DOA
YABES: DIABAIKAN ATAU DIEKSPLOITASI?
Akhir-akhir ini doa Yabes dipopulerkan
lewat Bruce H. Wilkinson dan pelayanannya. Bukunya Doa Yabes: Menerobos ke
Hidup Penuh Berkat amat laris, demikian juga macam-macam aplikasi dari buku itu
seperti doa Yabes untuk remaja, untuk pemuda, untuk bahan renungan setiap hari
dalam sebulan. Padahal, kisah tentang Yabes di seluruh Alkitab hanya tercatat
dalam dua ayat. Selain itu, banyak tokoh lain dalam Alkitab yang doanya dikabulkan.
Namun belakangan ini tokoh Yabes diekpos besar-besaran. Di samping itu, banyak
juga orang menganggap doa Yabes terlalu dibesar-besarkan. Ron Gleason bahkan
tidak merekomendasikan orang lain untuk membaca buku Wilkinson itu. Daripada
kita masuk ke dalam pro-kontra yang membingungkan tentang doa Yabes, baiklah
kita mempelajari teks Alkitabnya.
1 Tawarikh 4:9-10:
9 Yabes lebih dihormati daripada
saudara-saudaranya, Ibunya memanggil namanya Yabes, “Karena aku melahirkan
dengan kesakitan.”
10 Namun Yabes berseru kepada Allah
Israel, “Semoga engkau memberkati aku berlimpah-limpah dan memperluas daerahku,
dan kiranya tangan-Mu menyertaiku, dan menyingkirkan kemalangan supaya aku
tidak sakit.” Allah mengabulkan permintaannya.
A. Analisa Struktural,
Retorik, dan Bentuk
Sedikit sekali yang dapat diketahui
tentang tokoh Alkitab yang bernama Yabes. Ada yang mengaitkan Yabes dengan nama
tempat berdiamnya kaum ahli kitab (1 Tawarikh 2:55; Curtis and Madsen
107). Namun keterkaitan itu diragukan (Williamson 59). Yang jelas Yabes
termasuk suku Yehuda, suku Raja Daud. Dan salah satu fokus Kitab Tawarikh
adalah dinasti Daud dan silsilahnya. Konteks 1 Tawarikh 4:2-23 adalah
silsilah Yehuda dari cabang lain (begitu subjudul yang diberikan penerjemah
LAI) dan Yabes termasuk di dalamnya. Struktur kalimat 1 Tawarikh 4:9-10
dapat diuraikan sebagai berikut.
Eksposisi
(ay. 9a)
Ucapan
langsung dari ibu Yabes (ay. 9b)
Ucapan
langsung dari Yabes sendiri (ay. 10a)
Kesimpulan
(ay. 10b)
Dalam eksposisi, dijelaskan Yabes
istimewa dibandingkan saudara-saudaranya. Ihwal Yabes menjadi istimewa itu
dijelaskan dalam kesimpulan, karena Tuhan mengabulkan doanya. Dalam bahasa
Ibrani, panjang bagian eksposisi dan kesimpulan adalah sama, masing-masing
terdiri atas empat kata yang dimulai dengan imperfek-konsekutif.
Bagian eksposisi dan kesimpulan
membungkus bagian yang penting dari perikop itu, yakni ucapan langsung dari ibu
Yabes maupun Yabes sendiri (ay. 9b-10a). Kedua ucapan langsung juga memiliki
kesejajaran. Keduanya mengandung kata le’mor (“katanya”) dan
masing-masing mengandung kata kerja qara’ (har. “memanggil”). Kata kerja itu
dipakai ketika sang ibu menamakan anaknya Yabes dan ketika Yabes berseru kepada
Allah.
Kembali kepada kesejajaran bagian
eksposisi dan kesimpulan. Yabes lebih menonjol dan dihormati daripada
saudara-saudaranya disebabkan Tuhan mengabulkan doanya. Itu berarti sebelum
itu, Yabes telah berdoa (ay. 10a). Doa Yabes, doa yang dijawab Tuhan, membuat
nasib hidupnya lebih baik daripada saudara-saudaranya. Secara retorik, isi doa
Yabes mempunyai irama sajak yang diakhiri bunyi -i. Begitulah keistimewaan doa
Yabes. Doa sendiri mendapat tekanan khusus dalam Kitab Tawarikh dan penulis
Tawarikh meyakini betul khasiat doa (Brown 58; Williamson 59f.). Dalam kerangka
itu, doa Yabes merupakan salah satu contoh doa yang dijawab Tuhan.
B. Etimologi Yabes
Terdapat permainan kata yang amat
jelas dalam bahasa Ibrani. Ketika lahir, anak itu diberi nama Yabes (#Be[.y:)
sebab sang ibu melahirkan dengan kesakitan (‘oseb). Selanjutnya, Yabes mohon
supaya dijauhkan dari sakit (akar kata kerja ‘sb). Jadi, nama Yabes
pertama-tama untuk mengenang pengalaman sakit sang ibu ketika melahirkan anak
itu. Yabes berarti “Ia (Yahweh) membuat sakit.” Mungkin proses persalinan yang
dialaminya terlalu lama dan sang ibu mengalami kesakitan yang lama. Tetapi
selain sang ibu, Yabes sendiri lahir menderita sakit atau setidaknya di bawah
kondisi normal. Tidak dijelaskan bagaimana persisnya kondisi Yabes. Akibat
proses persalinan terlalu lama, bayi di dalam perut bisa kekurangan oksigen.
Akibatnya, ketika lahir badan bayi biru, tangan dan kakinya terkulai lemah,
bayi tidak menangis menjerit-jerit sebagaimana normalnya, nafasnya satu-satu,
denyut jantungnya lemah di bawah 100. Pokoknya, profil anak itu ketika lahir tidak
menjanjikan masa depan yang cerah.
Pemberian sebuah nama yang ada
asal-usulnya disebut etiologi dan biasanya dihubungkan dengan peristiwa yang
memunculkan nama itu. Dalam Alkitab, hubungan antara nama dan peristiwa itu
terlihat dalam bentuk akar kata yang sama. Nama tempat Bersyeba dikarenakan di
tempat itu orang “telah bersumpah” (Kej. 21:31 < [syaba‘]). Betel
disebut demikian karena tempat itu ternyata adalah “rumah Allah” (Kej.
28:17-19 < beyt-’el). Kitab I Tawarikh sendiri mengenal banyak etiologi.
Nama Peleg dijelaskan sebab pada zamannya penduduk bumi terbagi (1:19
< [palag] “terbagi”). Nama Ahar (sebaiknya “Akar”; bdk. BIS “Akhan”)
dijelaskan sebab ia yang mencelakakan orang Israel (2:7 < [‘akar]
“mencelakakan”). Nama Yair dijelaskan sebab ia mempunyai 23 perkampungan (2:22
< ‘ir “perkampungan”). Nama Ge Harashim (NIV; TB “Lembah
Tukang-Tukang”) dijelaskan sebab penduduknya terkenal berprofesi sebagai tukang
(4:14 < harasim “tukang-tukang”). Nama Beria dijelaskan sebab malapetaka
telah menimpa keluarga Efraim (7:23 < bera‘ah “malapetaka”).
Nama Yabes juga sebuah etiologi namun ada keistimewaannya. Penjelasannya tidak bersifat asal-usul namun akar kata yang dimaksud tidak persis sama. Secara etimologis, Yabes seharusnya berasal dari akar kata ‘sb (“sakit”). Dua kali akar kata itu muncul (ay. 9, 10) dan pada ayat 9 jelas dimaksudkan sebagai akar kata nama Yabes. Secara etimologis, terdapat kesalahan disengaja dengan mengasalkan Yabes dari akar kata ‘bs dan bukan ‘sb (Japhet 109). Antara ‘bs dan ‘sb perbedaannya adalah huruf kedua dan ketiga bertukar tempat. Pertukaran huruf seperti itu disebut metatesis. Sang ibu rupanya menghindar mengasalkan nama Yabes dari akar kata ‘sb (“kesakitan”)? Adakah maksud terselubung di balik penukaran huruf itu?
Nama Yabes juga sebuah etiologi namun ada keistimewaannya. Penjelasannya tidak bersifat asal-usul namun akar kata yang dimaksud tidak persis sama. Secara etimologis, Yabes seharusnya berasal dari akar kata ‘sb (“sakit”). Dua kali akar kata itu muncul (ay. 9, 10) dan pada ayat 9 jelas dimaksudkan sebagai akar kata nama Yabes. Secara etimologis, terdapat kesalahan disengaja dengan mengasalkan Yabes dari akar kata ‘bs dan bukan ‘sb (Japhet 109). Antara ‘bs dan ‘sb perbedaannya adalah huruf kedua dan ketiga bertukar tempat. Pertukaran huruf seperti itu disebut metatesis. Sang ibu rupanya menghindar mengasalkan nama Yabes dari akar kata ‘sb (“kesakitan”)? Adakah maksud terselubung di balik penukaran huruf itu?
Penukaran huruf dalam kasus Yabes
mungkin memperlihatkan kesadaran orang kuno akan kekuatan sebuah nama. Dalam
tradisi Timur, nama tidak sekadar nama tetapi memiliki makna simbolik. Nama
berkaitan dengan hidup sang penyandang nama, bahkan diyakini membentuk nasib orangnya.
Lalu apa maksud pemberian nama Yabes yang seharusnya Yaseb? Rupanya sang ibu
mengharapkan dengan penukaran huruf itu utusan dewa yang mendatangkan sakit
tidak akan mengenali korbannya lagi sehingga loloslah anaknya dari sakit. Dalam
bahasa kita, kira-kira daripada memberi nama “Malang,” namanya adalah “Lamang”
dan anak itu tidak jadi malang.
Pemberian nama Yabes setidaknya
memperlihatkan keyakinan sang ibu bahwa sakit yang dialaminya dan efeknya pada
sang anak merupakan peristiwa yang tidak lepas dari tangan Tuhan. Menyadari
kondisinya yang tidak normal seperti orang lain, Yabes ketika sudah dewasa
berdoa memohon supaya nasibnya tidak malang dan tidak sakit-sakitan, sebuah
harapan yang mungkin juga tersirat ketika ibunya memberikan nama Yabes kepadanya.
C. Isi Doa
Berikut adalah lebih jauh lagi dengan
isi doa Yabes. Yabes memohon Tuhan memberkatinya. Dalam bahasa Ibrani ’im-barek
tebarakeni, adalah gabungan bentuk imperatif dan imperfek dari akar kata yang
sama. Biasanya ’im berarti “jika.” Menurut Gesenius, diikuti imperfek arti
’im-tebarakeni adalah menyatakan keinginan (GKC §151e). Bentuk yang sama
ditemui dalam Ams. 24:11 (“selamatkan”; BIS Mzm. 139:19 “Kiranya orang
jahat Kautumpas”). Maka ’im-barek tebarakeni boleh diterjemahkan
“berkati aku, berkatilah!”
Pengulangan akar kata kerja yang sama namun dalam bentuk imperatif dimaksudkan untuk menegaskan permintaan (Brown 56, cat. 10a, “may you indeed bless me”; bdk. BIS “Ya Allah, berkatilah aku”; NJPSV “Oh, bless me!”). Terjemahan TB (“Kiranya Engkau memberkati berlimpah-limpah”) memberikan tekanan pada berkat yang berlimpah-limpah dan urgensi dari permohonan untuk diberkati menjadi luput. Dengan berdoa ’im-barek tebarakeni, seolah-olah Yabes berkata, “Tuhan berkatilah aku, lakukanlah sekarang!” Terselip nada urgensi. Seakan-akan tanpa Tuhan memberkati, Yabes tidak tahu lagi harus mengandalkan siapa. Doa Yabes tidak basa-basi. Doa basa-basi adalah di mulut mengatakan “Tuhan berkatilah aku,” namun doa itu tidak disertai hati yang sungguh-sungguh berharap. Bila diberkati, baik. Bila tidak, juga tidak apa-apa. Sejujurnya orang yang berdoa cuma basa-basi tidak merasa hidupnya bergantung pada berkat Tuhan. Ia masih bisa berharap pada sumber-sumber lain yang kelihatan seperti kekayaan, kepintaran, posisi tinggi, kenalan orang penting, dan seterusnya.
Pengulangan akar kata kerja yang sama namun dalam bentuk imperatif dimaksudkan untuk menegaskan permintaan (Brown 56, cat. 10a, “may you indeed bless me”; bdk. BIS “Ya Allah, berkatilah aku”; NJPSV “Oh, bless me!”). Terjemahan TB (“Kiranya Engkau memberkati berlimpah-limpah”) memberikan tekanan pada berkat yang berlimpah-limpah dan urgensi dari permohonan untuk diberkati menjadi luput. Dengan berdoa ’im-barek tebarakeni, seolah-olah Yabes berkata, “Tuhan berkatilah aku, lakukanlah sekarang!” Terselip nada urgensi. Seakan-akan tanpa Tuhan memberkati, Yabes tidak tahu lagi harus mengandalkan siapa. Doa Yabes tidak basa-basi. Doa basa-basi adalah di mulut mengatakan “Tuhan berkatilah aku,” namun doa itu tidak disertai hati yang sungguh-sungguh berharap. Bila diberkati, baik. Bila tidak, juga tidak apa-apa. Sejujurnya orang yang berdoa cuma basa-basi tidak merasa hidupnya bergantung pada berkat Tuhan. Ia masih bisa berharap pada sumber-sumber lain yang kelihatan seperti kekayaan, kepintaran, posisi tinggi, kenalan orang penting, dan seterusnya.
Tetapi Yabes tidak bisa demikian.
Tampaknya ia tidak punya pilihan lain. Diberkati Tuhan atau nasibnya akan tetap
sakit seperti diisyaratkan dari nama pemberian ibunya. Tidak ada jalan lain
selain mengandalkan Tuhan. Ia minta Tuhan memberkatinya. Ia berdoa untuk
dirinya sendiri. Itu bukan ungkapan egoisme, tetapi ungkapan iman yang
mengandalkan Tuhan. “Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh
harapannya pada TUHAN! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang
merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya
panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering,
dan yang tidak berhenti menghasilkan buah” (Yer. 17:7-8).
Kemudian Yabes merinci isi doanya:
daerahnya diperluas, tangan Tuhan menyertainya, ia dijauhkan dari kemalangan
dan sakit-sakitan.” Ia minta diberkati dalam tiga hal: perluasan daerah, kuasa
Allah, dan jauh dari sakit.
Pertama, Yabes minta daerahnya diperluas. Sebagai anggota kaum Israel, ia maupun kaumnya tentu sudah mempunyai batas-batas wilayah sendiri. Namun, ia berdoa untuk wilayah yang lebih luas lagi. Dalam konteks Perjanjian Lama, perluasan wilayah tidak identik dengan penjajahan, melainkan supaya bangsa-bangsa lain mengenal Allah Israel. “Mintalah kepada-Ku, maka bangsa-bangsa akan Kuberikan kepadamu menjadi milik pusakamu, dan ujung bumi menjadi kepunyaanmu” (Mzm. 2:8). Ketika Yosua sudah lanjut usia, Allah berfirman kepadanya, “Engkau telah tua dan lanjut umur, dan dari negeri ini masih amat banyak yang belum diduduki” (Yos. 13:2). Lalu Tuhan menyebutkan beberapa daerah dari Filistin, Sidon sampai daerah orang Amori. Kedua, Yabes minta penyertaan kuasa Allah yang dalam hal ini dilambangkan dengan tangan Tuhan. Permintaan ini terkait dengan permintaan pertama, sebab perluasan wilayah tidak akan berhasil tanpa Allah yang berjalan di depan membuka jalan untuk itu. “Dengan Allah akan kita lakukan perbuatan-perbuatan gagah perkasa, sebab Ia sendiri akan menginjak-injak para lawan kita” (Mzm. 60:14). “Ya TUHAN, Engkau akan menyediakan damai sejahtera bagi kami, sebab segala sesuatu yang kami kerjakan, Engkaulah yang melakukannya bagi kami” (Yes. 26:12). Yabes menyadari keharusan bersandar pada kuasa Tuhan untuk perluasan daerahnya.
Pertama, Yabes minta daerahnya diperluas. Sebagai anggota kaum Israel, ia maupun kaumnya tentu sudah mempunyai batas-batas wilayah sendiri. Namun, ia berdoa untuk wilayah yang lebih luas lagi. Dalam konteks Perjanjian Lama, perluasan wilayah tidak identik dengan penjajahan, melainkan supaya bangsa-bangsa lain mengenal Allah Israel. “Mintalah kepada-Ku, maka bangsa-bangsa akan Kuberikan kepadamu menjadi milik pusakamu, dan ujung bumi menjadi kepunyaanmu” (Mzm. 2:8). Ketika Yosua sudah lanjut usia, Allah berfirman kepadanya, “Engkau telah tua dan lanjut umur, dan dari negeri ini masih amat banyak yang belum diduduki” (Yos. 13:2). Lalu Tuhan menyebutkan beberapa daerah dari Filistin, Sidon sampai daerah orang Amori. Kedua, Yabes minta penyertaan kuasa Allah yang dalam hal ini dilambangkan dengan tangan Tuhan. Permintaan ini terkait dengan permintaan pertama, sebab perluasan wilayah tidak akan berhasil tanpa Allah yang berjalan di depan membuka jalan untuk itu. “Dengan Allah akan kita lakukan perbuatan-perbuatan gagah perkasa, sebab Ia sendiri akan menginjak-injak para lawan kita” (Mzm. 60:14). “Ya TUHAN, Engkau akan menyediakan damai sejahtera bagi kami, sebab segala sesuatu yang kami kerjakan, Engkaulah yang melakukannya bagi kami” (Yes. 26:12). Yabes menyadari keharusan bersandar pada kuasa Tuhan untuk perluasan daerahnya.
Akhirnya, isi doa yang ketiga adalah
Yabes minta supaya tidak sakit sebagaimana dari namanya sebenarnya ia akrab
dengan sakit. Tentu yang dimaksud bukan ia ingin menjadi manusia super yang
tubuhnya kebal tidak bisa sakit. Yang dimintanya adalah tidak menderita karena
sakit. Sakit dan menderita karena sakit adalah dua hal berbeda. Dalam hal ini,
mungkin dapat dibandingkan dengan keinginan sebagian orang untuk tidak hidup
lebih dari usia enam puluh tahun karena ia tidak mau tuanya sakit-sakitan. Atau,
ada yang berharap lebih baik cepat mati saja daripada sakit-sakitan. Ada juga
penderita kanker yang mau mati saja daripada menahan rasa sakit yang begitu
hebat. Dalam hal Yabes, tidak jelas macam sakit apa yang mau dihindarinya.
Sehubungan dengan permintaannya untuk wilayah yang lebih luas, hal itu baru
dapat terjadi bila ia tidak mengalami kemalangan dan sakit macam-macam.
D. Relevansi Doa Yabes
Begitulah Yabes memohon hidupnya
diberkati dan itu menjadi kenyataan. Di telinga orang Israel, sungguh aneh orang
bernama Yabes yang mestinya akrab dengan sakit-sakitan namun akhirnya menjadi
lebih terhormat melebihi saudara-saudaranya. Kenyataan hidupnya paradoks dengan
arti namanya. Dan, kunci sukses Yabes adalah karena ia mempunyai doa yang
berani dan Tuhan mengabulkan doanya. Hidup Yabes berubah karena Tuhan
mengabulkan doanya. Kendati penerapan doa Yabes tidak sama persis untuk masa
kini yang konteksnya berbeda, secara prinsip doa Yabes tetap relevan.
1. Prinsip Doa
Ada dua prinsip yang melandasi doanya.
Pertama, ia mendoakan diri sendiri. Tindakan itu tidak egois bila ada
keperluannya seperti Yabes. Janji pertama Allah kepada Abraham adalah
memberkatinya, “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan
memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat”
(Kej. 12:2). Maka, minta diberkati agar hidup dapat menjadi berkat sama
sekali tidak salah. Sebelum menjadi berkat, kita harus diberkati dulu.
Kedua, kesederhanaan doa Yabes (minta
diberkati) tidak berarti doa adalah perkara yang sederhana. Doa tidak pernah
sederhana karena Allah, kepada siapa Yabes berdoa, adalah “Allah Israel.” Dalam
Perjanjian Lama sebutan untuk Allah (’elohim) jarang berdiri sendiri, karena
kata Ibrani yang sama bisa dipakai juga untuk menyebut allah-allah dari bangsa
lain. Maka, sering ada embel-embel lain untuk kata “Allah,” misalnya Allah
disebut Allah yang cemburuan, Allah Betel, Allah Yang Mahatinggi. Dalam doanya,
Yabes menyapa dengan sebutan “Allah Israel,” sekaligus menggambarkan
pengenalannya akan Allah nenek moyangnya, Allah yang dapat melakukan intervensi
dalam sejarah hidup umat-Nya, Allah yang hidup dan berkuasa.
Ketika kita berdoa, pengenalan akan
Allah adalah penting. Pengenalan itu seharusnya melandasi keyakinan kita dalam
berdoa. Doa mesti disertai iman. Dengan iman, kita mengklaim janji Tuhan.
Dengan iman, kita percaya bahwa Tuhan akan mengabulkan doa. Dengan iman, kita
bersabar menunggu datangnya jawaban doa. Tuhan sering terhalang untuk mengubah
hidup kita, karena kita terpaku pada apa yang ada dan mengabaikan potensi untuk
perubahan dalam hidup kita. “Saya dilahirkan dari keluarga yang berantakan,
maka sudah nasib kehidupan saya sekarang kacau.” “Saya dulu gagal, itu sebabnya
sekarang saya gagal lagi.” Kita lupa bahwa di samping masa lalu ikut
mempengaruhi masa sekarang kita, masa depan kita dapat berubah tidak seperti
sekarang. Dengan kata lain, manusia sebenarnya tidak terbelenggu pada masa
lalu. Tuhan dapat memutuskan belenggu-belenggu masa lalu dan untuk itu tidak
ada yang mustahil bagi Allah. Maka yang lebih menentukan bukan masa lalu kita,
tetapi apakah Tuhan mengubah kehidupan kita menjadi lebih baik.
Dalam dunia manajemen berlaku prinsip to
make the impossible possible (membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin).
Manajemen berupaya untuk menghapus kata “tidak” dari kata “mungkin.” Untuk
Allah Yang Maha Kuasa, jauh lebih mudah lagi untuk menjadikan yang tidak
mungkin menjadi mungkin. Karena itu, kita mesti optimis mengharapkan dari Allah
perubahan yang lebih baik dalam hidup kita. Allah jauh lebih besar daripada
para manajer. Allah adalah manajer dari alam semesta. Ia meninggikan mereka
yang rendah, juga merendahkan mereka yang tinggi.
Tidak salah bila dikatakan bahwa Yabes
memiliki ambisi yang secara fisiknya saat itu sebenarnya mustahil. Hanya karena
intervensi Tuhan dalam kehidupannya, yang tidak mungkin menjadi mungkin. Itulah
sebuah contoh ambisi yang dikuduskan (Sanders 115-23; Karman). Kata “ambisi”
sering mendapat label jelek sebagai sesuatu yang tidak rohani. Dalam salah satu
karya Shakespeare, Kardinal Wolsey berkata kepada Cromwell, “Cromwell,
kuperintahkan untuk mencampakkan jauh-jauh ambisi; oleh dosa itu para malaikat
jatuh.” Tetapi William Carey, bapak misi modern, berkata, “Harapkan
perkara-perkara yang besar dari Allah dan lakukan perkara-perkara yang besar
bagi Allah.” Sepanjang sebuah ambisi tidak bercita-cita untuk membangun
kerajaan dan popularitas diri, tetapi untuk kemuliaan Tuhan, maka Tuhan
mempunyai alasan untuk memberkati ambisi itu.
2. Isi Doa
Yabes memohon supaya wilayahnya
diperluas. Dalam konteks gereja, doa Yabes itu dapat dihubungkan dengan pesan
Tuhan Yesus untuk memperluas kerajaan-Nya. “Pergilah ke seluruh dunia,
beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk. 16:15). Rasul Paulus
belum puas sebelum membawa Injil ke Roma (Rm. 1:10; 15:32), bahkan kalau
bisa sampai ke Spanyol (Rm. 15:28), yakni ujung dunianya orang zaman
itu. Utusan Injil kepada suku-suku Indian di Amerika, David Brainerd, berkata,
“Saya tak peduli di mana atau bagaimana saya hidup, atau kesukaran apa yang
saya tanggung, yang penting saya dapat memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus.
Ketika saya tidur, saya memimpikan hal itu dan ketika saya terjaga, hal pertama
yang saya pikirkan adalah memenangkan jiwa bagi Kristus.” Pengkhotbah besar kebangunan
rohani George Whitefield juga mengatakan hal senada, “Jika Allah tidak
memberikan saya jiwa-jiwa, saya percaya bahwa saya pasti mati.” Kerinduan
supaya orang lain mengenal Tuhan Yesus tidak sama dengan Kristenisasi.
Kristenisasi adalah usaha untuk mengkristenkan orang lain. Golnya adalah asal
jumlah yang dibaptis banyak. Untuk itu, ditempuh berbagai macam cara dari
paksaan seperti pada zaman kolonialisme Barat di Indonesia sampai kepada
membujuk orang menjadi Kristen dengan iming-iming materi. Alkitab tidak pernah
membenarkan Kristenisasi, tetapi yang dibenarkan adalah memberikan kesaksian
tentang Tuhan yang hidup. Memberikan kesaksian adalah ungkapan hidup yang wajar
dari seorang Kristen yang sudah mengalami anugrah Tuhan, anugrah yang begitu
mahal dan istimewa.
Pada suatu kali Rasul Petrus dan
Yohanes ditangkap penguasa majelis agama Yahudi karena pemberitaan mereka
tentang Yesus Kristus. Ketika sidang digelar untuk mengadili kesalahan mereka,
majelis agama tidak dapat berbuat apa-apa karena kedua rasul itu memaparkan
bukti-bukti yang tidak dapat dibantah. Orang sakit yang sudah disembuhkan hadir
di sana sebagai kesaksian hidup bahwa Yesus yang diberitakan benar-benar hidup
dan berkuasa. Akhirnya, majelis agama melarang Petrus dan Yohanes untuk berbicara
atau mengajar dalam nama Yesus. Apa jawab kedua rasul itu? “Tidak mungkin bagi
kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah
kami dengar” (Kis. 4:20). Meski di bawah ancaman serius, mereka tetap
bersaksi tentang Yesus yang sudah mati dan bangkit.
Tanpa kesaksian murid-murid Kristus
seperti tercatat dalam Kitab Kisah Para Rasul, gereja tidak akan ada seperti
sekarang. Kita sendiri mungkin masih menjadi penganut agama leluhur. Tetapi
berkat kesaksian dan keberanian mereka, yang tidak segan-segan mati dalam
kesaksiannya sebagai orang Kristen, gereja lahir dan berkembang. Di atas benih
darah kaum martir itu gereja bertumbuh, kita disatukan dalam Tubuh Kristus.
Dalam pemberitaan Injil, dibutuhkan
kuasa Tuhan. Ketika Yesus mengutus para murid-Nya untuk pergi menjadikan segala
bangsa murid-Nya, Ia menjamin mereka dengan kuasa yang diperlukan. “Kepada-Ku
telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu pergilah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak
dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
Kuperintahkan kepada-Mu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai
kepada akhir zaman” (Mat. 28:18-20). Tanpa dilengkapi dengan kuasa
Tuhan, niscaya kita akan gagal melakukan mission impossible itu. Kuasa
Tuhan dibutuhkan bukan untuk pamer tetapi demi efektivitas pelayanan dan hidup
yang berbuah lebat bagi Tuhan.
Bencana, sakit, atau halangan dapat
membuat kesaksian dan pelayanan kita tidak efektif. Di tengah-tengah berita
kecelakaan setiap hari, bukankah suatu mukjizat Tuhan untuk menjauhkan kita
dari semua itu. Keadaan baik kita dimaksudkan untuk bisa melayani dan bersaksi
bagi Kristus yang hidup. Tidak salah meminta hidup sehat, namun mau apa dengan
kesehatan kita? Bila untuk memuliakan Tuhan, untuk melayani orang lain, itu
baik sekali.
E. Evaluasi “Doa
Yabes”-nya Wilkinson
Kini tiba saatnya kita mengevaluasi
buku Wilkinson. Pikiran pokok Wilkinson lebih dijabarkan dalam buku-buku
pendampingnya. Inti dari semua yang ditekankannya terangkum dalam prakata buku
utamanya, “Saya ingin mengajar Anda bagaimana caranya memanjatkan sebuah doa
yang berani yang Tuhan selalu jawab” (2000:3). Wilkinson menawarkan “resep”
berdoa yang mujarab. Ia percaya betul kuasa doa, “Dengan doa yang sederhana dan
penuh percaya, Anda dapat mengubah masa depan Anda. Anda dapat mengubah apa
yang terjadi satu menit dari sekarang” (2000:33).
Tidak mudah sebenarnya menjabarkan
pokok-pokok pemikiran Wilkinson karena ia menulis semua bukunya dalam bentuk
populer untuk awam. Wilkinson juga sulit mengkritik sebab yang bersangkutan
telah menjalani prinsip doa Yabes dalam kehidupan pelayanannya dan pelayanannya
sungguh diberkati. Kendati demikian, di balik keyakinan Wilkinson akan kuasa doa
atau doa yang mujarab dapat juga kita tarik benang merah yang melandasi
pemahamannya atas doa Yabes.
1.
Pokok Pikiran Wilkinson
Pertama, Wilkinson menekankan sifat
Tuhan sebagai Tuhan yang memberkati. Dalam salah satu ilustrasinya, ia berkata,
“Seperti seorang ayah merasa dihormati memiliki anak yang meminta berkatnya,
demikian pulalah Bapa Anda senang merespons dengan murah hati saat
berkat-Nyalah yang paling Anda dambakan” (2000:30). Allah dalam pemahaman
Wilkinson adalah Allah yang penyayang, baik, murah hati, inginnya memberkati
anak-anak-Nya, royal dan cepat memberkati.
Kedua, dalam pemahaman Wilkinson Allah
sebenarnya menyediakan banyak berkat untuk setiap anak-Nya namun itu hanya
sebagian kecil saja dinikmati. Kehidupan Kristen yang normal adalah bila semua
berkat yang disediakan itu dinikmati. Wilkinson melihat berkat rohani “di dalam
surga” (Ef. 1:3) otomatis sudah dinikmati ketika kita diselamatkan, di
antaranya adalah dosa diampuni, memperoleh status sebagai anak Allah, menerima
Roh Kudus, menerima hidup kekal. Namun itu baru separuh berkat rohani yang
dimaksudkan. Separuh berkat rohani lagi dialami di bumi dan hampir semuanya itu
merupakan “berkat-berkat potensial” (2002:22). Menurut Wilkinson, kita tidak
boleh terlalu cepat puas dengan keadaan kita karena keberadaan kita belum
optimal sesuai rencana dan kehendak Tuhan. Berdoa seperti Yabes adalah
menginginkan “bagi diri kita sendiri tidak lebih dan tidak kurang dari apa yang
Tuhan inginkan bagi kita” (2000:26) atau “berdoa meminta apa tepatnya yang
Tuhan inginkan” (2000:27).
Ketiga, hidup yang penuh berkat tidak
sama dengan kaya raya secara materi. Dengan tegas Wilkinson (2000:25f.) berkata
bahwa “tidak ada kesamaan sama sekali dengan Injil populer bahwa Anda harus
meminta kepada Tuhan sebuah Cadillac, pendapatan dengan enam angka, atau …
keuntungan sebanyak-banyaknya.” Sukses kesaksian-kesaksiannya berkisar pada
pelayanan, pemberitaan Injil, dan ihwal menjadi berkat bagi mereka yang
memerlukan Tuhan. Mukjizat yang dimaksudnya juga bukan dibatasi seperti dalam
Kesembuhan Ilahi tetapi mukjizat dalam penginjilan. Pokoknya, Wilkinson
mengharapkan orang Kristen tidak puas menjadi orang Kristen biasa-biasa saja.
Mukjizat, tidak harus yang spektakuler, harus dialami sehari-hari sebagai
bagian hidup yang memang diperuntukkan Tuhan bagi kita. Maka, meminta yang
dimaksud Wilkinson tidak asal meminta, tetapi meminta dengan berani, “Tuhan
menjawab doa-doa yang berani” (2000:114). Begitulah, untuk pekabaran Injil ia
berani meminta banyak kepada Tuhan. Hidupnya sungguh dipakai Tuhan. Ia tidak
hanya bicara di depan massa tetapi juga kepada pribadi-pribadi yang ditemuinya
di mana saja dalam perjalanan. Doanya adalah agar ia menjadi berkat dipakai
Tuhan secara maksimal. Maka, analisanya tentang banyak orang Kristen yang
hidupnya miskin kesaksian, disebabkan mereka tidak berani meminta atau kalau
pun meminta, meminta terlalu sedikit. Padahal, menurut Wilkinson Tuhan siap
mencurahkan berkat secara berlimpah.
Keempat, jalan satu-satunya untuk
menikmati “berkat-berkat potensial” adalah memintanya kepada Tuhan, berdoa.
Menurut Wilkinson (2000:29f.), kebaikan Tuhan tanpa batas, namun “bila Anda
tidak meminta berkat kepada-Nya, Anda tak akan memperoleh semua yang sebenarnya
Anda miliki.” Tuhan akan “membuka perbendaharaan surga” karena kita berdoa
(2000:105). Bahkan, lebih lanjut lagi ditegaskan bahwa orang Kristen hidup di
dunia untuk meminta berkat, “Anda ditebus untuk ini: meminta kepada-Nya yang
terbaik menurut ukuran Tuhan yang Ia rencanakan bagi Anda, dan memintanya dengan
segenap hati Anda” (2000:115). “Ubahlah kehidupan Anda sekarang dengan meminta
… dan meminta lagi” (2002:23).
2. Kritik terhadap
Wilkinson
Wilkinson memahami doa Yabes sebagai
gabungan antara theologi tentang Allah dan theologi berkat. Tidak ada yang
salah dengan konsep tentang Tuhan adalah Tuhan yang memberkati. Tidak ada yang
salah juga dengan konsep doa “mintalah, maka akan diberikan kepadamu” (Mat.
7:7). Tanpa mengurangi kesaksian hidup dan pelayanannya yang dinamis,
menerobos, sukses, sebagai bukti penerapan doa Yabes dalam praktik hidupnya,
saya melihat Wilkinson akhirnya tidak dapat menghindar dari eksploitasi konsep
berkat dan jatuh ke dalam beberapa ekstrem.
Pertama, Wilkinson cenderung
menekankan sifat Allah yang kompleks menjadi Allah pemberi berkat. Reduksi
demikian berbahaya sebab sifat Allah yang lain seperti kudus dan adil,
misalnya, tidak mendapat tempat dalam theologi doa Wilkinson.
Kedua, dalam rangka mendorong orang
Kristen untuk berani meminta, orang dianjurkan untuk lebih mengejar berkat
Tuhan daripada Tuhannya sendiri. Tidak dibedakan oleh Wilkinson antara Pemberi
berkat dan berkat-Nya itu sendiri. Padahal, dalam kehidupan Kristen yang
semakin dewasa, dari mengejar berkat-berkat Tuhan orang Kristen mencari Tuhan
itu sendiri. Tetapi dalam Wilkinson, mengejar berkat Tuhan sama saja dengan
mencari Tuhan.
Ketiga, akibat tekanan yang berlebihan
pada keberanian untuk meminta, Wilkinson menegaskan bahwa Tuhan punya “favorit”
(2000:94f.). Tuhan lebih sayang orang yang berani meminta dengan berani,
meminta dengan ambisius, untuk menjadi orang yang “lebih dihormati” seperti
Yabes. Pandangan ini tidak sesuai dengan Alkitab. Allah juga menyukai “jiwa
yang hancur, hati yang patah dan remuk” (Mzm. 51:19). Meminta yang besar
kepada Tuhan adalah baik, tetapi itu tidak berarti tuhan lebih menyukai orang
itu dibandingkan orang lainnya.
Keempat, menurut Wilkinson (2000:30)
berkat terhalang dikarenakan orang Kristen tidak meminta, “Anda kehilangan
berkat-berkat yang datang kepada Anda hanya bila Anda meminta.” Menjelang akhir
bukunya ia mengatakan dosalah yang menyebabkan penghalang berkat, “Satu-satunya
yang bisa memutus siklus hidup berlimpah ini adalah dosa, karena dosa memutus
aliran kuasa Tuhan” (2000:106). Dilihat dari kata-kata yang miring (“hanya,”
“satu-satunya”) kesannya Wilkinson menganggap “tidak meminta” sebagai “dosa.”
Kalau benar bahwa tidak meminta kepada Tuhan adalah dosa, begitu banyak orang
Kristen berdosa karena lalai tidak meminta. Tentu saja ini bertentangan dengan
pemahaman biasa yang membedakan antara kehidupan Kristen yang tidak optimal
yang belum tentu dosa dan dosa yang terang-terangan melanggar firman Tuhan.
Kelima, doa Yabes dijadikan seperti
mantera yang dapat mengubah hidup orang yang mengucapkan doa itu. Ia
menuturkan, “Yang penting adalah mengetahui Anda ingin menjadi siapa dan
memintanya. Optimisme Wilkinson bahwa kita bisa tahu kondisi optimal kita yang
seharusnya, dalam praktiknya justru tidak mudah. Yang lebih realistis untuk
kita adalah berusaha melakukan yang terbaik dari kita dan lihat sejauh mana
Tuhan memberkati usaha kita. Cara Tuhan memberkati pelayanan kita tidak
dibatasi dengan kondisi fixed yang seolah-olah sudah ditakdirkan bagi setiap.
Tuhan bisa menambahkan talenta sesuai dengan kebutuhan kita di lapangan. Tuhan
juga bisa membuka pintu kesempatan yang lebih luas.
Akhirnya, jangan dilupakan bahwa Yabes
berdoa demikian karena keadaannya amat sulit. Dari kesulitannya dan dari masa
depannya yang suram itulah, ia berdoa dengan isi doa yang luar biasa.
Kebanyakan kita, kondisinya tidak ekstrem seperti Yabes. Apa urgensinya Tuhan
menjawab doa kita minta tidak sakit, bila kita punya uang untuk biaya sakit?
Apa urgensinya Tuhan menjawab doa kita untuk menjadi kaya sekalipun dengan
janji akan mengembalikan separuh kekayaan kita nantinya kepada Tuhan, bila
dengan kondisi cukup seperti sekarang kita tidak mengerti memberikan perpuluhan
kepada Tuhan? Apa urgensinya Tuhan menjawab doa kita supaya diberikan lima
talenta, bila satu talenta yang kita miliki sekarang belum dipakai? Sekadar
pertanyaan-pertanyaan untuk direnungkan.
Kepustakaan:
Brown, Roddy. 1 Chronicles.
Word Biblical Commentary 14. Waco: Word, 1986.
Curtis, Edward L. and Albert A.
Madsen. A Critical and Exegetical Commentary on the Books of Chronicles.
International Critical Commentary. Edinburgh: T. & T. Clark, 1910.
Gesenius. Hebrew Grammar. E.
Kautzsch (ed.), A. E. Cowley (rev.). Oxford: Clarendon, 1910.
Gleason, Ron. The Prayer of Jabez:
Is It for Me? 2 Parts. Magazine Online, Volume 3, Nr 27 July 2-8 and Nr 28
July 9-15 (2000).
Japhet, Sara. I & II
Chronicles. Old Testament Library. Louisville: Westminster/John Knox, 1993.
Karman, Yonky. “Ambisi Yang
Dikuduskan.” Pelita Zaman 10 (1995) 17-24.
Sanders, J. Oswald. A Spiritual
Clinic: A Suggestive Diagnosis and Prescription for Problems in Christian Life
and Service. Chicago: Moody, 1958.
Wilkinson, Bruce H. The Prayer of
Jabez (Doa Yabes): Menerobos ke Hidup Penuh Berkat. Terj. Jennifer
T. Silas. Batam: Interaksara, 2000.
Wilkinson, Bruce H. dan David Kopp. The
Prayer of Jabez (Doa Yabes): Renungan. Terj. Jennifer T. Silas. Batam:
Interaksara, 2002.
Williamson, H. G. M. 1 and 2
Chronicles. New Century Bible Commentary. Grand Rapids: Eerdmans, 1982.
God Bless You
"Hitherto the Lord has helped
us."
Ebenhaezer
From the desk of Daniel Lauw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar