” Tetapi dalam
semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.”
(Roma 8:37)
Suatu saat ada seorang bapak dari
dusun sedang sakit. Biasanya kalau sakit, larinya ke ”orang pinter” (dukun /
paranormal). Cukup di sembur atau minum air putih yang di jopa-japu…. Tapi kali
ini oleh anaknya – yang lebih modern -
ia di suruh ke dokter. Nggak sembarang dokter, tapi dokter spesialis. Meskipun
dia nggak percaya kalau dokter bisa mengobati, tapi berhubung karena dipaksa…
yach, apa boleh buat. Diapun pergi ke dokter.
Pertama ketemu saja sudah jadi masalah. Ketika dokter
bertanya, “Bapak, sakit apa ?”. Bapak
ini malah marah, “Lho sampeyan itu
gimana, yang dokter khan sampeyan bukan saya… mestinya sampeyan yang ngasih
tahu, saya ini sakit apa. Bukannya malah tanya ? “ Tapi untung saja dia
ketemu doker yang sabar, maklum ngedepi wong dusun… harus ekstra sabar. Dokter
ini cuma berkata, “Pak, satu-satunya
dokter yang nggak pernah tanya sama pasiennya itu cuma dokter hewan… saya ini
dokter manusia”.
Akhirnya bapak inipun ngalah. Dia menceritakan
keluhan-keluhannya. Ini yang sakit, itu yang sakit dan seterusnya. Setelah
memeriksa, dokter inipun menulis resep.. diserahkan kepada bapak ini, “ini pak, semoga cepat sembuh !”. Bapak
inipun pulang.
Beberapa hari kemudian anaknya tanya, “Bagaimana pak, sudah sembuh ?”. Bapaknya
pun menjawab, “Sembuh apaan… malah loro
weteng yo iyo”. “Lho kok bisa ?”
tanya anaknya. “Lha iya, lha wong bapak
ini cuma dikasih kertas, kertase tak makan..malah
loro weteng. Doktere guoblok !”. “Oalah Pak..Pak.. itu RESEP, bukan obat”.
Kita semua tahu bahwa kita hidup pada era globalisasi. Dan
saya yakin anda pasti lebih tahu dari saya, apa ciri-ciri dari zaman ini. Salah
satu cirinya adalah bahwa manusia maunya serba cepat dan nggak mau repot. Zaman
instant.. karena itu produk-produk yang muncul juga dibuat instant. Mie
Instant, Kopi Instant…. Cukup “Cuur” air anget.. jadi deh. Bikin nasi goreng..
ada bumbu instant, nggak perlu repot ngulek sambel yang bisa kecampur kringet.
Restoran ? Fast Food… siap saji, nggak buang-buang waktu. Maunya semua serba
cepat dan mudah. Sampai-sampai sakit, maunya pulang dari dokter langsung
sembuh. Ini memang salah satu tanda kemajuan jaman, namun pada sisi lain, mau
tidak mau terbentuklah manusia-manusia yang tidak siap menghadapi kesulitan.
Manusia-manusia yang enggan berjuang untuk mencapai tujuan.
Padahal ciri lain dari jaman ini adalah semakin ketatnya
persaingan. Kata kunci dalam era persaingan adalah “menang”. Jika anda menang,
maka anda akan melesat maju. Namun jika kalah, andapun akan tersingkir. Namun dengan mental seperti tersebut di atas,
orang lalu maunya menang tanpa kesulitan. Maunya nggak usah repot, nggak usah
susah-susah.. tapi dapat menikmati kemenangan, keberhasilan dan kesuksesan.
Nah, Saudara ….. ketika kita mencermati thema ini
“Percaya Yesus, nikmati kemenangan”, kesan apa yang kita dapatkan ? Mudah atau
sulit ? Mudah…. Tinggal percaya kok. Seperti sebuah lagu Jawa yang terkesan
menunjukkan betapa enak dan mudahnya jadi orang Kristen : Kalau “Pracoyo Gusti Yesus” maka “Setan ora doyan, demit ora ndulit, leloro
podho lungo, amargo pracoyo…. Masih ditambah “Rejekine teko, saben dino begjo, tumrape sing pracoyo Yesus”. Enak
nggak saudara ? Uenak banget… modale cuma ? Pracoyo Gusti Yesus. Yach.. saya menghargai lagu ini sebagai salah
satu ekspresi iman. Memang bukan hal yang mustahil…. Namun “Menikmati
Kemenangan sebagai buah dari iman/percaya” apakah memang semudah itu ?
“Hidup ini”, kata Paulus, “Bagaikan sebuah pertandingan”.
Namanya
pertandingan, orang tidak cukup punya motivasi menang, namun orangpun harus
berjuang. Dan ini bukan sesuatu yang mudah, bukan hanya pada waktu pertandingan
orang harus berusaha dengan keras untuk menang, namun pada saat tidak
bertandingpun, seorang atlit sejati harus terus berlatih.
“Hidup
ini” kata Paulus “Bagaikan kehidupan seorang petani”. Sebelum bisa menikmati
hasil pertanian, seorang petani tidak bisa santai-santai. Ia harus berusaha,
menjaga tanamannya, mengobati jika ada hama.
Tidak bisa seorang petani berkata, “Hari aku menabur benih, besok pagi aku
menuai hasil”
“Hidup
ini” kata Paulus dalam kesempatan lain, “Bagaikan seorang prajurit”. Nah ini
lebih nggak enak lagi. Dimana seorang prajurit bisa mempeoleh kemenangannya ?
Bukan di gedung bioskop, bukan di mal-mal, bukan ditempat rekreasi. Tapi di
medang perang, diantara “hujan peluru” dengan nyawa sebagai taruhannya.
Jadi
“Kemenangan Orang Percaya” sebagaimana disaksikan oleh Firman Tuhan bukanlah
kemenangan yang mudah. Lihat saja Tuhan Yesus. Untuk bisa menang atas maut,
Yesus harus menempuh perjuangan dan penderitaan yang tidak mudah. Sejak awal
Yesus lahir di dunia, tantangan dan kesulitan sudah menjadi bagian kehidupanNya.
Orang tua mana yang mau melahirkan anaknya di kandang kalau bukan karena
kepepet ? Tapi Yesus, saat masih bayi saja sudah mengalami apa arti kehinaan,
penolakan dan keterbatasan. Palungan, kain lampin, kandang… semua ini bukan
simbol kenyamanan dan kemudahan, bukan simbol prestasi dan kekuasaan.
Kita seringkali kagum melihat orang-orang yang sukses,
yang kaya dan terhormat. Lalu tak jarang, kitapun ingin demikian. Namun orang
seringkali hanya melihat pada kesuksesan mereka, dan lupa bahwa untuk dapat
sukses, merekapun tidak jarang harus mulai dari nol. Dari perjuangan yang
berat. Bahkan bisa jadi, “merangkak dari bawah”. Orang mau suksesnya, tapi
perjuangannya ?? Nanti dulu….
Yesus memang sudah menyediakan kemenangan bagi
orang-orang percaya. Kemenangan yang telah di raih oleh Yesus. Oleh
anugerahNya, II Kor 2:14 mengatakan bahwa kita diletakkan Allah pada “Jalan Kemenangan”. Karena itulah dengan
sukacita kita bisa menyanyi “Kitalah Umat Pemenang…” Karena itulah kita bisa
berkata “Kumenang-kumenang bersama Yesus Tuhan”. Karena kemenangan ini memang
di sediakan Tuhan bagi saudara dan saya.
I Yohanes 5:4-5 mengatakan : “Sebab
semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia. Dan inilah kemenangan yang
mengalahkan dunia: iman kita. Siapakah yang mengalahkan dunia, selain dari pada
dia yang percaya, bahwa Yesus adalah Anak Allah”. Karena itulah kitapun
bisa berkata bahwa : “kita lebih dari
pada orang-orang yang menang” (Roma 8:37). Namun benarkah memang semudah itu ?
Dalam Roma 8:37 dikatakan : “Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yg
menang, oleh Dia yang telah mengasihi”. Kata “TETAPI” menunjukkan adanya
satu kondisi yang bertolak belakang dari apa yang dikatakan oleh ayat ini.
Kalau ayat ini berbicara tentang “Kemenangan”, maka kondisi sebelumnya justru
berbicara tentang keadaan yang menurut “kacamata” dunia, layak di sebut “Kekalahan”.
Kondisi seperti apa ? Ayat 22 “Sebab kita
tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama
merasa sakit bersalin”. Ayat 35-36 berbicara tentang Penindasan, kesesakan,
penganiayaan, kelaparan, ketelanjangan,
bahaya, pedang. ? Satu situasi yang jelas tidak menyenangkan... tetapi
“DALAM SEMUANYA” kita lebih daripada pemenang. Apa artinya ?
Kita semua tahu,
dan sayapun yakin, kita semua pasti pernah mengalami apa yang disebut suka
maupun duka, apa yang disebut tawa maupun tangis, sukses ataupun gagal. Ada
diantara anda yang sepanjang tahun 2006 isine seneng thok ? (Ndak ada khan ? itu baru satu tahun... kita
ini rata-rata usianya sudah puluhan tahun). Kita semua pernah mengalami
itu, soal mana yang lebih banyak... itu lain soal. Tapi yang pasti hidup ini
tidak cuma seneng dan tidak cuma susah. Keduanya merupakan bagian yang tak
terpisahkan dalam hidup manusia. Kalau ada yang bertanya, “Pak, piye carane
supaya hidup saya seneng terus ?”. Jawaban saya gampang... “Nggak usah hidup”,
lha wong hidup kok maunya seneng thok. Ndak ada. Besok kalau di sorga baru ada.
Susah thok ? juga nggak ada, Besok kalau di neraka baru ada.
Hidup terdiri dari keduanya. Tidak bisa dielakkan. Tidak
bisa ditawar. Karena itu jangan buang-buang energi untuk menolak atau
menangkalnya. Jauh lebih bijaksana jika kita bersikap lebih arif dengan
menerima sadar dan mengusahakan yang terbaik daripadanya.
Ada sebuah doa yang menarik yang di tulis oleh Frederick
Oetingen dari Koblenz, Doa ini berjudul “The Serenity Prayer” kalimatnya begini
:
Tuhan karuniakan kepadaku ketulusan
hati/ketenangan
untuk menerima
apa yang tidak bisa saya ubah,
Berikan kepadaku keberanian
Untuk mengubah
apa yang dapat aku ubah, dan
Berikan padaku
kebijakan untuk mengetahui perbedaannya.
Yang
terakhir ini maksudnya jelas : Jangan ngotot pingin mengubah apa yang tidak
bisa diubah, dan sebaliknya jangan ngotot mempertahankan apa yang semestinya
diubah.
Suatu ketika ada seorang yang berbadan “jumbo” datang
kepada seorang dokter untuk minta obat diet yang paling manjur. Oleh Pak
dokter, ia diberi sebotol pil-pil kecil yang banyak sekali jumlahnya. “Sehari 3
x ya , Pak”, kata dokter. “Berapa yang diminum, Dok”, tanya pasien ini.
Dokterpun menjawab, “Oo ini bukan untuk diminum, Pak. Pil-pil ini harus bapak
taburkan lalu bapak kumpulkan kembali, sehari 3 x saja, dijamin cepet kurus kok
!”. Namanya diet, ya jangan cuma mengandalkan obat. Pinginnya kurus, tapi kalau
masih “ngotot” mempertahankan selera makannya, ya sama juga bo’ong. Karena itu
dibutuhkan kearifan untuk tahu mana yang harus diubah dan mana yang harus
diterima sebagai kenyataan yang tidak bisa diubah. Dan ini tidak terlepas bagaimana
memahami hubungan antara derita-menang; susah-senang.
Ada beberapa teori yang memandang hidup ini seperti
“Gado-Gado” campur aduk antara yang senang dan susah, antara kemenangan dan
penderitaan. Kaya gado-gado… kadang-kadang nyeplus lombok, kadang-kadang keno
sayure, kadang-kadang telur… nah ini yang enak. Karena itu falsafah Jawa lalu
mengatakan bahwa hidup itu bagaikan “Cakramanggilingan” Roda yang berputar,
kadang kita di atas, kadang dibawah. Mereka yang menganut paham ini biasanya
memiliki sikap fatalistis, nrimo, terima nasib. Inilah yang membat mereka bisa
bertahan bahkan bersyukur. Kita tidak heran dengan ini ya ? Bukankah orang Jawa
itu terkenal dengan “Bejo-ne”. Kalau ada yang kecelakaan…. Meskipun kakinya patah,
orang bisa bilang “Bejo” cuma kaki kanan. Kalaupun kedua kaki yang patah, masih
“Bejo”, nyawane slemet. Bahkan meskipun meninggal, orang Jawa masih bisa bilang
“Bejo, mayite masih ada , daripada korban Adam Air atau Kapal Senopati
Nusantara… mayate nggak ketemu”. Nah sekarang, bagaimana iman Kristen memandang
ini ?
Banyak para ahli yang mengatakan bahwa yang disebut
REALITAS (Kenyataan) itu ternyata tidak obyektif. Saya ambil contoh, buat saya
Duren itu nikmat, namun durian yang sama bagi orang lain, jangankan makan, cium
baunya saja mau muntah – makanya Duren masuk kategori “Buah Terlarang”. Lihat
aja di hotel-hotel, nanti khan ada larangan “Dilarang membawa buah durian”;
Pete itu enak bagi sebagian orang, namun bagi yang lain, bisa jadi adanya pete
malah menghilangkan selera makan. Barangnya sama, realitas sama namun jika
orang melihat dengan cara yang berbeda… maka jadi berbeda pula.
Demikian juga hidup. Ada seorang yang
mau beli rumah. Iapun melakukan suvey keliling rumah. Dan akhirnya ia berkata
kepada penjualnya, “Rumah ini sebetulnya ideal, tata artistisnya juga menarik,
namun sayangnya…. Rumah ini terkesan suram, kurang cahaya. Penjualpun berkata,
“Pak, kalau mau lihat cahaya rumah ini baik atau tidak….. buka dulu kacamatanya.
Hidup juga demikian. Hidup itu satu, namun kita bisa melihat berbeda tergantung
kacamata kita. Kalau kacamata hitam, ya semua jadi suram.
Pernah ada cerita tentang orang kaya
yang stress sampai harus dirawat di Rumah Sakit. Orang berpikir kalau dia itu
bangkrut, namun ternyata bukan itu. Orang ini stress, gara-gara mendengar bahwa
bunga depositonya turun 10 %. Karena melihat dari kacamata gelap… ia tidak bisa
melihat dengan jernih, akibatnya jadi stress itu tadi. Lain dengan Tukang Becak
misalnya, Deposito saja nggak punya, namun mereka mudah tidur nyenyak, di atas
Becakpun bagaikan di hotel berbintang lima. Tetap nikmat.
Iman-kata Alkitab- adalah memandang
hidup ini dari kaca mata Allah. Bukan dari sudut yang kelihatan namun dari yang
tidak kelihatan. 2 Kor 4:18: “Sebab kami
tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang
kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal”. Realitas Bayi Yesus di mata dunia adalah
realitas derita, namun dari kacamata Allah justru dari realitas ini terpancar
kemenangan Allah. Bukan bayinya, bukan kandangnya, tapi “Allah yang mau
menjelma jadi manusia”.
Saudara…Tidak perlu kita sangkal,
dalam hidup ini memang ada derita, kesulitan, tantangan. Bahkan besar. Ada
seorang Ahli yang berpendapat bahwa saat ini, obat yang sering dipakai kalau
ada masalah, adalah obat yang disebut “Kambing Hitam”. Muncullah KKN sebagai
kambing hitam penyebab kesulitan bangsa. KKN itu bukan Korupsi – Kolusi dan
Nepotisme, tapi Kristen, Katholik, dan Non-Pribumi. Habis itu muncullah respon
dengan lahirnya gerakan Full AC, yaitu Anti Christian, Anti Chinese dan Anti
Conglomerat.
Dalam salah satu kesempatan, Menteri
Agama memberikan sambutannya (Pembukaan
Sidang MPL-PGI) bahwa “Orang Kristen
di Indonesia itu jumlahnya menurut sensus cuma 6,3 % sedangkan orang Katholik
3,8 %” Artinya apa ? Meskipun tak dijelaskan secara terbuka, namun secara
implisit kita menangkap “Lha wong jumlah
cuma sekian persen kok mau neko-neko. Tahu diri lah”….
Tantangan kita tidak ringan. Tapi dengan
kacamata iman, kita akan berkata seperti Paulus (2 Kor 4:17) : “Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini,
mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih
besar dari pada penderitaan kami”. Sama seperti ibu yang bersalin. Sakit,
kapok.. tapi kapok’e ya “Kapok Lombok”. Pingin lagi. Kok bisa ? Karena sakit
itu jika dibandingkan karunia anak yang dimiliki, nggak ada apa-apanya.
Sesungguhnya inilah inti yang dikatakan dalam Roma 8:37 tadi, bahwa Kita ini
sebetulnya lebih dari orang yang menang, bukan karena tidak pernah kalah,
menderita, bangkrut, kesulitan. Bukan. Namun kita menang oleh Dia. “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak
terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak
ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa (2 Kor 4:8-9)
Justru inilah bukti kemenangan kita.
Kita menang bukan karena mengalahkan pihak lain, kita menang karena kita mampu
mengalahkan kecenderungan alamiah dan naluriah manusiawi kita. Apa itu ? Yaitu
kecenderungan untuk putus asa saat kalah dan lupa daratan saat menang.
Inilah yang disebut “Realisme yang Berpengharapan”, bahwa
kita tidak menutup mata terhadap kenyataan, seperti burung onta (Jika
menghadapi bahaya, ia menyembunyikan kepalalanya, namun lupa kalau “pantatnya”
yang besar masih nongol. Ia merasa aman hanya karena “menutup mata”, padahal
masalah masih ada. Kita melihat kenyataan sekalipun pahit, namun Dalam semuanya
itu, kita lebih daripada orang-orang yang menang, oleh Dia yang mengasihi kita”
Jika memang demikian, bukankah
sepantasnyalah kalau kitapun memiliki cara hidup dan gaya hidup sebagai
pemenang ? Fakta yang menyedihkan adalah jika sebagai pemenang ternyata gaya
hidup kita adalah “gaya hidup seorang pecundang”. Percaya sih percaya, namun tidak
memberi makna apapun pada hidup. Ini khan menyedihkan. Padahal kata Agustinus,
kalau mau cari Tuhan itu bagaikan orang tenggelam, cari udara. Cari dengan
sungguh-sungguh, dengan sekuat tenaga dan kemampuan. Para seniman serius dengan karyanya. Para Pedagang serius
dengan usahanya. Para professional serius dengan kariernya. Tetapi apakah orang
Kristen serius dengan imannya ?
Kita adalah orang-orang yang lebih
dari pemenang. Tapi mana ada kemenangan tanpa peperangan, mana ada kemenangan
tanpa perjuangan ? Karena itu, jika percaya pada Tuhan… seriuslah dengan
imanmu, maka engkau akan menikmati kemenangan yang Tuhan anugerahkan kepadamu.
Amin
With
Love in Christ
"Hitherto the Lord has helped
us."
Ebenhaezer
From the desk of Daniel Lauw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar