: Sebuah Rekayasa Perpaduan Festival Menurut Kalender Lunar Dan Kalender Gerejawi”, dalam Markus T Suryanto (ed), Hari-Hari Raya Tionghoa dan Firman Tuhan, (Jakarta: Pelkrindo, 1995), h. 54
[6]  Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi Dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran mengenai kontekstualisasi Teologi di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000), h. 45
[7]  Markus T.Suryanto, Mengenal Adat Istiadat Tionghoa, (Jakarta: Pelkrindo, 1996), h. 39.
[8]  Markus T.Suryanto, Hari-Hari Raya Tionghoa dan Firman Tuhan, (Jakarta: Pelkrindo, 1995), h. 10
[9]  Ibid, h. 13
[10] Markus T.Suryanto, Mengenal Adat Istiadat Tionghoa, h. 40
[11] Markus T.Suryanto, Mengenal Adat Istiadat Tionghoa, h. 42
[12] Tradisi hari raya makan dingin ini tidak begitu populer dan jarang dilakukan orang Tionghoa di Indonesia, Markus T. Suryanto, Hari-Hari Raya Tionghoa dan Firman Tuhan, h. 4
[13] Feng Shui/Hong Sui adalah kepercayaan yang beranggapan bahwa tata letak ruangan, rumah, taman, gedung, kuburan, jembatan dan bendungan terpengaruh kekuatan meridian alam. Tujuan dari Hong Sui ialah mengelola dan membina sumber nergi vital yang tersembunyi di dalam tanah yang di sebut Chi. Hal ini terkait dengan keinginan hidup manusia untuk memiliki kebahagiaan, keamanan, kekayaan dan kekuasaan.
[14] Markus T.Suryanto, Warna & Simbol Dalam Legenda Tionghoa, (Jakarta: Pelkrindo, 1996), h.5
[15] Ada beberapa versi yang melatarbelakangi munculnya tradisi menempel kertas kuning ini dan semua versi mengarah pada makna identitas penghuni makam. Lihat Goh Pai Ki dan Fu Chun Jian, Origins of Chinese Festivals, (Jakarta: PT.Elex Media Komputindo (Kel.Gramedia), 2000), h.102
[16] Willy Berlian, “Budaya Tionghoa, Budaya Inlanders”, dalam, Markus T. Suryanto (ed), Hari-Hari Raya Tionghoa dan Firman Tuhan, h.73
[17] Ibid, h.74.
[18] Hsieh Yu Wei, “Keluarga Dalam Masyarakat Konfusianisme”, dalam, Markus T. Suryanto (ed), Hari-Hari Raya Tionghoa dan Firman Tuhan, h.63
[19] Ibid,h. 64
[20] Markus T.Suryanto, Mengenal Adat Istiadat Tionghoa, h. 24
[21] H.G.Creel, Alam Pikiran Cina, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana, 1990), h.34
[22] Emanuel Gerrit Singgih,Berteologi Dalam Konteks, h. 42
[23] Willy Berlian “Iman dan Budaya Tionghoa”, h. 54
[24] Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi Dalam Konteks, h. 46
[25] Alex Jebadu, Bukan Berhala ! Penghormatan Kepada Para Leluhur, h.1
[26] Sastrosupono, M.Suprihadi, Sinkretisme & Orang Kristen Jawa, (Bandung: LLB, 1984), h.36.
[27] Willy Berlian “Iman dan Budaya Tionghoa”, h. 61
[28] Li Xiao Xing dan Fu Chun Jian, Origins of Chinese People and Customs, h.32
[29] J.S. Kwek, Mitologi China & Kisah Alkitab, h. 173
[30] Markus T.Suryanto, Tradisi Tionghoa & Iman Kristen, (Jakarta: Pelkrindo, 1995), h. 8
[31] J.S. Kwek, Mitologi China & Kisah Alkitab, h. 154
[32] Emanuel Gerrit Singgih,Berteologi Dalam Konteks, h. 35
[33] Agus M.Hardjana, Religiositas, Agama & Spiritualitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005), h. 48 - 49
[34] Alex Jebadu, Bukan Berhala ! Penghormatan Kepada Para Leluhur, h.5
[35] Daniel J.Adams, Teologi Lintas Budaya: Refleksi Barat di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), h. 26
[36] Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi Dalam Konteks, h. 47
[37] Alex Jebadu, Bukan Berhala ! Penghormatan Kepada Para Leluhur, h.9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar