Berita kelahiran adalah sesuatu yang amat penting. Apalagi kalau menyangkut kelahiran seorang tokoh besar. Orang bisa memakai berlembar-lembar halaman kertas untuk menuliskannya. Bila perlu ditambah dengan bumbu-bumbu agar kesannya lebih dramatis.
Tetapi coba bandingkan dengan berita kelahiran Tuhan Yesus, “Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada bagi mereka di rumah penginapan.” (Lukas 2:6-7). Sungguh sederhana. Tidak ada luapan kata-kata dramatis dan emosional di sana. Biasa-biasa saja. Seakan-akan tidak sedang menceritakan sesuatu yang istimewa. Lebih-lebih bila melihat setting yang ditampilkan: kota kecil Betlehem, kain lampin, palungan tempat makanan ternak.
Padahal yang diberitakan adalah sebuah peristiwa mahabesar: Juruselamat dunia telah lahir. Begitulah, kebesaran suatu peristiwa tidak terletak pada ungkapan kata atau bahasanya, tetapi pada makna yang terkandung di dalamnya. Suatu peristiwa kalau itu memang mempunyai makna besar, tanpa bumbu-bumbu pun orang akan melihat dan merasakannya.
Seperti Natal, kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Karena itu memang sangat aneh kalau kemudian Natal cenderung identik dengan kemeriahan. Pesta. Dana berjuta-juta untuk membuat acara ini dan itu.
Tetapi apa itu salah? Salah sama sekali tentu tidak. Kalau Anda mau dan mampu merayakan Natal dengan segala meriahan dan kemewahan, silahkan saja. Hanya jangan kemudian itu dijadikan sebagai keharusan atau tujuan. Sebab Natal tidak tergantung pada bagaimana cara kita merayakannya, tetapi pada bagaimana kita menghayatinya; yang penting isinya, bukan bentuknya.
Kalau kita dapat menyambut Natal dalam suasana cerah ceria, megah dan mewah, ya besyukurlah. Asal ada artinya, dan tetap dalam batas-batas wajar. Jangan karena gengsi atau sekedar kebiasaaan dari tahun ke tahun. Tetapi kalau kita bisanya merayakan Natal dalam kesederhanaan, tidak ada kado dan pesta, bahkan mungkin dalam kesendirian dan keterasingan pula, ya tidak apa-apa juga, toh makna Natal tidak akan berkurang karenanya. Yang terpenting dan terutama, jangan melupakan semangat Natal yang sebenarnya; kesukaan bagi dunia, dan damai sejahtera bagi segala bangsa di bumi.
Apa yang ditulis dalam Injil Lukas mengenai kelahiran Tuhan Yesus itu kerap juga digambarkan secara kurang tepat. Misalnya dalam adegan drama Natal seperti ini: Yusuf dan Maria yang tengah mengandung tua berjalan perlahan dari satu penginapan ke penginapan lainnya, mencari kalau-kalau ada kamar buat mereka. Tetapi jawaban pemilik para penginapan selalu sama, “Maaf, tidak ada kamar kosong. Semua kamar sudah penuh.” Sampai akhirnya mereka mendapat tempat di sebuah kandang domba. Dan di sanalah Maria melahirkan.
Penggambaran ini kurang tepat, karena dalam Injil Lukas tidak ditulis “tidak ada kamar kosong”, tetapi “tidak ada tempat bagi mereka”. Jadi kamar kosong mungkin ada, tetapi bagi Yusuf dan Maria yang tengah mengandung tua, dan miskin pula, maaf, tidak ada tempat.
Dari perhitungan ekonomi, sikap para pemilik penginapan itu memang dapat dimengerti. Ketika itu Maria tengah hamil tua. Kalau sampai dia melahirkan di penginapan tentu akan repot sekali. Para penghuni lain akan terganggu dengan suara tangisan bayi, bisa-bisa mereka lari mencari penginapan lain. Lagi pula Yusuf dan Maria bukan orang kaya; apa bisa mereka membayar mahal?!
Pendek kata, menerima Yusuf dan Maria, yang tengah mengandung Bayi Yesus, di penginapan bukan hanya merugikan, tetapi juga merepotkan. Satu-satunya jalan yang paling gampang dan tanpa risiko adalah menolaknya dengan mengatakan, “Maaf tidak ada tempat.”
Rugi dan repot, kadang-kadang itu jugalah yang harus kita tanggung dengan menerima Tuhan Yesus. Dulu dengan menerima Tuhan Yesus orang harus melepaskan budak-budaknya, mengembalikan gundik-gundiknya, menutup rumah perjudiannya, dan bahkan meninggalkan segala fasilitas dan kemudahan yang diperolehnya secara tidak benar.
Dalam bentuk yang berbeda, sekarang pun demikian. Menerima Tuhan Yesus berarti meninggalkan hidup manusia lama kita; dan itu bisa jadi hidup yang serba enak secara jasmani, serba menguntungkan secara materi, dan serba gampang secara lahiriah.
Jadi, kalau kita mau menerima Tuhan Yesus, mempersilahkan Dia lahir dalam hidup kita, jangan hanya memikirkan enaknya, gampangnya, atau untungnya. Tetapi pikirkan juga konsekuensinya, harganya yang harus kita bayar. “Setiap orang yang mau mengikut Aku,” demikian kata Tuhan Yesus. “Ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku" (Matius 16:24).
by : Ayub Yahya
Amin
With
Love in Christ
"Hitherto the Lord has helped
us."
Ebenhaezer
From the desk of Daniel Lauw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar