Nasib Egar tidak sebaik hatinya. Dengan pendidikannya yg rendah, pria berumur sekitar 30 tahun itu hanya seorang pekerja bangunan yg miskin.
Dan bagi seseorang yg hanya berjuang hidup untuk melewati hari demi hari, Natal tidak banyak berbeda dengan hari2 lainnya, karenanya apa yg terjadi pada suatu malam natal itu tidak banyak yg diingatnya.
Malam itu di seluruh negeri berlangsung kemeriahan suasana natal. Setiap orang mempersiapkan diri menghadapi makan malam yg berlimpah. Tapi di kantong Egar hanya terdapat $10, jumlah yg pas-pasan untuk makan malamnya dan tiket bis ke Baldwin, dimana dia mungkin mendapatkan pekerjaan untuk ongkos hidupnya selama beberapa berikutnya. Maka menjelang malam, ketika lonceng & lagu2 natal terdengar dimana2, dan senyum dan salam natal diucapkan tiap menit, Egar menaikkan kerah bajunya dan menunggu kedatangan bis pukul 20:00 yg akan membawanya ke Baldwin.
Salju turun deras. Suhu jatuh pada tingkat yg menyakitkan dan perut Egar mulai berbunyi karena lapar. Ia melihat jam di stasiun, dan memutuskan untuk membeli hamburger dan kentang goreng ukuran ekstra, karena ia butuh banyak energi untuk memindahkan salju sepanjang malam nanti.
‘Lagipula,’ pikirnya, ’sekarang adalah malam natal, setiap orang, bahkan orang seperti saya sekalipun, harus makan sedikit lebih special dari biasanya.’
Di tengah jalan ia melewati sebuah bangunan raksasa, dimana sebuah pesta mewah sedang berlangsung. Ia mengintip ke dalam jendela. Ternyata itu adalah pesta kanak2. Ratusan murid taman kanak2 dengan baju berwarna-warni bermain-main dengan begitu riang. Orangtua mereka saling mengobrol satu sama lain, tertawa keras dan saling olok. Sebuah pohon terang raksasa terletak di tengah2 ruangan, kerlap-kerlip lampunya memancar keluar jendela dan mencapai puluhan mobil2 mewah di pekarangan. Di bawah pohon terang terletak ratusan hadiah2 natal dalam bungkus berwarna-warni. Di atas beberapa meja raksasa tersusun puluhan piring2 yg berisi bermacam-macam makanan dan minuman, menyebabkan perut Egar berbunyi semakin keras.
Dan ia mendengar bunyi perut kosong di sebelahnya. Ia menoleh, dan melihat seorang gadis kecil, berjaket tipis, dan melihat ke dalam ruangan dengan penuh perhatian. Umurnya sekitar 10 tahun. Ia tampak kotor & tangannya gemetar.
‘Minta ampun nona kecil,’ Egar bertanya dengan pandangan tidak percaya,’udara begitu dingin. Dimana orangtuamu?’
Gadis itu tidak bicara apa2. Ia hanya melirik Egar sesaat, kemudian memperhatikan kembali anak2 kecil di dalam ruangan, yang kini bertepuk tangan dengan riuh karena Sinterklas masuk ke dalam ruangan.
‘Sayang kau tidak bisa di dalam sana’ Egar menarik napas. Ia merasa begitu kasihan pada gadis itu.
Keduanya kembali memperhatikan pesta dengan diam2. Sinterklas sekarang membagi-bagikan hadiah pada anak2, dan mereka meloncat ke sana-sini, memamerkan hadiah2 kepada orangtua mereka yg terus tertawa.
Mata gadis itu bersinar. Jelas ia membayangkan memegang salah satu hadiah itu, dan imajinasi itu cukup menimbulkan secercah sinar di matanya. Pada saat yg bersamaan Egar bisa mendengar bunyi perutnya lagi.
Egar tidak bisa lagi menahan hatinya. Ia memegang tangan gadis itu & berkata ‘Mari, akan saya belikan sebuah hadiah untukmu.’
‘Sungguh ?’ gadis itu bertanya dengan nada tidak percaya.
‘Ya. Tapi kita akan mengisi perut dulu.’
Ia membawa gadis itu diatas bahunya dan berjalan ke sebuah depot kecil. Tanpa berpikir tentang tiket bisnya ia membeli 2 buah roti sandwich, 2 bungkus kentang goreng dan 2 gelas susu coklat. Sambil makan ia mencari tahu tentang gadis itu.
Namanya Ellis dan ia baru kembali dari sebuah toko minuman dimana ibunya bekerja paruh waktu sebagai kasir. Dia sedang dalam perjalanan pulang ke rumah anak yatim St. Carolus, sebuah sekolah kecil yg dibiayai pemerintah untuk anak2 miskin. Ibunya baru memberinya sepotong roti tawar untuk makan malamnya. Egar menyuruh gadis itu untuk menyimpan rotinya untuk besok.
Sementara mereka bercakap2, Egar terus berpikir tentang hadiah apa yg bisa didapatnya untuk Ellis. Ia kini hanya punya sekitar $5 dikantongnya. Ia mengenal sopir bis, dan ia yakin sopir itu akan setuju bila ia membayar bisnya kali berikutnya. Tapi tidak banyak toko2 yg buka disaat ini, dan yg bukapun umumnya menaikkan harga2 mereka. Ia amat ragu2 apakah ia bisa membeli sesuatu seharga $5.
Apapun yg terjadi, katanya pada dirinya sendiri, saya akan memberi gadis ini hadiah, walaupun itu kalung saya sendiri. Kalung yg melingkari lehernya adalah milik terakhirnya yg paling berharga. Kalung itu adalah 24 karat murni, sepanjang kurang lebih 30 cm, seharga ratusan dollar. Ibunya memberinya kalung itu beberapa saat sebelum kematiannya.
Mereka mengunjungi beberapa toko tapi tak satupun yg punya sesuatu seharga $5. Tepat ketika mereka mulai putus asa, mereka melihat sebuah toko kecil yg agak gelap di ujung jalan, dengan tanda ‘BUKA’ di atas pintu. Bergegas mereka masuk ke dalam. Pemilik toko tersenyum melihat kedatangan mereka, dan dengan ramah mempersilakan mereka melihat2, tanpa peduli akan baju2 mereka yg lusuh. Mereka mulai melihat barang2 di balik kaca & mencari2 sesuatu yg mereka sendiri belum tahu. Mata Ellis bersinar melihat deretan boneka beruang, deretan kotak pensil, dan semua barang2 kecil yg tidak pernah dimilikinya.
Dan di rak paling ujung, hampir tertutup oleh buku cerita, mereka melihat seuntai kalung. Kening Egar berkerut.
Apakah itu kebetulan, atau natal selalu menghadirkan keajaiban, kalung bersinar itu tampak begitu persis sama dengan kalung Egar. Dengan suara takut2 Egar meminta melihat kalung itu. Pemilik toko, seorang pria tua dengan cahaya terang di matanya dan jenggot yg lebih memutih, mengeluarkan kalung itu dengan tersenyum. Tangan Egar gemetar ketika ia melepaskan kalungnya sendiri untuk dibandingkan pada kalung itu. ‘Yesus Kristus,’ Egar mengguman,’begitu sama dan serupa.’
Kedua kalung itu sama panjangnya, sama mode rantainya, dan sama bentuk salib yg tertera diatas bandulnya. Bahkan beratnyapun hampir sama. Hanya kalung kedua itu jelas kalung imitasi. Dibalik bandulnya tercetak: ‘Imitasi : Tembaga’.
‘Samakah mereka?’ Ellis bertanya dengan nada kekanak2an. Baginya kalung itu begitu indah sehingga ia tidak berani menyentuhnya. Sesungguhnya itu akan menjadi hadiah natal yg paling sempurna, kalau saja……kalau saja…….
“Berapa harganya, Pak ?” tanya Egar dengan suara serak karena lidahnya kering.
“Sepuluh dollar.” kata pemilik toko.
Hilang sudah harapan mereka. Perlahan ia mengembalikan kalung itu. Pemilik toko melihat kedua orang itu berganti2, dan ia melihat Ellis yg tidak pernah melepaskan matanya dari kalung itu. Senyumnya timbul, dan ia bertanya lembut “Berapa yg anda punya, Pak ?”
Egar menggelengkan kepalanya “Bahkan tidak sampai $5.”
Senyum pemilik toko semakin mengembang “Kalung itu milik kalian dengan harga $4.”
Baik Egar maupun Ellis memandang orang tua itu dengan pandangan tidak percaya.
“Bukankah sekarang hari Natal ?” Orang tua itu tersenyum lagi, “Bahkan bila kalian berkenan, saya bisa mencetak pesan apapun dibalik bandul itu. Banyak pembeli saya yg ingin begitu. Tentu saja untuk kalian juga gratis.”
“Benar2 semangat natal.” Pikir Egar dalam hati.
Selama 5 menit orang tua itu mencetak pesan berikut dibalik bandul : “Selamat Natal, Ellis Salam Sayang, Sinterklas”
Ketika semuanya beres, Egar merasa bahwa ia memegang hadiah natal yg paling sempurna seumur hidupnya.
Dengan tersenyum Egar menyerahkan $4 pada orang tua itu dan mengalungkan kalung itu ke leher Ellis. Ellis hampir menangis karena bahagia.
“Terima kasih. Tuhan memberkati anda, Pak. Selamat Natal.” kata Egar kepada orang tua itu.
“Selamat natal teman2ku.” Jawab pemilik toko, senantiasa tersenyum.
Mereka berdua keluar dari toko dengan bahagia. Salju turun lebih deras tapi mereka merasakan kehangatan didalam tubuh. Bintang2 mulai muncul di langit, dan sinar2 mereka membuat salju di jalan raya kebiru2an. Egar memondong gadis itu di atas bahunya dan meloncat dari satu langkah ke langkah yg lain.
Ia belum pernah merasa begitu puas dalam hidupnya. Melihat tawa riang gadis itu, ia merasa telah mendapat hadiah natal yg paling memuaskan untuk dirinya sendiri. Ellis, dengan perut kenyang dan hadiah yg berharga di lehernya, merasakan kegembiraan natal yg pertama dalam hidupnya.
Mereka bermain dan tertawa selama setengah jam, sebelum Egar melihat jam di atas gereja dan memutuskan bahwa ia harus pergi ke stasiun bis. Karena itu ia membawa gadis itu ketempat dimana ia menemukannya.
“Sekarang pulanglah, Ellis. Hati2 dijalan. Tuhan memberkatimu selalu.”
“Kemana anda pergi, Pak ?” tanya Ellis pada orang asing yg baik hati itu.
“Saya harus pergi bekerja. Ingat sedapat mungkin bersekolahlah yg rajin. Selamat natal, sayang.”
Ia mencium kening gadis itu, dan berdiri. Ellis mengucapkan terima kasih dengan suaranya yg kecil, tersenyum dan berlari2 kecil ke asramanya.
Kebahagiaan yg amat sangat membuat gadis kecil itu lupa menanyakan nama teman barunya.
Egar merasa begitu hangat didalam hatinya. Ia tertawa puas, dan berjalan menuju ke stasiun bis.
Pengemudi bis mengenalnya, dan sebelum Egar punya kesempatan untuk bicara apapun, ia menunjuk salah satu bangku yg masih kosong.
“Duduk di kursi kesukaanmu, saudaraku, dan jangan cemaskan apapun. Sekarang malam natal.”
Egar mengucapkan terima kasih, dan setelah saling menukar salam natal ia duduk di kursi kesukaannya.
Bis bergerak, dan Egar membelai kalung yg ada di dalam kantongnya. Ia tidak pernah mengenakan kalung itu di lehernya, tapi ia punya kebiasaan untuk mengelus kalung itu setiap saat.
Dan kini ia merasakan perbedaan dalam rabaannya. Keningnya berkerut ketika ia mengeluarkan kalung itu dari kantongnya, dan membaca sebuah kalimat yg baru diukir dibalik bandulnya : “Selamat Natal, Ellis Salam Sayang, Sinterklas”
Saat itu ia baru sadar bahwa ia telah keliru memberikan hadiah untuk Ellis……
***
Selama 12 tahun berikutnya hidup memperlakukan Egar dengan amat keras. Dalam usahanya mencari pekerjaan yg lebih baik, ia harus terus menerus berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Akhirnya ia bekerja sebagai pekerja bangunan di Marengo, sekitar 1000 km dari kampung halamannya.
Dan ia masih belum bisa menemukan pekerjaan yg cukup baik untuk makan lebih dari sekedar makanan kecil atau kentang goreng.
Karena bekerja terlalu keras di bawah matahari & hujan salju, kesehatannya menurun drastis. Bahkan sebelum umurnya mencapai 45 tahun, ia sudah tampak begitu tua dan kurus. Suatu hari menjelang natal, Egar digotong ke rumah sakit karena pingsan kecapaian.
Hidup tampaknya akan berakhir untuk Egar. Tanpa uang sepeserpun di kantong dan sanak famili yg menjenguk, ia kini terbaring di kamar paling suram di rumah sakit milik pemerintah.
Malam natal itu, ketika setiap orang di dunia menyanyikan lagu2 natal, denyut nadi Egar melemah, dan ia jatuh ke dalam alam tak sadar.
Direktur rumah sakit itu, yg menyempatkan diri menyalami pasien2nya, sedang bersiap2 untuk kembali ke pesta keluarganya ketika ia melihat pintu gudang terbuka sedikit.
Ia memeriksa buku di tangannya & mengerutkan keningnya. Ruang itu seharusnya kosong. Dia mengetuk pintu, tidak ada jawaban. Dia membuka pintu itu dan menyalakan lampu. Hal pertama yg dilihatnya adalah seorang tua kurus yg tergeletak diatas ranjang, disebelah sapu2 & kain lap. Tapi perhatiannya tersedot pada sesuatu yg bersinar suram di dadanya, yg memantulkan sinar lampu yg menerobos masuk lewat pintu yg terbuka.
Dia mendekat dan mulai melihat benda yg bersinar itu, yaitu bandul kalung yg sudah kehitam2an karena kualitas logam yg tidak baik. Tapi sesuatu pada kalung itu membuat hatinya berdebar. Dengan hati2 ia memeriksa bandul itu dan membaca kalimat yg tercetak dibaliknya.
“Selamat Natal, Ellis Salam Sayang, Sinterklas”
Air mata turun di pipi Ellis. Inilah orang yg paling diharapkan untuk bertemu seumur hidupnya. Inilah orang yg membuat masa kanak2nya begitu tak terlupakan hanya dengan 1 malam saja, dan inilah orang yg membuatnya percaya bahwa sesungguhnya Sinterklas memang ada di dunia ini.
Dia memeriksa denyut nadi Egar dan mengangguk. Tangannya yg terlatih memberitahu harapan masih ada. Ia memanggil kamar darurat, dan bergerak cepat ke kantornya. Malam natal yg sunyi itu dipecahkan dengan kesibukan mendadak dan bunyi detak langkah2 kaki puluhan perawat & dokter jaga.
“Jangan kuatir, Pak…. Siapapun nama anda. Ellis disini sekarang, dan Ellis akan mengurus Sinterklasnya yg tersayang.”
Dia menyentuh kalung di lehernya. Rantai emas itu bersinar begitu terang sehingga seisi ruangan terasa hangat walaupun salju mulai menderas diluar.
Ia merasa begitu kuat, perasaan yg didapatnya tiap ia menyentuh kalung itu. Malam ini dia tidak harus bertanya2 lagi karena ia baru saja menemukan orang yg memberinya hadiah natal yg paling sempurna sepanjang segala jaman……….
With Love in Christ
"Hitherto the Lord has helped
us."
Ebenhaezer
From the desk of Daniel Lauw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar