Istilah kepemimpinan transformatif ini pertama kali
muncul dari literatur sekuler yang di tulis oleh James MacGregor Burns dalam
bukunya “Leadership” yang memenangkan
pulitzer Leadership. Dalam buku itu Burns menggunakan istilah “Transforming Leadership” untuk
menggambarkan kepemimpinan yang mengubahkan yaitu mereka yang mengubah pikiran
dan hati para pengikutnya sehingga mereka berusaha keras untuk memenuhi visi
yang diucapkan pemimpinnya. Konsep ini dikembangkan oleh Bernard M.Bas dalam
study ekstensifnya tentang organisasi kepemimpinan yang disebut “Transformational Leadership” dalam
bukunya “Leadership and Performance
beyond Expectations” (Wofford, 2011:7). Meskipun berangkat dari literatur
sekuler dan digunakan dalam berbagai organisasi bisnis dunia, namun model
kepemimpinan transformatif yang menekankan pada nilai, visi, relasi, apresiasi,
inspirasi. mobilisasi hingga cara kerja team
work dan pemberdayaan anggota ini justru sangat tepat diterapkan bagi
kepemimpinan gereja daripada kepemimpinan bisnis.
PERSOALAN GEREJA DAN KEPEMIMPINAN MASA KINI
1. Gereja
Di Tengah Arus Perubahan Zaman
Gereja tidak pernah terlepas dari konteks zaman yang
mengitarinya. Gereja hidup di dalamnya dan terjalin relasi dengan dunia.
Interelasi ini menimbulkan hubungan timbal balik. Gereja memberi warna dan rasa
pada konteks zaman, sementara zaman yang bergerak cepat dalam perubahan juga
mempengaruhi daya kehidupan dan tatanan dalam gereja. Gereja tidak mungkin
bersikap acuh tak acuh atas percepatan perubahan zaman, karena perubahan itu
sendiri memiliki konsekuensi logis pada transformasi atas kehidupan manusia.
Dalam perjalanan sejarah, gereja telah menunjukkan
kemampuan untuk bertahan di tengah berbagai situasi yang mengitarinya. Sistem
organisasi, pola ibadah, metode pendidikan kristiani dan model kepemimpinan telah
tertata begitu rupa dan digunakan selama berabad-abad. Namun dunia belum
berhenti berputar dan perubahan masih terus terjadi. Perubahan-perubahan dalam
budaya berjalan begitu cepat dan dalam skala global, perkembangan ilmu
pengetahuan begitu pesat merambah dalam
berbagai dimensi kehidupan manusia. Fenomena global ini memaksa
seluruh tatanan kehidupan untuk mengoreksi dirinya, mengambil kebijakan, dan
membangun nilai-nilai yang mampu
berdiri kokoh
di tengah kisaran zaman. Tak terkecuali dengan gereja.
Sebaik-baiknya gereja di masa lalu dalam menata sistem,
mengelola ibadah, merumuskan metode-metode pendidikan kristiani dan menjalankan
pola kepemimpinan, perubahan yang ada menuntut gereja untuk berani membuka
diri, mengadakan pembaruan-pembaruan dengan kreatif dalam berbagai aspek dan
menyesuaikan diri secara kontekstual dengan situasi serta tuntutan yang ada
agar gereja tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh anggota-anggotanya. Bukan
berarti gereja hanyut begitu saja dan menyerap semua perubahan, melainkan gereja
mampu bersikap reflektif-kritis atas setiap perubahan untuk membangun jemaat
Tuhan. Apabila gereja berhenti dan
berpuas diri, maka statemen yang dimunculkan Eddie Gibbs menjadi sebuah
peringatan : “Gereja-gereja yang gagal
membaca dan menafsirkan tanda-tanda zaman beresiko menghadapi masa depan yang
suram” (Gibbs, 2012 : 3).
Ketika dunia dan pola kehidupan manusia berubah, maka
tak pelak gerejapun menghadapi tantangan sekaligus tuntutan untuk mengalami
pembaharuan. Bahkan jauh sebelum pergeseran dan ragam perubahan
menjamah gereja, teks Alkitab telah menunjukkan data-data sahih tentang
kemungkinan penciptaan dan pembaruan dalam berbagai dimensi kehidupan manusia,
tak terkecuali perubahan dan pembaruan dalam tata hidup komunal maupun dalam pola
kepemimpinan. Sebagai contoh, pola kepemimpinan Musa telah mengalami perubahan
paradigma dari model kepemimpinan “strong
and powerfull leadership” kepada “sharing
leadership” . Hal ini merupakan tonggak penting bagi para pemimpin untuk
melihat fleksibilitas dalam kepemimpinan. Krisis kepemimpinan dalam gereja
seringkali terjadi bukan semata-mata karena ketidakmampuan para pemimpin
mengalami perubahan dan pembaharuan, melainkan karena ketidakmauan dan
ketakutan untuk keluar dari zona kenyamanan. Baik kenyamanan yang terbentuk
oleh situasi yang stabil, tertata dalam keteraturan dan mudah di prediksi
maupun kenyamanan atas kekuasaan yang melekat pada pola kepemimpinan lama
sebagai “pusat segalanya”. Perubahan memang berarti gejolak, dan gejolak
seringkali tampil dalam wajah ketidakpastian. Inilah yang melahirkan keraguan
dan ketakutan untuk melangkah, dan akhirnya para pemimpin lebih memilih
kestabilan meskipun berdampak “kematian”
baik pada diri pemimpin maupun komunitas jemaat yang dipimpinnya.
“Kematian” pada diri pemimpin gereja nampak dalam
berbagai bentuk, misalnya hilangnya sukacita dalam pelayanan dan terjebak dalam
rutinitas yang stagnan, kemalasan mengembangkan kreatifitas, hilangnya kekuatan
otoritas untuk mengatasi persoalan, pudarnya hasrat memelihara dan
mengembangkan spiritualitas pribadi maupun komunal, terkontaminasi oleh
kepahitan dan kekecewaan yang berdampak
stress dan mudah curiga dengan rekan pelayanan atau jemaat. Akibatnya
kalau tidak angkat kaki meninggalkan pelayanan, maka pemimpin tersebut akan
meringkuk tanpa daya “seperti landak
tanpa duri” (Gibbs, 2012:17) hingga emiritus organisasi maupun “emiritus alami” datang menjemput.
“Kematian”
dalam komunitas pun dapat terjadi sebagai dampak “kematian” peran pemimpin. Kenneth Cloke dan Joan Goldsmith membahasakan
“kematian komunitas” itu dengan
istilah “zombification dan pengerdilan”
(Gibbs, 2012:16). Zombification merujuk
pada kondisi ketika gereja nampaknya masih bergerak dan beraktivitas namun di
dalamnya tidak ada gairah/vitalitas/kehidupan sedangkan Pengerdilan menyiratkan makna pertumbuhan yang tidak dialami oleh
gereja sekalipun sudah bertahun-tahun gereja tersebut ada dan “dipelihara”. Tak
ubahnya tanaman bonsai yang kerdil dan tidak mengalami pertumbuhan “… menjadi lebih besar dari pada segala
sayuran yang lain dan mengeluarkan cabang-cabang yang besar, sehingga
burung-burung di udara dapat bersarang dalam naungannya." (Markus
4:32). Dengan makna senada, John Cobb membahasakan “kematian” dalam komunitas dengan istilah “kesuaman” (lukewarmness),
yaitu ketika gereja tidak lagi mengembangkan teologi dan hal ini menyebabkan
gereja gagal menjawab berbagai perubahan dan melakukan misinya di dalam dunia
(Hadiwitanto, 2010 : 125)
Pdt.Eka Darmaputera menggambarkan wajah “kematian komunitas” sebagai kenyataan ketika
gereja tertimbun dalam “rutinisme,
formalisme dan verbalisme” (Darmaputera,2005:32). Rutinisme yang dimaksud
adalah ketika gereja bergerak secara mekanis menjalankan apa yang rutin dari
waktu ke waktu namun tanpa penghayatan, semangat dan terobosan. Ibadah hanya
menjadi rutinitas yang membosankan, tanpa gairah dan kreatifitas, tidak membawa
jemaat dalam perjumpaan dengan Tuhan yang mampu mengubah kehidupannya, dan
tidak lagi sesuai dengan perubahan zaman. Inilah salah satu faktor yang mengakibatkan
beberapa gereja main-stream mulai di tinggalkan oleh jemaat, khususnya kaum
muda usia 35 tahun ke bawah. Metode pembelajaran Firman Tuhan melalui
pendidikan kristiani juga bersifat monolog melalui khotbah dan tidak
menginspirasi jemaat untuk menemukan kekayaan Firman melalui pendekatan
spiritualitas yang menyentuh aspek kognitif, afekstif dan aktif. Sisi
kreatifitas yang Tuhan anugerahkan kepada manusia sejak penciptaan tidak
berkembang dengan baik, meskipun manusia pada dirinya sendiri sadar adanya
hal-hal yang membutuhkan pembaruan.
Sistem pengelolaan bergereja dan pelayanannyapun
cenderung formalisme, dalam arti segala sesuatu hanya bisa berjalan secara
resmi, sah, sesuai ketentuan yang ada, apapun kondisi dan situasinya. Gereja
tidak lagi peka dan kreatif menanggapi panggilannya atas hidup kemanusiaan.
Pola seperti ini jelas tidak sejalan dengan spiritualitas Yesus yang
digambarkan cukup radikal oleh Albert Nolan sebagai pribadi yang “bebas melanggar hukum setiap kali menaati
hukum berarti membahayakan manusia kerena melakukan yang buruk terhadap
orang-orang yang tidak pernah menjadi maksud dari hukum” (Nolan, 2009:94).
Aturan dan formalitas memang penting namun tidak boleh mengorbankan orang. Yang
penting bagi Yesus adalah orang dan kebutuhannya. Jika harus memilih mana yang
harus dikorbankan, Yesus memilih mengorbankan hukum dan aturan formal. Artinya,
Yesus sangat terbuka dengan konteks jaman dan kebutuhan, dan tidak terbelenggu
oleh pola kerja dan aturan sekiranya hal tersebut justru menjadi penghalang
bagi pelayanan. Sikap Yesus ini dapat di sebut juga “Politics of Compassion” (Kebijakan Bela Rasa) yang kadang
berhadapan dengan “Politics of Holiness/Purity” yang menekankan kekudusan melalui
ketaatan pada normat, aturan, hokum danm ragam kebijakan.
Verbalisme juga menjadi wajah “kematian” gereja dan pemimpin. Hal ini terjadi ketika gereja dan
para pemimpinnya yang cukup gigih membahas segala sesuatu, menyita banyak
waktu, tenaga dan dana namun tidak ada tindak nyata. Segala pemikiran dan
pembahasan hanya berhenti sebatas keputusan yang tertuang di atas kertas. Segala
sesuatu seolah dapat selesai dengan sendirinya hanya karena telah dibicarakan
dan diucapkan namun dalam realita tidak ada tindakan apapun. Gereja sebagai
lembaga spiritualitas lalu menjadi timpang, karena penekanan yang berlebihan
pada aspek kognitifnya namun tidak melakukan refleksi yang berbuah pada aksi
yang aktif. Dunia yang dilanda berbagai perubahan yang membuat orang kehilangan
arah dan identitas membutuhkan peran dan kehadiran yang nyata dari gereja dan
para pemimpinnya untuk memberikan rasa, arah dan jawaban. Verbalisme hanya
menghadirkan gereja dalam ke-ekslusifannya namun tidak di rasakan dampak garam
dan terangnya dalam masyarakat.
Di amati dari bingkai pembangunan jemaat pada masa
kini, nampak juga ragam ketimpangan yang menunjukkan bahwa gereja belum siap
menyikapi perubahan dalam masyarakat. Di tengah-tengah kondisi masyarakat yang
mengalami kesulitan ekonomi, ada gereja yang menghambur-hamburkan uang dengan
membangun gedung gereja yang semakin tinggi dan megah. Gereja dalam hal ini
belum menjalankan fungsi positif, kritis dan realistis dalam perkembangan
masyarakat. (Darmaputera 1989, p.54). Di antaranya derasnya arus dunia digital,
ada gereja yang menelan begitu saja segala dimensi modernitas dan menata
ibadah-ibadah kontemporer bak panggung entertainment dengan segala kemewahan
dan selebritasnya, sementara ada juga gereja yang terlalu konservatif dan
menolak segala hal yang berbau tekhnologi. Di antara sikap-sikap antipati yang
menyudutkan dan menghancurkan gereja dari kalangan ekstrim non-kristen, ada
gereja-gereja yang menyikapi dengan menggelar KKR akbar, penyembuhan ilahi
dengan panggung spektakuler di lapangan terbuka, sementara di kalangan gereja
inter-denominasi juga terjadi persaingan tidak sehat dalam perebutan jemaat.
Akibatnya ada gereja yang bertumbuh pesat dalam kehadiran jemaat, namun ada
juga gereja yang ditinggalkan jemaatnya. Ironisnya, pertambahan jemaat tersebut
sebenarnya identik dengan perpindahan jemaat. Seringkali tolok ukur kemajuan
dan pertumbuhan gereja lalu di pahami sebatas jumlah anggota yang makin banyak,
ibadah yang dihadiri banyak orang, persembahan yang besar, padatnya kegiatan
dan gedung ibadah yang megah. Pada kenyataannya, kemerosotan kehidupan internal
gerejawi lebih merisaukan daripada kemerosotan fungsi gereja di tengah
masyarakat (van Kooij,2010:4).
Albert Nolan cukup menghentak kesadaran bahkan
menjungkirbalikkan pemahaman ketika menyatakan bahwa saat ini ada banyak orang
kristen dan gereja Tuhan – dalam
aspek-aspek tertentu – tidak sejalan dengan Yesus (Nolan,2009:15). Di
tengah konteks zaman yang menuntut gereja dan pemimpin untuk kreatif dan
terbuka bagi perubahan, bagaimanapun juga gereja/pemimpin haruslah tetap mengacu
dan berakar pada Yesus. Berjalan pada “jalan Yesus” dan bukan pada jalan dunia,
jalan tradisi iman maupun jalan para tokoh spiritual dunia lainnya.
Keprihatinan ini mendorong gereja dan para pemimpin
untuk berani mendefinisikan ulang model kepemimpinan itu sekaligus menantang para
pemimpin gereja untuk melakukan perubahan sikap, baik secara pribadi maupun dalam
hidup berjemaat, baik dalam spiritualitas maupun dalam gaya kepemimpinan
mereka. Ketika gereja menumpukan diri pada kepemimpinan terpusat maka dampaknya pun akan terlihat
dari keterbatasan kreatifitas. Peran pemimpin
memang sangat menentukan, namun perkembangan ilmu pengetahuan – khususnya tekhnologi informasi – membuka
kesadaran adanya banyak area yang tidak terjangkau oleh satu orang atau
sekelompok orang tertentu. Pemberdayaan jemaat akan memungkinkan bangkitnya
kreatifitas dan potensi jemaat untuk menggapai ranah-ranah kreatifitas dan
pembaruan yang dapat berdampak positif bagi pembangunan jemaat. Gereja perlu
memahami bahwa kepemimpinan merupakan suatu nilai yang menembus ke seluruh
komunitas dan mampu merangkul banyak anugerah umat agar dapat memimpin gereja
ke masa mendatang. Model kepemimpinan yang terbuka atas perubahan dan mampu
memberdayakan jemaat seperti inilah yang dapat disebut kepemimpinan
transformatif.
Sebagai sebuah gereja, GKMI Ebenhaezer juga tidak
kebal terhadap perubahan. Bahkan gereja ini terlahir sebagai dampak perubahan
dan krisis kepemimpinan yang mengakibatkan pemisahan diri dari gereja asal.
Kenyataan tersebut mendorong pemikiran dan upaya untuk membangun model
kepemimpinan yang mampu merangkul jemaat
sekaligus membangkitkan dan menyatukan segala potensi yang ada menuju gereja
yang hidup, dewasa dan mandiri. Kepemimpinan transformatif merupakan model
kepemimpinan yang diharapkan mampu menjawab kebutuhan tersebut.
2. Persoalan
Dan Tantangan Kepemimpinan Gereja Masa Kini
Sebagai seorang pemimpin yang telah memimpin lebih
dari 30 tahun pada “Willow Creek
Community Church” di Amerika Utara dan berhasil mengembangkan jemaat dari “segelintir orang menjadi kekuatan Kerajaan
Allah yang tersebar di seluruh dunia”, Rev.Bill Hibels mengamati dan
menyatakan bahwa “Di balik setiap
pelayanan yang berhasil/berjaya selalu ada pemimpin yang berani dan
berorientasi melayani” (Hybels, 2004: 27). Vitalitas gereja yang berjuang
terletak pada pemimpinnya, yaitu pemimpin yang visioner ; berani dan mampu
menyebarkan karunia spiritual kepemimpinannya; mampu membangun tim yang
efektif, penuh kasih dan memiliki fokus yang jelas; dan berjuang terus menerus
untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan mereka ke tingkat berikutnya, tidak
perduli betapapun sulitnya.
Perkembangan gereja sangat dipengaruhi oleh
pemimpinnya. Beberapa fenomena persoalan dan tantangan yang muncul dalam
konteks kepemimpinan gerejawi di Indonesia, sedikit banyak memberikan gambaran
tentang kualitas kepemimpinan yang ada dan atmosfer kehidupan gereja yang
melingkupinya.
Persoalan dan tantangan bagi kepemimpinan gereja masa
kini antara lain :
1.
Orientasi nilai
budaya Indonesia yang tertuju vertikal ke atas (Koentjoroningrat, 1984:142) menyebabkan kepemimpinan cenderung berpola
hierarkis. Menurut teori elite kekuasaan Suzanne Keller yang di dukung oleh
C.Wright Mills, pemimpin hierarkis berada di puncak piramida kekuasaan
(Budiarjo,1984:22-23). Kepemimpinan dilaksanakan berdasarkan kekuasaan dan
otoritas yang dimiliki, baik dengan cara force/tekanan maupun persuasi. Pola
ini menempatkan pemimpin sebagai “pusat
segalanya”. Jaringan kerja pada pola kepemimpinan hierarki lebih bersifat
formal daripada sebagai tim kerja, karena yang terjadi lebih banyak
kepemimpinan tunggal sementara “anggota tim” hanyalah pelaksana.
Kepemimpinan
seperti ini menimbulkan persoalan bagi sang pemimpin sendiri maupun bagi gereja
yang dipimpinnya. Pemimpin yang menanggung beban sendirian akan mengalami
kelelahan, keputusasaan dan kekeringan spiritualitas (Wuellner, 2012: 16).
Sehebat apapun seorang pemimpin, ia tidak akan sanggup menanggung segala hal
sendirian. Ia membutuhkan orang-orang yang turut memikul beban bersamanya,
saling berbagi dan menguatkan. Pada sisi lain, kepemimpinan seperti ini rentan
bagi munculnya penyakit “narsisisme”
sebagai konsekuensi alami kedudukannya (Hall,1992:57). Pada dirinya akan muncul
keyakinan bahwa hanya dia saja yang dapat mengambil keputusan dan didukung oleh
semua orang. Ia akan sulit melihat adanya potensi pada jemaat. Apabila dalam
satu gereja terdapat lebih dari satu pemimpin maka pola hierarki akan
memperkuat persaingan karena godaan berkuasa akan jauh lebih kuat.
Peter
Wiwcharruck, dalam bukunya “Christian
Leadership Development and Church Growth” berkata : “Bila sebuah jemaat
terkondisi untuk menerima tradisi bahwa seluruh wewenang dan tanggungjawab itu
semata-mata ada di tangan pendeta atau hanya di tangan satu kelompok eksklusif
di lapisan puncak, maka hampir dipastikan akan terjadi ini : 80 % warga jemaat,
lambat atau cepat, akan mengalami situasi spiritual yang suam, pasif dan apatis.
10 % menanggapinya dengan positif; sedangkan 10 % sisanya akan mengabaikan sama
sekali kepemimpinan yang ada. Mereka akan mencari jalan mereka sendiri. Tidak
jarang mereka tersesat dan menemui kesulitan serius “di tengah jalan”
(Darmaputera, 2005 : 32) .
Henry
J.M.Nouwen berpendapat bahwa “gerak kepemimpinan kristiani bukanlah naik
melainkan gerak turun yang akan membawanya sampai ke salib”. Kepemimpinan
tidaklah mengandalkan kekuasaan dan kekuatan, tetapi kepemimpinan yang tanpa
daya dan rendah hati (Nouwen,1993:92)
2.
Pada umumnya
para pemimpin gereja (pendeta) memasuki pelayanannya pada sebuah gereja yang
telah terstruktur begitu rupa dengan sistem yang sudah jelas dan terpelihara
bertahun-tahun lamanya. Akibatnya para pemimpin cenderung beradaptasi dengan
apa yang sudah ada, menyukai status quo
lebih daripada hasrat untuk melakukan perubahan. Gerejapun berjalan stagnan
seolah tanpa jiwa, mengalir begitu saja dari waktu ke waktu tanpa ada
perkembangan atau perubahan yang berarti. Orangpun terbangun dengan mental
models “biasanya begini, dari dulu juga
sudah begitu” sebagai penolakan atas perubahan. Kreatifitaspun akan “terberangus” karena dalam kreatifitas
senantiasa tersimpan kemungkinan perubahan, sementara di balik perubahan
tersimpan kemungkinan pertentangan, dan dibalik pertentangan senantiasa terbuka
kemungkinan penolakan (baca : pemecatan). Pemimpin tidak lagi memiliki fungsi
kepemimpinan sebagai “pengendali, penggerak, pendorong dan pengubah”
(Darmaputera 2005:15), hanya menjadi pemimpin “boneka” atau pemimpin di atas
kertas.
3.
Percepatan dunia
yang diakibatkan ledakan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi,
khususnya komunikasi dan informasi menghembuskan perubahan yang cepat dan
radikal dalam berbagai aspek yang berdampak pada transformasi yang luas dalam
peta kehidupan manusia. Gereja tidak jarang berada dalam kebingungan arah
bahkan kebingungan spiritual. Fenomena “chaos” ini nampak misalnya dalam
kegandrungan mengejar kepuasan rohani melalui sesuatu yang sifatnya
sensasional, supranatural dan bangkitnya fundamentalisme; sementara pada
ekstrim yang berbeda mengarah pada pluralisme, liberalisme dan universalisme
yang merelatifkan iman, mencabut keilahian Kristus dan kewibawaan Alkitab. Imbas dari kebingungan spiritual ini
membawa jemaat dalam keadaan bertanya dan mencari, sehingga tidak jarang mereka
terjebak ke dalam “jalan yang disangka
lurus tetapi ujung-ujungnya menuju maut” (Ams 14:12).
Dalam
masa-masa chaos seperti ini, Warren
Bennis mengatakan bahwa orang-orang tersebut menginginkan arahan, kepercayaan dan
harapan dari para pemimpin (Gibbs 2012:68). Yaitu pemimpin yang mampu
memberikan visi yang jauh melebihi masa kini, menyodorkan skenario alternatif
yang dapat mengatasi ancaman dan menghadirkan pemulihan. Dengan demikian,
pemimpin dituntut bukan hanya tanggap atas dinamika kebutuhan dan pergumulan
jemaat melainkan juga dituntut untuk mengenal dan menemukan jawaban alternatif
atas segala isu, dampak perubahan dan pengajaran yang berkembang. Pemimpin
dituntut untuk tidak berhenti pada tingkat pengetahuan, ketrampilan dan
mentalitas-iman spiritual yang saat ini dimilikinya.
Namun
celakanya banyak pemimpin yang tidak cukup bertumbuh dalam hikmat menghadapi
gejolak perubahan zaman, dan justru ikut terjebak dalam kebingungan yang sama,
sehingga mungkinkah “orang buta menuntun
orang buta”? (Mat 15:14) Keprihatinan yang cukup kuat pada masa kini adalah
ketika pemimpin-pemimpin gereja sedemikian hanyut dengan kesibukan sehingga
mengabaikan pertumbuhan spiritualitas pribadi. Bagaikan sebuah pohon, seorang
pemimpin perlu memberikan waktu bagi pertumbuhan spiritualitasnya agar ia
memiliki akar yang kuat dan batang yang teguh, sehingga ia mampu hadir di
tengah kegelisahan jemaat dan menjadi tempat berpegang yang kuat. Bagaikan mata
air, pemimpin harus mencegah agar dirinya tidak mengalami kekeringan
spiritualitas agar dapat memuaskan kehausan spiritualitas jemaat. “Gereja setempat adalah harapan dunia dan
masa depannya terletak di tangan para pemimpinnya” (Hybells,2004:28)
demikian slogan yang berulang kali di serukan Hybells untuk mengingatkan
peranan gereja dan pemimpin dalam menanggapi dampak perubahan dan menjawab
pergumulan. Jika gereja dan para
pemimpin sudah tidak lagi mampu menjadi tumpuan harapan dan kehilangan
kepercayaan jemaat maka gereja dan pemimpin sudah kehilangan hakekat
panggilannya. Kualitas kepemimpinan seorang pemimpin ditentukan oleh kepekaan
serta kemampuannya untuk melakukan apa yang tepat, pada saat yang tepat, dengan
cara yang tepat (Darmaputera, 2005:17). Minat dan komitmen untuk bertumbuh,
belajar dan mengembangkan potensi yang dimilikinya nampaknya masih sangat
kurang disadari oleh para pemimpin gereja
masa kini.
4.
Persoalan dan
tantangan lain yang dijumpai dalam kepemimpinan gereja masa kini juga nampak
dari fakta teralienasinya kaum awam dalam gelanggang pelayanan. Meskipun gereja
memiliki banyak anggota dan berlimpah sumber daya manusia (SDM) namun kerapkali
dijumpai barisan “pengangguran kaum awam” yang mengindikasikan bahwa gereja kurang
memberikan perhatian serius bagi pemberdayaan jemaat atau kurang melibatkan
jemaat secara aktif. Kepemimpinan konvensional masih berkutat pada orang-orang
yang sama dalam kurun waktu yang lama. Regenerasi kepemimpinan berada pada
titik terendah. Jemaat ditempatkan (dan
lebih suka menempatkan diri) menjadi penonton daripada pemain, pasif
daripada aktif, pengikut daripada pemimpin. Akibatnya tingkat mobilitas gereja
menjadi kecil, lemah dan stagnan.
Demokratisasi
(kebangkitan kaum awam) akan menjadi kekuatan luar biasa bagi pembangunan
jemaat jika gereja mampu membangun sinergi yang memadukan semua kekuatan dan
potensi jemaat. Tetapi demokratisasi juga berpotensi memunculkan iritasi dan
friksi jika tidak diimbangi dengan pemberdayaan yang memadai. Di sinilah
kepemimpinan harus mampu merangkul dan membekali jemaat dengan pendidikan yang
seimbang antara aspek kognitif, afektif dan aktif dalam gerak pertumbuhan dan
pelayanan. Dengan demikian jemaat akan menyadari dirinya sebagai bagian dari
komunitas yang berharga dan dapat berkontribusi di dalamnya.
Dengan mencermati persoalan dan tantangan tersebut,
nampak bahwa kepemimpinan gereja berada pada titik kritis yang dapat
mengakibatkan kemerosotan dalam pertumbuhan gereja dan pemenuhan panggilan
pelayanan ditengah-tengah dunia. Krisis kepemimpinan seperti ini akan berdampak
bagi krisis pengikut, dan krisis pengikut akan berdampak bagi kepemimpinan masa
depan.
KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF
1. Mengkaji Definisi Kepemimpinan
Tak terhitung banyaknya usaha telah dilakukan para
ahli untuk mendefinisikan kepemimpinan. Pdt.Eka Darmaputera mendefinisikan
pemimpin adalah mereka yang membuat “sesuatu” terjadi, They make things happen (Darmaputera,2005:13). Mereka berhasil menembus kebekuan sehingga
sejarah tidak lagi bisa berjalan “biasa” seperti sebelumnya. Eddie Gibbs
mengumpulkan ragam definisi antara lain dari J.Robert Clinton (Leadership Emergency Theory) bahwa
“Seorang pemimpin Kristen adalah seorang yang mendapat kapasitas dan
tanggungjawab dari Allah untuk memberi pengaruh kepada sekelompok umat Allah
tertentu untuk menjalankan kehendak Allah bagi kelompok tersebut”. James Kouzes
dan Barry Posner (The Leadership
Challenge) : “Kepemimpinan bukanlah milik pribadi dari beberapa orang yang
memiliki kharisma. kepemimpinan adalah proses yang digunakan oleh orang-orang
biasa ketika mereka memberikan apa yang terbaik dari diri mereka dan dari orang
lain. Kepemimpinan adalah kapasitas anda untuk menuntun orang lain ke tempat
yang belum pernah mereka (dan anda) datangi”, Steven Bernstein dan Anthony
Smith (The Puzzle of Leadership)
mengatakan “Kepemimpinan saat ini dipahami banyak orang untuk mengacu pada
tindakan kolektif, dirancang dengan suatu cara agar membawa perubahan yang
signifikan sembari meningkatkan kompetensi dan motivasi dari semua yang
terlibat – tindakan dimana lebih dari satu individu memengaruhi proses”,
sedangkan Robert Banks dan Bernice M.Ledbetter (Reviewing Leadership) berkata “Kepemimpinan melibatkan orang,
kelompok atau organisasi yang menunjukkan jalan dalam aspek kehidupan – dalam
jangka waktu singkat maupun panjang – dan dengan demikian, akan memengaruhi
bahkan memberdayakan cukup orang untuk membawa perubahan terhadap aspek
kehidupan tersebut. Walter Wright (Relational
Leadership) melengkapi “Kepemimpinan adalah sebuah hubungan – sebuah
hubungan di mana satu orang mencoba memengaruhi pemikiran-pemikiran,
perilaku-perilaku, kepercayaan-kepercayaan atau nilai-nilai orang lain
(Gibbs,2012:19-22).
Mencermati definisi tersebut nampak bahwa kepemimpinan
bukanlah soal posisi, status atau jabatan yang olehnya seseorang dapat
menggerakkan pengikut. Posisi tidak mencetak pemimpin, justru sebaliknya
kepemimpinan dapat membuka jalan menuju posisi/status atau jabatan tertentu.
Kepemimpinan juga bukan semata soal intelektual/pengetahuan, meskipun sudah
sering pameo “Knowledge is power” diucapkan.
Pengetahuan memang menjadi elemen utama kepemimpinan namun bukan menjadi
jaminan bahwa tingkat intelektualitas akan menentukan kualitas kepemimpinan.
Kepemimpinan juga berbeda dengan managemen. Ted W.Engstrom memodifikasi ulang
paparan Olan Hendrik untuk membedakan keduanya (Engstrom,tt:20) :
Leadership is quality, Management is a science and an
art.;
Leadership provides vision; Management supplies
realistic perspectives;
Leadership deals with concepts; Management relates to
functions;
Leadership exercises faith; Management has to do with
fact;
Leadership seeks for effectiveness; Management strives
for efficieny;
Leadership is an influence for good among potencial
resource; Management is the coordination of available resource organized for
maximum accomplismenth;
Leadership provides direction; Management is concerned
about control;
Leadership thrives on finding oppurtunity; Management
succeeds on accomplishment
Meskipun definisi tersebut dilakukan dengan berbagai
pendekatan, baik dengan teori sifat, perilaku, kontinum, situasional dan
sebagainya namun ragam pendefinisian tersebut bermuara pada satu pengertian
yaitu bahwa “Kepemimpinan berpaut-erat
dengan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain kepada suatu tujuan”.
Persoalannya apakah pengaruh itu dinyatakan melalui kekuatan yang menekan
(force) ataukah meyakinkan (persuasion), berdasar otoritas-formal ataukah
legitimasi-informal, kepatuhan membuta ataukah kesadaran, itulah yang
membedakan bagaimana kepemimpinan itu dijalankan. Menurut Hall, ketaatan
pengikut terhadap pemimpin sebenarnya
telah mengalami pergeseran. Pada masa lalu ketaatan berarti melaksanakan apa
yang diperintahkan, namun pada masa kini ketaatan berarti konsensus, yaitu
ketika pemimpin dan pengikut terampil berbagi dan saling mendengarkan lalu
mencapai keputusan bersama (Hall,1992:58).
Dari pemahaman terakhir nampak bahwa kepemimpinan pada
masa sekarang ini seharusnya sudah memasuki ranah keterbukaan dan bukan
eksklusif-instruksional. Kepemimpinan bertujuan untuk mendukung orang/kelompok
dan menolong mereka untuk menjalankan tugasnya dan bukan untuk mendiktekan apa
yang harus mereka jalankan (Hendrik, 2006: 68). Namun realita kepemimpinan
seringkali masih berbeda sehingga muncul ragam persoalan dan tantangan
sebagaimana tersebut di atas. Dalam konteks bergereja, gaya kepemimpinan
hierarkis yang mengandalkan kekuasaan dan otoritas sudah tidak pada tempatnya
di terapkan dan harus ditinggalkan. Gereja adalah komunitas sukarela yang makin
berkembang dengan wawasan, informasi dan kreatifitas. Ada banyak area yang
tidak terjangkau oleh pemimpin namun di kenal baik dan dikuasai oleh jemaat.
Dalam kondisi semacam ini, gaya kepemimpinan yang lebih tepat bukanlah gaya
kepemimpinan yang menekan melainkan membebaskan, bukan instruksi tapi diskusi,
bukan mengandalkan karakteristik individual melainkan kemampuan organisasi,
bukan mengendalikan melainkan memberdayakan.
Bornemann menyebut gaya ini “bukan otoriter tetapi kooperatif”, perbedaannya jelas : Gaya
otoriter menempatkan referensi pada jabatan; gaya kooperatif pada rundingan
bersama.; otoriter membangun jarak dan hierarkis; kooperatif membangun
kedekatan dan susunan datar ; otoriter mengutamakan anggota yang patuh, taat
dan disiplin; kooperatif mengutamakan karakter yang kuat dan menghargai orang
yang bebas dan dewasa pikirannya ; otoriter mengakibatkan pengikut kurang
dimengerti dan dihargai, merasa diperas dan tangan terikat; kooperatif
mengakibatkan pengikut merasa dihargai dan dimengerti sebagai person ; otoriter
membangun iklim yang penuh ketegangan, bahaya kecurigaan satu sama lain dan
pembentukan klik; kooperatif bertendensi ke arah kepercayaan, kesatuan, intern
dan harmoni ; Gaya otoriter tidak membangun kemandirian dan tanggung jawab
sehingga harus mengandalkan otoritas jabatan; gaya kooperatif menghasilkan
kemandirian dan tanggung jawab sehingga memberikan peneguhan dan pembenaran
kepercayaan kepada pemimpin (Hendrik,2006:76-77).
Dalam bahasa Lipman-Blumen, kepemimpinan harus
bergerak dari model kepemimpinan transaksional ke model transformasional
(Gibbs,2012:29). Kepemimpinan transaksional memiliki kesepakatan tahu sama tahu
antara pemimpin dan pengikut. Terjadi transaksi dimana pemimpin akan menukarkan
apa yang dibutuhkan pengikutnya untuk memperoleh apa yang dibutuhkannya.
Pemimpin transaksional memiliki satu tujuan dan para pengikutnya memiliki
tujuan yang lain (Wofford,2011:8), sedangkan kepemimpinan transformatif
terjalin dalam koneksi karena memiliki tujuan dan visi yang dihidupi bersama,
di dalamnya terdapat penghargaan dan kepercayaan, serta ruang yang terbuka
untuk pemberdayaan dan perubahan.
2. Kepemimpinan Transformatif
Andrew
Carnegie pernah menyatakan bahwa “Tidak seorangpun bisa menjadi pemimpin yang
hebat bila ia melakukan semuanya sendirian, atau memperoleh semua pujian karena
melakukannya” (Cole,2011:1). Pernyataan ini benar, karena sangat mustahil
seorang pemimpin melakukan semua hal dengan kekuatan, kemampuan dan
ketrampilannya sendiri. Itulah salah satu alasan fundamental mengapa
kepemimpinan harus berlandaskan tim daripada usaha individu. Salah satu
penyebab terjadinya kekeringan spiritual pada pemimpin dan berdampak pada
kepemimpinan dan karakternya adalah ketika ia mengerjakan semuanya sendiri.
Kepemimpinan dalam gereja adalah sebuah tindakan kolektif dan relasional dengan
nilai-nilai dan visi yang menyerap hingga ke seluruh komunitas. Eddie Gibbs
menegaskan “Kemajuan era informasi
menggarisbawahi perlunya melihat kepemimpinan sebagai sebuah fungsi tim,
mengenal kontribusi-kontribusi tersendiri dari setiap anggota tim berdasarkan
kepribadian, talenta dan pengalaman mereka” (Gibbs,2012:45). Di sinilah
kepemimpinan transformatif menempatkan diri. Ide dasar kepemimpinan
transformatif adalah kepemimpinan yang mampu menggerakkan orang dan
menghadirkan perubahan.
Kepemimpinan transformatif ini membebaskan pemimpin
dari kekuasaan bergaya otoriter kepada gaya kooperatif; dari hierarki ke
jaringan yang fleksibel, responsif dan memberdayakan; dari self-oriented kepada
people-oriented, dari kepemimpinan tunggal kepada kepemimpinan tim. Tim yang di
bentuk pun lebih dari sekedar bekerja sama, melainkan menjalani hidup dalam
keterkaitan yang mendalam bersama satu sama lain saat melayani bersama (Hybells,2004:87).
Sebuah tim yang efektif, penuh kasih, memiliki fokus/visi yang jelas dan
terbangun dalam kedekatan/keakraban yang intens dan saling melengkapi antar
anggota. Didalamnya terjadi sebuah “...
Proses di mana orang terlibat dengan orang dan menciptakan hubungan yang
meningkatkan motivasi dan moralitas dalam diri pemimpin dan pengikut.”(Northouse,2013:176).
Seorang pemimpin transformatif memiliki ciri-ciri yang
positif, antara lain mampu menyatukan tujuan bersama yang melukiskan
nilai-nilai, motivasi, keinginan, kebutuhan, aspirasi dan harapan mereka.
Perbedaan dalam tim dihargai dan tidak dilihat sebagai ancaman melainkan
sebagai kekayaan yang dapat dikembangkan bersama untuk saling memperkaya.
Justru dalam perbedaan tersebut, pemimpin akan melakukan negosiasi dan
menciptakan aliansi-aliansi jangka pendek berdasarkan konsensus dan kompromi
yang sehat. Para pemimpin transformatifpun akan berusaha meningkatkan perilaku
moral pada level yang makin tinggi pada anggota sekaligus juga pada dirinya sendiri.
Faktor-faktor penting bagi kepemimpinan transformatif (bdk.Northouse,2013:181-3)
a.
Pemimpin
transformatif memiliki pengaruh ideal (idealized
influence). Ia patut di ikuti dan di teladani karena memberikan pengaruh
yang ideal dalam membangun kepercayaan, mengarahkan pada tujuan, memiliki
komitmen, visi dan sence of mission
yang jelas. Bukan hanya terbatas pada kata-kata, pengetahuan dan kebijakan
melainkan juga pada karakter pribadi yang terlihat dan dapat di baca orang
lain. Seorang pemimpin harus memiliki karakter sebagai orang yang dapat
dipercaya (trustworthiness),
bijaksana (prudence), berpihak pada
kebenaran (truthfulness) dan memiliki
integritas (integrity) (Trull &
Carter,2012:8). Dalam buku “Success Through
Character”, Jakoep Ezra mengatakan bahwa “Kekuasaan dapat menghantar seseorang
menggapai puncak, tapi hanya karakter yang dapat membuat seseorang bertahan di
puncak”(Ezra, 2009: ix).
b.
Pemimpin
transformatif mampu memberikan motivasi yang menginspirasi (inspirational motivation)
anggota/pengikutnya. Pemimpin transformatif mengkomunikasikan visi yang ia
miliki dan memotivasi pengikut untuk menjadi bagian dari visi bersama
komunitas. Ia pun mampu memberikan motivasi yang memberikan inspirasi untuk
mencapai standar/kualitas hidup yang lebih tinggi, optimis dan antusias untuk
membangkitkan semangat kelompoknya.
c.
Pemimpin
transformatif mampu memberikan rangsangan intelektual (intellectual stimulation) kepada anggota/pengikutnya sehingga
analisa masalah, brainstorming ide dan proses pembelajaran makin hidup.
Pemimpin transformatif akan menjadi pemimpin yang inspiratif, yang bukan hanya “merangkul” tapi juga
“menyertakan” orang lain agar berkembang menjadi lebih terbuka dalam
mengutarakan ide-idenya dan men-stimulasi kemampuan intelektual mereka sehingga lebih kreatif , inovatif dan kritis pada nilai
hidup mereka sendiri dan
relevansinya dengan visi bersama
(Gibbs,2012:176).
d.
Pemimpin
transformatif mendorong/membangun kemampuan dan mengupayakan pengembangan
karier pengikutnya. Ia mampu membangun hubungan yang saling bergantung dan
memperlakukan orang lain sebagai individu (individual
consideration) yang dihargai dan di dengar aspirasinya (Gibbs,2012:194).
Pemimpin transformasional pada hakekatnya adalah
pemimpin yang memberikan pengaruh positif dan mendatangkan perubahan (agent of change) bagi komunitasnya
sebagai organisasi maupun bagi
individu-individu pengikutnya secara personal.
KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF DALAM ALKITAB
1. Perjanjian
Lama : Kepemimpinan Transformatif Musa
Bukan hanya pemimpin masa sekarang yang dapat
dihempaskan oleh kelelahan, Musa sebagai pemimpin terbesar dalam Perjanjian
Lama juga menghadapi persoalan tersebut Kharisma kepemimpinan Musa memang luar
biasa sehingga umat Israel rela antri dari pagi sampai petang untuk meminta
petunjuk dan Musa menghadapi semua itu sendirian (Kel.18:13). Justru gaya
kepemimpinan tunggal Musa inilah yang menyebabkan pelayanannya menjadi tidak
efektif. Ia tidak mungkin menjangkau dan menyelesaikan semua persoalan,
sekalipun kesungguhannya tidak perlu di ragukan. Akibatnya ia mengalami
kelelahan fisik, psikis dan spirit demikian juga dengan komunitas yang ia
layani (Kel.18:18). Terlalu banyak harga yang harus di bayar bagi kepemimpinan
tunggal sementara hasil yang di dapatkan tidak seimbang. Kelelahan akan
mengakibatkan penumpukan masalah, dan penumpukan masalah biasanya berkawan
akrab dengan frustrasi dan kekecewaan, yang kemudian berbuntut pada kejenuhan
dan stagnasi, bahkan secara komunal dapat memicu konflik.
Nasehat Yitro menghembuskan paradigma baru bagi
kepemimpinan Musa, yang menjadi cikal bakal kepemimpinan transformatif di zaman
modern. Sebuah gagasan cemerlang di cetuskan untuk membentuk kepemimpinan tim
(Kel.18:19-22). Faktor kepemimpinan
transformatif dimunculkan melalui berbagi kekuasaan, nilai-nilai , tanggung
jawab dan langkah-langkah pemberdayaan. Dengan demikian Musa tidak perlu
menangani semua sendirian, sehingga “… engkau
akan sanggup menahannya, dan seluruh bangsa ini akan pulang dengan puas senang
ke tempatnya” (Kel.18:23). Paradigma kepemimpinan Musa ini mengajarkan
prinsip-prinsip kepemimpinan yang mencakup : Menemukan, Merekrut dan Melatih
pemimpin bagi tugas kepemimpinan. Terjadilah pergeseran kepemimpinan dari
kepemimpinan tunggal kepada kepemimpinan tim, centering kepada synergizing,
single power kepada empowering.
Berbagi kepemimpinan dan pemberdayaan tidaklah
mengurangi kualitas dan otoritas seorang pemimpin. Justru sebaliknya, ia dapat
menggunakan otoritasnya dengan memberikan kesempatan bagi banyak orang untuk
memberikan kontribusi dan berdaya guna bagi komunitas yang dipimpinnya.
Pelayanan menjadi lebih efektif dan diperkaya. Banyak pemimpin yang tidak berani berbagi kekuasaan dan melakukan
pemberdayaan kepemimpinan karena kuatir akan melahirkan persaingan kekuasaan,
menggoyahkan kepastian kerja, adanya kemungkinan pergantian/tergusur, dan
penolakan terhadap perubahan (Maxwell, 2000:227-33). Di samping itu, dengan
pemahaman yang salah tentang peran kepemimpinan, tidak sedikit para pemimpin
gereja yang merasa bahwa sebagai pemimpin maka merekalah yang bertanggung jawab
atas semua hal . Padahal tidak pernah dijumpai klosula di gereja manapun yang
menggariskan hal ini. Seorang pemimpin transformatif adalah pemimpin yang
memberdayakan pemimpin-pemimpin baru, merangkul dan melibatkan dalam
kepemimpinan, memberikan peluang untuk berkontribusi bagi komunitas dan
kehidupan. “Lebih baik merangkul 1000
orang untuk bekerja daripada seorang diri menangani pekerjaan 1000 orang”,
kata DL.Moody.
Sejak zamannya, Musa telah menunjukkan bahwa
kepemimpinan “single fighter”
bukanlah gaya kepemimpinan yang tepat, terlebih ketika jumlah komunitas dan
inventarisasi masalah makin bertambah. Sehebat-hebatnya seorang pemimpin (dan
penulis rasa, langka sekali menemukan pemimpin sehebat Musa pada masa kini), ia
tidak akan memiliki cukup waktu, kekuatan dan potensi untuk menanggung semua
hal di atas bahunya. Hanya pemimpin berjiwa besar seperti Musa yang terbuka
untuk menyadari keterbatasan diri, membuka telinga untuk menerima saran/masukan
dan rela merombak pola kepemimpinan lama yang tidak lagi mampu menjawab
kebutuhan.
Penggalangan team-work tentu saja tidak boleh
mengabaikan pentingnya kualifikasi rohani sebagai diamanatkan dalam pola
kepemimpinan Musa (Kel.18:21). Bukan sekedar “asal ada yang mau”, melainkan dengan pertimbangan yang matang dan
menemukan adanya elemen-elemen kepemimpinan rohani yang mendukung. Jika tidak
demikian, justru akan memunculkan persoalan baru daripada meningkatkan
efektifitas yang hendak di capai. Kualifikasi rohani bagi pemimpin gereja harus
mendapat penekanan yang seimbang dengan kualifikasi lain seperti pengetahuan,
ketrampilan dan pengalaman. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari dimensi
ekklesiologis bahwa Gereja itu kudus sebagaimana Allah juga kudus. Kualifikasi
rohani (kekudusan) menjadi gambar utama sebuah gereja, karena itu harus di
topang juga dengan pemimpin-pemimpin yang memiliki kualifikasi rohani yang
memenuhi syarat. Tanpa kerohanian yang baik, hanya akan ditemukan
pemimpin-pemimpin yang handal dan cerdas namun tanpa hati. Kualifikasi rohani
bagi teamwork Musa adalah “orang-orang
yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang
benci kepada pengejaran suap”, di dalamnya nampak adanya kombinasi yang
kuat antara skill (kecakapan), spiritualitas (takut akan Allah), karakter
(dapat dipercaya) dan kebenaran (benci suap).
“Perubahan
bukanlah perubahan sampai terjadi perubahan”, demikian sebuah ungkapan yang
cukup populer. Musa melakukan perubahan dengan nyata. Sebagai pemimpin ia
menangkap kebutuhan transformasi kepemimpinan sebagai kemendesakan, dan ia
tidak ragu-ragu mengambil keputusan serta tidak mau menunda apa yang memang
bisa dilakukan dengan segera. (Kel.18:24-26). Kualitas kepemimpinan seorang
pemimpin ditentukan oleh kepekaan serta kemampuannya untuk melakukan apa yang
tepat, pada saat yang tepat, dengan cara yang tepat (Darmaputera,2005:17).
Seorang pemimpin transformatif bukan hanya sadar akan otoritas jabatan yang ia
miliki, namun juga tahu kapan dan bagaimana menggunakannya dengan tepat.
Perubahan hanya dimungkinkan terjadi ketika pemimpin berani melakukan tindakan yang
tepat, pada saat yang tepat dan dengan cara yang tepat, yaitu dalam jalinan
konektivitas dengan komunitas yang dipimpinnya. Perubahan sistem dalam
komunitas tidak dapat dilakukan sendiri melainkan harus di dukung oleh anggota
komunitas tersebut. Keprihatinan atas kepemimpinan masa kini adalah
kekurangpekaan untuk menangkap dan mensosialisasikan kemendesakan untuk
melakukan suatu perubahan. Hal ini semakin diperparah oleh mentalitas menunda
apa yang seharusnya bisa dilakukan dengan segera, dan ketidakberanian untuk
mulai melangkah dan melakukan perubahan dengan melibatkan jemaat.
Pembangunan Jemaat akan berhasil apabila anggota di
libatkan dan diberi kesempatan untuk mengaktualisasikan diri sesuai potensi
yang dimilikinya. Hal ini sangat
mencerminkan dimensi ekklesiologi Gereja sebagai tubuh, dimana setiap
orang/anggota diciptakan oleh Allah dengan potensinya masing-masing (I
Kor.12:18). Seorang konsultan pertumbuhan gereja, Win Arn menyatakan bahwa
rasio peranan yang dapat dilakukan jemaat adalah 60 : 100, artinya terdapat 60
peranan/tugas/pelayanan bagi setiap 100 anggota. Gereja dengan rasio rendah,
dimana pelayanan dan kepemimpinan hanya dipegang orang-orang tertentu akan
mengalami hambatan yang serius dalam pertumbuhannya (Arn,1987:10). Resiko yang
terjadi adalah lahirnya jemaat pasif atau “pengangguran
kaum awam”.
2. Perjanjian
Baru : Kepemimpinan Transformatif Tuhan Yesus
a. Pemimpin
Sebagai Pelayan (Servant)
Salah satu ciri kepemimpinan yang berprinsip (Principle Centered
Leadership) ialah kepemimpinan yang berorientasi pada pelayanan (Covey ,1997:30).
Tuhan Yesus pernah berkata : “Barangsiapa
ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan
barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi
hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk
melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang."
(Mat 20:26-28). Sebuah statemen radikal namun membebaskan para murid dari
disorientasi kepemimpinan. Bagi Yesus, kepemimpinan itu bukanlah soal posisi
atau kekuasaan melainkan sebuah pelayanan. Kekuasaan dipahami sebagai
partisipasi dan pelayanan (van Kooij,2010:102), bukannya berorientasi pada diri sendiri dengan
keinginan menjadi terbesar, terkemuka dan dilayani (Mat. 20:26; Mrk 10:43-44),
melainkan bertolak dari kesadaran dan kesediaan penuh untuk membaktikan hidup
bagi orang lain, sekalipun berkonsekuensi berat. Sebuah pengabdian hidup dalam
rangka pembebasan, pemberdayaan dan pengaktualisasian manusia. Ketika pemimpin
gereja lebih suka berdiam dalam zona nyaman yang berpusat pada kepentingan diri
maka gerejapun akan menjadi komunitas elit-eksklusif yang tidak mempunyai peran sosial sebagai
garam dan terang dunia. Jika ingin melihat perubahan terjadi, para pemimpin
harus bersedia mengorbankan kekuasaan, gengsi, dan bahkan profesi mereka untuk
membangun kehidupan Kerajaan Allah yang terbuka bagi semua orang dan melayani
semua orang (Cole,2011:71).
Karakteristik kepemimpinan Yesus sebagai Pelayan dinampakkan dalam
bentuk pelayanan, dukungan dan pemberdayaan. Yesus tidak berhenti pada tuturan
kata ideal melainkan dalam perilaku utama berupa keteladanan dan semangat
rendah hati. Seiring dengan pengajarannya mengenai kerendahan hati, Yesuspun
menampilkan diri-Nya “Aku ada di
tengah-tengah kamu sebagai pelayan” (Luk. 22:27) dan dengan nyata Yesus
berlutut membasuh kaki murid-murid-Nya, “Jikalau
aku membasuh kakimu, aku yang adalah Tuan dan Gurumu, maka kamu pun wajib
saling membasuh kakimu, sebab aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu
supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah kuperbuat kepadamu…maka
berbagahagialah kamu, jika kamu melakukanya (Yoh.13:14). Memberikan teladan merupakan cara transformasi
yang efektif sehingga para pengikut dapat melihat langsung perilaku apa yang
dibuat oleh pemimpin, yang mendorong mereka untuk mengikuti jejak, memiliki
keserupaan dan membangun komitmen. Transformasi kepemimpinan Yesus tidak di
tempuh melalui jalan paksaan dan indoktrinasi, melainkan melalui keteladanan,
bimbingan, pengajaran dan apresiasi. Hal
inilah yang mendorong para murid untuk melakukan pekerjaan karena mereka memang
menghendakinya, bukan karena diperintah/terpaksa. Maxwell (2006:64)
mengidentifikasikan lima prinsip sebagai petunjuk untuk dapat menjadi teladan,
yaitu:
1. Memperbaiki diri sebelum memperbaiki orang lain,
2. Memperbaiki diri lebih banyak dari pada orang lain,
3. Mengejar apa yang benar lebih daripada melakukan apa yang benar,
4. Melakukan apa yang dapat dilihat bukan hanya dengan
kata-kata, dan
5. Belajar dari teladan orang lain.
Jadi intinya adalah memimpin diri sendiri terlebih dahulu baru memimpin orang
lain. Dr. Jerry C. Wofford dalam bukunya Transforming Christian Leadership (1999)
mengungkapkan bahwa kepemimpinan pelayan memperluas kepemimpinan transformatif
hingga ke wilayah perhatian baru, yakni pelayanan yang rendah hati. (D’Souza,
2009:14-6).
b. Pemimpin
Sebagai Gembala (Shepherd)
Dalam Mazmur 23 dikatakan:”Tuhan adalah Gembalaku, takkan kekurangan
aku.” Sumber inspirasi seorang pemimpin sebagai gembala adalah Tuhan sendiri. Sebagai
Gembala , Tuhan Yesus rela memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh
umatnya sebagai ‘domba-domba’. Karakteristik kepemimpinan Yesus sebagai gembala
di nampakkan dalam kepedulian, keberanian dan tuntutan. Bagi pemimpin-gembala
perhatian dan produk bukan pada hasil dan keuntungan melainkan para pengikut/ anggota
(D’Souza, 2009:27). Kepemimpinan Yesus berpusat pada pribadi manusia, menjaga
para anggota dan menginginkan mereka berkembang dan berhasil memenuhi tujuan
dan panggilan mereka (Blanchard & Hodges, 2007:157-8). Itulah sebabnya,
Yesus tidak hanya menyatakan diri-Nya sebagai Gembala yang Baik (Yoh.10), namun
Ia-pun men-transformasikan kepemimpinan-Nya dengan mengangkat Petrus sebagai
gembala (Yoh.21:15-19), dan Petrus pun melanjutkan dengan meminta kepada para
Penatua Gereja untuk menjadi gembala umat Allah (1 Pet. 5:2).
Pemimpin sebagai gembala di dorong oleh semangat cinta kasih, sehingga
ia akan membangun relasi yang baik dengan domba-dombanya. Ia mengenal
domba-dombnya dan domba-domba mengenal gembalanya, ia hadir dan siap sedia
memimpin dari depan, berani melindungi domba-domba dari bahaya, menuntun dan membimbing para domba pada
kehidupan, peduli pada domba yang bermasalah, memiliki kesetiaan dan kerelaan
mengorbankan diri bagi kepentingan domba-dombanya (Yoh 10). Lowney menyatakan
bahwa kepemimpinan yang didorong oleh cinta kasih: memiliki visi untuk melihat
bakat, potensi, dan harkat setiap pribadi; memiliki keberanian, gairah, dan
komitmen untuk membuka kunci potensi; kesetiaan dan dukungan satu sama lain
sebagai hasilnya, yang menyemangati dan mempersatukan Tim (Lowney,2005:200).
c. Pemimpin
Sebagai Pengurus (Steward)
Seorang pemimpin dapat menjalankan peran kepemimpinannya bukan
berdasarkan “surat sakti” yang melegitimasikan statusnya, melainkan dari
kepercayaan dan otoritas yang diberikan kepadanya. Kepercayaan memiliki dampak
yang sangat besar bagi pemimpin. Haring menjelaskan bahwa rasa percaya diri (self-confidence)
dan merasa diri berharga (selfesteem) adalah syarat yang perlu agar
seseorang berkembang dalam kematangan yang cukup untuk bisa bertanggung-jawab
(Sujoko,2008:109). Kepercayaan memang bergandeng-erat dengan tanggung-jawab. Dalam
Lukas 12:42-43, Tuhan Yesus berkata : “Jadi,
siapakah pengurus rumah yang setia dan bijaksana yang akan diangkat oleh
tuannya menjadi kepala atas semua hambanya untuk memberikan makanan kepada
mereka pada waktunya? Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang
?”. Dan hal ini semakin ditegaskan-Nya ketika Ia berkata, “Setiap orang yang banyak diberi akan banyak dituntut, dan siapa yang
banyak dipercayai akan lebih banyak lagi dituntut.” (Luk.12:48). Yesus
telah menunjukkan dimensi kepemimpinan-Nya sebagai pemimpin yang dapat
dipercaya dan bertanggung jawab, jujur, berintegritas dan transparan.
Donna Prestwood dan Paul Schumann (D’Souza,2009:175) mengungkapkan bahwa
Yesus memiliki 4 kemampuan utama sebagai pemimpin transformatif yang
menghasilkan perubahan, yaitu :
a.
Ennoble (memaknai), yaitu dengan
cara menanamkan visi dan misi serta menemukan makna dan tujuan dari apa yang
dilakukan. Seorang pemimpin harus mampu mentransformasikan nilai, visi, misi
dan tujuan menjadi milik bersama.
b.
Enable (memampukan), yaitu dengan mendorong para pengikutnya untuk mampu
berdaya guna dan efektif. Proses memampukan diupayakan dengan cara melengkapi
orang/anggota dengan pengetahuan, kecakapan dan kemampuan untuk melakukan
inovasi. Titik tolak Yesus adalah hati yang berbelas kasih (Blanchard & Hodges,2006:49). Kendala
terbesar untuk menjadi pemimpin seperti Yesus adalah hati yang dimotivasi oleh
kepentingan pribadi.
c. Empower (memberdayakan), yaitu dengan cara membangkitkan kegairahan, membangun kepercayaan dan
menghasilkan tindakan. Proses pemberdayaan terhadap para murid dilakukan oleh
Yesus selama mereka hidup bersama-Nya dan tetap memberi kepercayaan kepada
mereka. Pemberdayaan mengindikasikan keberanian pemimpin untuk mempercayai
orang yang dipimpin, sekalipun mereka sangat terbatas dan berulang kali
melakukan kesalahan.
d. Encourage (mendorong), yaitu dengan dengan terus
memotivasi para murid untuk membuahkan hasil dan memberikan pengaruh yang
berdampak pada perubahan dan pemberdayaan yang berkesinambungan. Pemberdayaan dilakukan tidak hanya
secara konstan tetapi terus-menerus sehingga orang lain dapat menjadi pemimpin.
PENUTUP
Gereja senantiasa
berada di antara damba dan realita. Ketika gereja mendambakan sesuatu yang
ideal, maka gereja mau tidak mau harus terbuka untuk melihat realita kehidupan
bergereja saat ini. Gereja tidak bisa menutup mata, apalagi merasa nyaman dan
berpuas diri dengan apa yang ada, karena itu berarti gereja berada pada titik
kritis pertumbuhan bahkan berada pada zona berbahaya yang dapat melumpuhkan
gereja. Suatu pertumbuhan dimungkinkan terjadi jika gereja menyadari dimana
posisinya saat ini, apa yang sedang dikerjakan, dan apa yang sedang terjadi.
Kesadaran ini bermakna kontributif ketika gereja tidak hanya berhenti sebatas
evaluasi, namun berani mengembangkan potensi dan bersedia mengubah diri. Ketika gereja dan pemimpin merindukan terjadinya
perubahan, maka gereja dan para pemimpin harus berani menerima resiko cara
berpikir yang berbeda, pendekatan yang berbeda, metode yang berbeda. “Adalah sebuah kegilaan !”, kata Albert
Einstein, “Jika seseorang melakukan hal
yang sama berulang kali dan mengharapkan hasil yang berbeda” (Cole, 2011:
49)
Peranan pemimpin
yang mampu mentransformasikan kepemimpinannya memiliki arti yang sangat besar
bagi pembangunan jemaat, sekalipun harus tetap di sadari bahwa kepemimpinan transformatif
bukanlah kepemimpinan yang dijalankan oleh orang-orang yang sempurna, melainkan
oleh mereka yang sungguh-sungguh mau bekerja dan memiliki komitmen yang tinggi
untuk mentransformasikan hidupnya bagi komunitas yang dipimpinnya. Oleh karena
itu seorang pemimpin transformatif pertama-tama harus memiliki hati yang mau
melayani dan menggunakan seluruh potensinya hanya untuk melayani. Kepemimpinan
transformatif bukanlah soal kekuasaan dan kekuatan melainkan soal hasrat hati yang tinggi untuk memberdayakan,
memampukan dan mengangkat setiap orang dalam jaringan kerjasama. Neil Cole pernah berkata “Saya tidak ingin menghilangkan para pemimpin, saya ingin menghilangkan
orang awam dengan menjadikan mereka sebagai pemimpin” (Cole, 2011:70), pada
bagian lain Andrew Carnegie mengingatkan “Tidak
seorangpun bisa menjadi pemimpin yang hebat bila ia melakukan semuanya
sendirian, atau memperoleh semua pujian karena melakukannya” (Cole, 2011:1).
Pembangunan jemaat merupakan tanggung jawab bersama dan menuntut partisipasi
aktif dari setiap bagian/organ yang ada di dalamnya. Tidak ada satu orang pun
atau satu kelompok pun dalam tubuh gereja yang harus menanggung beban,
melakukan perubahan dan berjuang sendirian menuju perkembangan gereja. Peranan
pemimpin (klerus maupun awam) dalam komunitas bukan untuk mengambil alih
tanggung jawab dan peran jemaat, melainkan men-transformasikan kepemimpinan
tersebut dengan mendayagunakan dan menggerakkan jemaat. Sejarah senantiasa
membuktikan kebenaran bahwa pelayanan yang efektif dan membuka peluang bagi
pertumbuhan adalah pelayanan yang dilakukan bersama sebagai sebuah tim.
Vitalitas gereja terletak pada gerakan warga jemaat yang mampu bersinergi
sebagai “batu-batu hidup” dalam pembangunan jemaat, yang mampu melakukan
re-interpretasi dan mencari nilai-nilai kekristenan kontekstual, dan yang mampu
menghasilkan dampak positif bagi dunia. Peran nyata gereja dalam kehadirannya
di dalam dunia memang menjadi orientasi utama pembangunan jemaat. Gereja perlu
terus membangun orientasi baru untuk melakukan tugas dan tujuannya dan
menghadirkan transformasi di tengah-tengah permasalahan dunia (Hadiwitanto,
2010: 131)
Kesadaran membangun kepemimpinan tim ini merupakan
ciri mendasar dari kepemimpinan transformatif. Melalui kepemimpinan tim akan
terjalin kekuatan yang besar dengan jangkauan yang lebih luas dan dalam. Salah
satu strategi membangun komunitas adalah dengan membangun keintiman antar
jemaat dan sesama pelayan yang saling mengerti, menerima dan membangun dalam
sebuah keterhubungan yang solid bagaikan sebuah keluarga. Konsep ini akan mudah
dipahami jemaat karena kehidupan keluarga adalah kehidupan yang paling dekat
dengan keseharian jemaat. Pdt.Dr.Rijnardus A.van Kooij dkk mengatakan : “Dalam keluarga ada misteri cinta kasih yang
mempersatukan dan menyatukan sama seperti cinta kasih Kristus yang
mempersatukan dan menyatukan semua orang. Dalam gambaran gereja sebagai
keluarga, cinta kasih, persekutuan dan kesatuan mendapatkan wujud yang konkret
(van Kooij,2010:107)”.
Seorang pemimpin transformatif adalah juga seorang
yang realistis namun juga optimis. Ia tidak menutup mata akan kenyataan yang ia
jumpai, namun akan berusaha menemukan hal-hal positif yang dapat dikembangkan
dan menjadi support bagi diri dan komunitasnya. Dibalik situasi seburuk apapun
pasti ada kebaikan yang bisa ditemukan. Karena setiap manusia pada dasarnya
memiliki potensi kreatifitas dan pembaruan sebagaimana mereka di ciptakan
segambar dan serupa dengan Allah. Inilah kekuatan besar dan potensial yang menjadi
fondasi untuk mulai bergerak meletakkan dasar bagi bangunan Allah.
Terbukanya
wawasan akan realita keberadaan GKMI Ebenhaezer – sebagai gereja yang masih
sangat muda dan sedang berada pada masa pertumbuhan – memberikan pengaruh nyata
yang mewarnai strategi untuk menggapai damba bersama di masa depan. Di dalamnya
masih ditemukan berbagai kekurangan yang membutuhkan pembenahan, sekaligus di
dapati berbagai potensi yang menunggu untuk dikembangkan. Di sini sangat
dibutuhkan kemampuan dan kepekaan untuk menangkap urgensitas sebuah persoalan
juga merupakan faktor penting bagi munculnya gerakan yang melahirkan perubahan.
Model-model kepemimpinan, pendekatan-pendekatan dalam pendidikan kristiani dan
pola-pola ibadah harus dilihat dalam bingkai kedinamisan untuk semakin di
sempurnakan dari waktu ke waktu. Langkah-langkah identifikasi, evaluasi,
pengembangan visi dan potensi, upaya-upaya transformasi dan rekonsiliasi dalam
membangun relasi harus senantiasa menjadi konsentrasi, agar gereja tidak
terhambat dan terlambat dalam mengantisipasi dan menyikapi perubahan.
Seorang pemimpin yang bijak tahu apa yang baik dan
harus dipertahankan, apa yang kurang dan harus ditingkatkan, apa yang salah dan
perlu dikoreksi, dan apa yang membutuhkan inovasi dan terobosan baru (Darmaputera,2005
: 16-7).
Ada tiga
jenis manusia di dunia ini :
Orang yang
tidak tahu apa yang terjadi
Orang yang
melihat apa yang terjadi, dan
Orang yang
melihat apa yang terjadi serta membuat sesuatu terjadi
Nicholas Murray Butler
SELESAI
"Hitherto the Lord has
helped us."
Ebenhaezer
From the desk of Daniel Lauw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar