Upaya
Memahami, Menyikapi Dan Mengantisipasi
Fenomena
Kerasukan Setan Dalam Konteks Pelayanan Jemaat Di Kota Pati
PENDAHULUAN
: KONTEKS BUDAYA
Kerasukan Setan (Demon-Possesion) merupakan istilah
yang tidak asing, bagi gereja-gereja, khususnya di kota Pati – Jawa Tengah.
Bertahun-tahun lamanya kota ini di kenal sebagai “Kota pusat paranormal Indonesia/Kota seribu paranormal” (www.tempo.co 2013; bdk seputarpati09.blogspot.com 2014). Aktivitas
paranormal ini cenderung pada dunia okultisme yang mengacu pada
kejadian-kejadian misterius yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah
menyangkut astrologi, nujum, horoskop, kartu tarot, ramalan, cenayang/spiritis,
sihir, black magic dan satanisme.
(Gardiner 2002:10). Di kota ini dapat ditemui tokoh-tokoh paranormal kondang
Indonesia yang akrab dengan dunia magic, antara lain Boss Edy (Ketua Paguyuban
Paranormal Indonesia), Jeng Asih, Mbah Roso, Sukma Jati,
Anisa Dewi, David Gombak, dan Dewi Sedap Malam dll. Tidak jarang kota ini di kunjungi para artis, pejabat, pengusaha yang
ingin mendapatkan kesuksesan, kecantikan, penangkal balak/bencana, ajian kanuragan,
pengasihan,
penglarisan, kewibawaan hingga
pengobatan-pengobatan alternatif. Istilah-istilah seperti susuk, santet, jimat,
mantra hingga bermacam tokoh hantu/setan/memedi/ lelembut seperti tuyul, babi ngepet, genderuwo, pocong,
jrangkong, glundhung pecengis, kuntil anak, sundel bolong, wewe gombel
merupakan istilah dan nama yang sudah tidak asing bagi masyarakat. Bahkan
anak-anak kecilpun sudah mampu membuat deskripsi profil sosok hantu tersebut.
Manifestasi kuasa setanpun sangat akrab dalam konsep
masyarakat, terlebih ketika melihat fenomena-fenomena yang dianggap ganjil.
Orang yang sakit dan berobat ke dokter namun tidak kunjung sembuh, akan dengan
mudah di asumsikan sebagai orang yang terkena santet. Karena itu pengobatannya
bukan oleh tenaga medis melainkan oleh paranormal. Seorang bayi yang selalu
menangis tiap malam, diyakini karena melihat atau diganggu setan, karena itu
perlu “di suwuk” oleh dukun.
Terjadinya bencana alam di pahami sebagai akibat kemarahan para tokoh
adikodrati (dhanyang), sehingga perlu
di atasi dengan tradisi-ritual magis seperti “bersih desa” lengkap dengan ketoprak/wayang kulit yang dianggap
dapat meredakan kemarahan tersebut, atau dengan mengadakan sembahyangan massal
di punden-punden, sesaji-sesaji di kuburan atau perempatan jalan. Bukan hanya
budaya Jawa, budaya Tionghoapun bergerak dalam ritme eksorsis yang senada
melalui atraksi barong sai saat perayaan Imlek dengan berkeliling kota untuk
mengusir setan-setan. Dalam konteks masyarakat semacam ini, orang tidak lagi
membedakan antara kerasukan setan/kesurupan dengan gangguan jiwa. Ketika
menjumpai seseorang yang menunjukkan sikap-sikap yang ganjil, melotot, mendesis,
bertindak diluar kesadaran, pingsan, tak terkendali, berteriak-teriak dan
semacamnya, maka dapat dipastikan bahwa setiap orang – dari agama manapun, tingkat usia dan pendidikan seperti apapun –
akan dengan mudah mengambil kata sepakat bahwa orang tersebut sedang kerasukan
setan.
Gerejapun tidak terlepas dari pemahaman-pemahaman
seperti ini, bahkan sadar ataupun tidak, gereja turut ambil bagian dalam
menumbuh-suburkan konsep masyarakat tersebut dalam ranah kehidupan beriman.
Beberapa gereja pantekosta-kharismatis ada yang secara periodik melakukan “doa keliling kota” untuk melakukan
eksorsisme dengan menaikkan “doa
teritorial”, yaitu doa untuk mengusir roh-roh jahat (bahureksa) yang dianggap menguasai daerah/teritori tertentu di kota
Pati. Di dalamnya terdapat keyakinan bahwa tempat-tempat seperti gereja, rumah,
kota dan desa mungkin ditekan dan dipengaruhi oleh semacam penyebab seperti
hantu, guna-guna, dosa manusia dan pengaruh roh jahat (Wagner 1992:90). Untuk
menunjukkan ke “istimewa”annya, tidak jarang dijumpai para pendeta ataupun
rohaniawan yang mengaku dapat melihat roh-roh jahat di rumah-rumah tertentu,
kemudian melakukan doa-doa eksorsisme dengan bahasa roh untuk menengking,
mengikat roh jahat dan membersihkan rumah (Gardiner 2002:26). Hal yang sama juga terjadi terhadap jemaat
yang sakit dan di anggap kerasukan setan. Eksorsisme pun dilakukan dengan
metode “nyaris” senada, yaitu doa pengusiran setan, pujian, dialog dengan setan
yang merasuki, teriakan pengusiran “Dalam Nama Tuhan Yesus”, mengurapi/mengolesi
dengan minyak hingga membakar/menyingkirkan benda-benda yang dianggap markas
setan. Bagi beberapa eksorsis memang ada keyakinan bahwa roh-roh jahat dapat
menempatkan diri pada obyek-obyek kebendaan tertentu (Wagner 1992:90).
Dalam pengamatan penulis, konsep yang seringkali
muncul dalam analisa-sebab orang kerasukan setan dalam pandangan orang-orang
kristen tersebut adalah :
1.
Ada orang jahat
yang mengirimkan roh setan. Eksorsisme dilakukan untuk “mematahkan, menolak,
membatalkan kiriman” tersebut, dan mem-proteksi yang bersangkutan agar tidak
mendapatkan “kiriman” lagi.
2.
Ada roh jahat
penguasa rumah yang merasa terganggu dan marah. Eksorsisme yang dilakukan
berupa pembebasan orang dan pembersihan tempat-tempat dari kekuasaan dan
kegiatan roh jahat (Gardiner 2002:9) .
3.
Ada dosa
tertentu yang diduga dilakukan orang tersebut sehingga ia dikuasai setan.
Eksorsisme dilakukan disertai dengan tuntutan pengakuan dosa dan pertobatan
4.
Iman yang
dianggap lemah atau hati yang “kosong” sehingga setan memasuki dapat
memasukinya. Pertahanan rohani yang lemah memungkinkan sejumlah akses bagi
roh-roh jahat (Gardiner 2002:58)
Bagi penulis,
fenomena ini memunculkan pertanyaan :
1.
Selama melayani
hampir 20 tahun, penulis telah melayani di 4 kota. 12 tahun di kota Demak,
Semarang dan Jepara dan hampir 8 tahun di kota Pati. Namun fenomena kerasukan
setan belum pernah penulis jumpai pada jemaat di tiga kota pertama tersebut.
Sedangkan di kota Pati, sejak tahun pertama penulis melayani (tahun 2005),
penulis sudah berhadapan dengan jemaat yang kerasukan setan, keluarga yang
secara massal tiga anaknya kerasukan setan, sekolah-sekolah yang siswa atau
gurunya kerasukan setan (padahal sekolah katholik, yaitu SD/SMP Kanisius).
Pertanyaan penulis, mengapa hal ini tidak penulis jumpai di kota lain,
sementara di kota ini begitu mudah fenomena ini muncul.
2.
Apakah benar
setiap orang yang mengalami gejala-gejala seperti “sikap-sikap yang ganjil,
melotot, mendesis, bertindak diluar kesadaran, pingsan, tak terkendali,
berteriak-teriak, suara berubah dan semacamnya” adalah benar-benar kerasukan
setan ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan penulis kaji untuk
menemukan perspektif yang lebih tepat dan alkitabiah untuk memahami fenomena
kerasukan setan, bagaimana seharusnya menghadapinya dan apa yang dapat
dilakukan gereja sebagai komunitas yang menyehatkan, dalam arti mampu menyembuhkan
(curing),memulihkan (healing) dan mencegah (preventif),
ANTARA
KERASUKAN SETAN DAN GANGGUAN JIWA
Hampir di setiap
budaya, konsep dan kepercayaan akan dunia roh dan kuasa setan-setan dapat
dijumpai. Bagi masyarakat Israel kuno, pemahaman inipun tidak asing. (bdk
Philip J.King & Lawrence E.Stager 2012:435-436). Sekalipun dalam literatur
Yahudi secara khusus tidak ada doktrin mengenai setan, namun menurut tulisan apokaliptik intertestamentum, Yahweh
(Allah) dilukiskan sebagai Oknum yang memerintah roh-roh di bumi ini. (Simanjuntak
2008:37). Pada masa intertestamental
sekitar tahun 400 SM yang diyakini sebagai masa ketika Allah diam dan tidak
mengirimkan nabi-Nya, penyembahan kepada berhala dan kepercayaan pada roh-roh
mengalami pertumbuhan yang pesat. Ada roh yang dipercayai sebagai roh yang baik
namun ada juga roh jahat yang disebut sebagai “setan-setan” yang suka
mengganggu kehidupan manusia, dan diperkirakan mencapai jumlah sepertiga dari
seluruh roh yang ada (Simanjuntak 2008:38). Mereka diyakini memiliki wilayah
dan pembagian struktur tertentu berdasarkan kekuatannya (Purnomo 2008:47)
Pada masa-masa
tersebut, eksorsisme merupakan hal yang sangat umum terjadi di seluruh dunia,
baik dilakukan oleh para eksorsis-rohani maupun para penyihir. Dalam
sejarahnya, Gerejapun memasukkan pelayanan eksorsis ini sebagai bagian dari
ritual gereja, terutama ketika terkait dengan ritus baptisan, sebagaimana
pemaknaan eksorsis yang berarti “to cause
to swear” (Flinn 2007:268-269). Para bapa gereja seperti Justinus Martyr,
Ireneus, Tertullianus, Minucius Felix, Tatian, Origenes, Cyprianus, Christosostom,
Jerome dan Agustinus juga menghidupkan pelayanan kerasulan dalam bentuk
pengusiran setan ini. (Alkitab.sabda.org)
Kerasukan setan atau
kesurupan itu sendiri berasal dari kata daimonizomenon
yang berarti “to be possessed by a demon
or evil-spirit; afflicted by a demon or evil spirit; vexed by a demon or evil
spirit” (Simanjuntak 2008:38). Dalam
keyakinan akan adanya roh Jahat/setan dengan pengaruhnya, maka kerasukan setan
dipahami sebagai peristiwa hadirnya roh jahat dalam kehidupan manusia dan
dipercaya dapat menyebabkan kepribadian seseorang berubah. Keadaan ini dapat
membuat seseorang sakit secara fisik maupun mental dan mempengaruhi kehidupan
sosialnya. Namun – tentu saja – tidak
setiap orang sakit disebabkan oleh roh jahat. Dalam beberapa kasus yang diduga
sebagai kesurupan, setelah di lakukan hipotesa dan diagnosa ternyata memiliki
kemungkinan yang lebih besar sebagai masalah psikologis atau mental, dan bukan
karena intervensi kuasa roh jahat. (Gardiner 2002:54). Gejalanya seringkali begitu
mirip, sehingga tidak mudah untuk membedakannya. Beberapa tanda seringkali
ditetapkan sebagai tanda kerasukan, misalnya : tidak mengenali identitas diri dengan benar
(muncul kepribadian baru), adanya pengetahuan dan intelektualitas baru yang
sebelumnya tidak dimiliki, mengutuk Allah atau menyerang benda-benda simbol
spiritual (salib, Alkitab), memiliki kekuatan yang besar (Simanjuntak
2008:140-142), perubahan intonasi suara, ekspresi wajah dan pola kepribadian,
juga sikap-sikap kasar, menggertakkan gigi, melengking (Alkitab.sabda.org).
Namun tanda-tanda yang sama juga seringkali dijumpai dalam kasus gangguan jiwa/skizofrenia,
seperti keinginan bunuh diri, adanya delusi, halusinasi, bicara
terdisorganisasi, gampang marah (Simanjuntak 2008:143). Gangguan kejiwaan
seperti kepribadian ganda, atau Multiple Personality Disorder (MPD) dan
Dissociative Identity Disorder (DID) juga memiliki tanda yang mirip.
“Ketika satu kepribadian mengambil
kendali atas diri si penderita, suara si penderita akan berubah, disertai
berbagai aktivitas tubuh seperti bola mata yang berputar, serangan kesakitan
yang muncul mendadak atau bagian-bagian tubuh tertentu menjadi mati rasa”
(Rakhmat 2013:377). Bahkan tidak jarang terjadi kombinasi kasus. Ketika para
medis dan konselor menangani dengan obat-obatan dan langkah-langkah konseling
sistematis, dan hasilnya secara definitif menunjukkan kemajuan maka mereka
percaya bahwa hal ini murni masalah kejiwaan. Namun pada saat yang sama,
pelayanan eksorsis yang melakukan pendekatan dengan langkah-langkah eksorsisme
dan menemukan kemajuan, maka merekapun dapat beranggapan bahwa hal ini murni
masalah spiritual. Dalam pelayanan ini alangkah baiknya meneliti dengan
sungguh-sungguh gejala, latar belakang (etiologi) dan tanda-tanda orang yang
dilayani, sambil membangun juga kesadaran bahwa manusia merupakan pribadi yang
utuh – tubuh, jiwa dan roh – sehingga
pelayanan secara medis, psikologi maupun spiritual merupakan pelayanan yang
memiliki kontribusinya masing-masing dalam jalinan yang saling mempengaruhi.
Dunia saintifik
menisbikan kepercayaan ini dan melihatnya sebagai ilusi yang dihasilkan oleh
otak manusia. Hal ini karena roh memang tidak dapat dibuktikan secara
empiris-obyektif. Semua yang dinamakan “pengalaman rohani” di produksi oleh
neuron-neuron (sel-sel syaraf, berjumlah 100 milyar sel) yang membentuk organ
otak manusia, sehingga pengalaman rohani sebenarnya terjadi hanya dalam
tempurung kepala, dalam otak bukan dalam dunia adikodrati (Rakhmat
2013:374). Dan apa yang tidak dapat
dibuktikan secara empiris-obyektif lalu dianggap tidak ada. Demikian juga
kerasukan tidak mungkin ada karena keberadaan setan dan kuasanya dianggap juga tidak
ada. Apa yang dilakukan oleh Yesus dengan pelayanan eksorsis, dilihat sebagai
fakta yang hanya berlaku pada zaman-Nya, dimana sudah menjadi hal yang umum
untuk menghubungkan fenomena itu dengan kepercayaan akan dunia roh, yang
sebetulnya sekarang ini disadari hanya sebagai gangguan mental atau psikologis.
Namun hal ini
perlu dikaji lebih lanjut, karena kesaksian Alkitab menunjukkan pembedaan
antara penyembuhan terhadap penyakit maupun pelepasan dari kuasa setan. Cara
menanganinyapun berbeda. Sebagai contoh, dalam kasus yang sama yaitu
menyembuhkan orang yang bisu dalam Markus 7:31-37 dan Markus 9, cara Yesus
sangat berbeda. Orang yang bisu dalam Markus 7 di sebabkan oleh sakit, dan
Yesus memasukkan jari tangan ke dalam telinganya, lalu dengan ludah-Nya Yesus
meraba lidah orang tersebut dan berkata “terbukalah” maka orang itu menjadi
sembuh. Sedangkan dalam kasus orang bisu tuli dalam Markus 9, Yesus melihat
sumbernya bukan karena penyakit melainkan karena kerasukan setan, karena itu
Yesus tidak melakukan tindakan apapun selain menghardik setan itu dan
menyuruhnya pergi (9:25) dan orang itupun sembuh. Injil secara konsisten
menyatakan bahwa ada tiga pelayanan yang menandai pelayanan Yesus, yaitu
“Beritakan Injil, sembuhkan yang sakit dan usir setan-setan”. Tiga bentuk
pelayanan ini pula yang dimandatkan Yesus bagi para murid untuk dilakukan (bdk
Mrk 16:15-18). Secara teologis,
pengusiran setan memiliki dasar-dasar Alkitabiah yang mengesahkan pelayanan
gereja pada masa kini. Penyangkalan terhadap realita kerasukan dan pengurangan
secara halus ajaran ini justru akan melemahkan dasar teologis (Montgomery
1976:251).
Pada sisi lain,
keyakinan/kepercayaan rakyat (folk belief) sebenarnya harus dipahami juga
sebagai fakta empiris yang nyata hidup dalam masyarakat dan mempengaruhi
kehidupan masyarakat. Kepercayaan masyarakat Indonesia merupakan kesatuan
antara apa yang mereka yakini (belief) dengan kelakuan (behaviours) dan
pengalaman empiris (experiences) (Dananjaya 1986:153). Ketakutan dan
penderitaan fisik yang dialami oleh orang yang kerasukan adalah fakta riil yang
harus disikapi dengan simpati. Sehingga dalam konteks masyarakat Indonesia
khususnya, kemajuan tekhnologi dan ilmu pengetahuan tidak dapat begitu saja
menggeser kepercayaan yang terwariskan turun temurun lewat tutur kata dan
budaya hidup bermasyarakat.
Seorang “spirit
whisperer”, Ed Chandra Kanic menyatakan bahwa roh-roh itu riil, sekalipun ia
tidak menyebutkan tentang roh jahat. Namun pada prinsipnya, dunia roh harus
dipahami dalam pendekatan yang tidak semata-mata mengandalkan rasio. Ia berkata
“Kita harus mengurangi kebiasaan memvonis dengan logika dan menambah ruang
toleransi kepada berbagai kemungkinan dengan rasa. (Kanic 2009:11). Dalam
pemahaman seperti ini, kesurupan mungkin saja terjadi, namun tidak dapat begitu
saja di anggap sebagai gangguan jiwa, demikian juga sebaliknya. Keduanya
berbeda, dan dibutuhkan kejelian, ketelitian dan observasi untuk mengetahui
perbedaannya, sehingga dapat memutuskan tindakan yang paling tepat. Kanic
sendiri membedakan kerasukan dalam tiga macam kategori, yaitu kesurupan medis
yang disebabkan faktor kesehatan fisik seperti kelelahan, dehidrasi, kesurupan
psikologis yang disebabkan faktor emosi yang menekan dan menguasai alam sadar,
serta kesurupan jiwa yang disebabkan adanya “jiwa lain” yang memasuki tubuh fisik
manusia. (Kanic 2009:145)
MENGHADAPI
ORANG YANG KERASUKAN SETAN
Pelayanan terhadap orang yang kesurupan, pertama-tama
haruslah bertolak dari hati yang berbelas kasih (compassion) sebagaimana yang
dilakukan Yesus. Apakah yang bersangkutan benar-benar kerasukan setan atau
mengalami gangguan kejiwaan, merupakan hal berikutnya setelah belas kasihan
dinampakkan. Bagaimanapun juga, orang tersebut mengalami penderitaan.
Keperdulian, perhatian dan sentuhan kasih akan mampu menembus jiwa dan
menghadirkan pemulihan bagi penderita sekaligus menenangkan keluarga. Tindakan
menyakiti fisik dengan alasan mengusir setan, sama sekali tidak di
rekomendasikan, karena dengan demikian orang yang bersangkutan akan mengalami
penderitaan ganda.
Dalam banyak kasus, pemicu kesurupan memiliki latar
belakang kejiwaan semacam kesedihan, kesepian, beban yang berat, kebingungan,
ketiadaan harapan. Oleh karena itu, pelayanan terhadap orang yang kesurupan
seharusnya menyatukan secara utuh antara penyembuhan (curing) dan pemulihan
(healing). Dalam pelayanan ini, penting
sekali untuk mencari beberapa penjelasan medis, mental atau psikologis terkait
dengan peristiwa tersebut. Latar belakang penderita juga perlu ditelisik lebih
jauh agar dapat diidentifikasi dengan lebih jelas, apakah kasusnya memang
melibatkan kuasa occultisme ataukah karena faktor kejiwaan. Perhatian utama dalam
hal ini lebih ditujukan kepada penderita, bukan kepada fenomena maupun roh
jahat yang diduga merasuki.
Tidak jarang beberapa hal yang membuka peluang bagi
seseorang mengalami kerasukan, baik dalam artian psikologis maupun demonis,
tidak terlepas dari pilihan cara hidup dan pembentukan mentalitas diri.
Seseorang yang melibatkan diri dengan dunia okultis (sihir, satanisme,
spiritisme) dan membangun mentalitas hidup dalam ketakutan terhadap dunia roh,
akan membuka akses bagi roh jahat untuk mengubah cara hidup dan cara
berpikirnya. Terlebih ketika seseorang dengan sengaja memilih jalan hidup dalam
kuasa dosa atau membiarkan diri berada dalam tekanan kejiwaan (traumatis) yang
parah dan tidak segera mengatasinya, maka secara psikologis iapun memiliki
pertahanan jiwa yang lemah. Orang-orang
Jawa umumnya percaya bahwa hanya orang-orang yang lemah jiwanya atau kosong
pikirannya yang dapat dimasuki roh jahat (Mulder 1980:21)
Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah sikap
mental pelayan eksorsis. Kebenaran yang esensial bagi mereka yang terlibat
dalam pelayanan eksorsisme adalah mengakui/menyadari dasar pelayanannya adalah
dalam kuasa Tuhan Yesus Kristus. Ketakutan menghadapi fenomena yang ganjil
tersebut harus disingkirkan terlebih dahulu. Roh/jiwa tidak dapat
menyentuh/mencolek manusia. Ia tidak dapat melukai, karena itu tidak perlu
ditakuti (Kanic 2009:99). Keyakinan pelayan eksorsis akan kemahakuasaan Tuhan
akan disadari pula oleh kuasa dalam alam roh yang tidak nampak namun sangat
nyata menyadari kuasa Yesus yang mampu melucuti pemerintah-pemerintah dan
penguasa-penguasa (Kol 2:15) (Gardiner 2002:7)
PENUTUP : MEMBANGUN
KOMUNITAS YANG MENYEHATKAN
Pada masa
pelayanan Yesus, peristiwa kerasukan setan tidak terjadi di setiap kota yang
dilayani. Pengusiran setan yang dilakukan Yesus lebih banyak terjadi di daerah
Galilea, Sidon dan sekitarnya, namun tidak pernah dijumpai di kota besar
seperti Yerusalem. Hal ini menjadi jawab dari pertanyaan penulis, mengapa di
kota-kota seperti Demak, Semarang dan Jepara belum pernah penulis jumpai kasus
kerasukan, namun di kota Pati cukup sering penulis jumpai kasus ini. Secara
definitif hal ini dimungkinkan terkait dengan maraknya praktek okkultisme di
kota “seribu paranormal” ini, namun juga tidak terlepas dari aspek pertumbuhan
budaya. Bagi kota besar seperti Yerusalem, kebudayaannya telah cukup maju, dan
ini berbeda dengan wilayah seperti Galilea, Sidon dan sekitarnya yang agak
terbelakang kebudayaannya, daerah hutan
belantara dan merupakan tempat-tempat terpencil. Di tempat seperti ini, takhayul dan
kepercayaan akan dunia roh masih sangat kuat dan merajalela. Dalam pemahaman
sosio-anthropologis, hal ini sangat mempengaruhi pola kehidupan dan nilai-nilai
kemasyarakatan yang berdampak bagi pola pikir dan mentalitas. Sementara dari
kajian spiritualitas, berkembangnya okultisme, spiritisme, tahyul, nujum dan
sebagainya membuka akses besar bagi masuknya setan-setan.
Hal ini terkait
dengan pelayanan Gereja sebagai komunitas yang mewarnai budaya dan membangun
mentalitas yang sehat. Keberadaan gereja sebagai komunitas religius terbukti memiliki
pengaruh yang sangat besar dalam membangun kesehatan mental. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Bergin (1983), John Gardner dalam bukunya “Religious Commitment and Mental Health”
membuktikan bahwa kehidupan religius yang sehat berkorelasi dengan kesehatan
fisik, rendahnya angka bunuh diri, umur panjang, terhindarnya penggunaan drugs
dan alkohol, terhindarnya perilaku kejahatan, kepuasan pernikahan dan terhadap
kesejahteraan hidup. (Simanjuntak 2012:191). Kehidupan religius yang sehat ini
pertama-tama bicara tentang hubungan yang sehat dengan Tuhan, sehingga
seseorang akan mengalami pembaharuan budi (Roma 12). Ia akan lebih mampu
mengendalikan diri di saat menghadapi tekanan kejiwaan atas berbagai persoalan
kehidupan. Kesadaran akan peranan Allah atas kehidupan akan membuat seseorang
semakin berhati-hati bertindak, dengan demikian ia akan memiliki persepsi
selektif untuk mampu memilah apa yang layak dipikirkan, dipergumulkan dan
dilakukan serta menolak memberi kesempatan kepada apa yang merusak jiwa.
Pada sisi lain,
komunitas gereja dapat berperan untuk membangun kehidupan relasional yang sehat
di antara anggotanya. Penelitian psikologis menunjukkan bahwa gangguan jiwa
tidak jarang muncul sebagai akibat relasi sosial yang terganggu. Dalam
komunitas gereja, semangat untuk perduli dan mengampuni perlu dikembangkan
sedemikian rupa, sehingga orang tidak lagi merasa sendiri dan kesepian saat
menghadapi persoalan, merasa dikuatkan oleh komunitas, dan ia tahu bahwa ia
dapat berbagi beban-rasa (sharing) tanpa ada rasa takut/kuatir
ditertawakan/dipermalukan. Menurut Geertz, hanya agama-agama yang menjalankan
fungsi sosial dan berakibat bagi kesejahteraan pengikutnya akan bertahan dari
zaman ke zaman (Simanjuntak 2012:192).
Gereja pun perlu
mengembangkan pelayanan pendampingan yang holistik bagi jemaat dengan
mengembangkan pelayanan lintas-ilmu. Misalnya dengan membangun tim pelayanan
konseling dan pemulihan bagi jemaat yang sakit, mengalami tekanan kejiwaan,
memiliki sikap mental yang negatif. Tim pelayanan konseling ini dapat
melibatkan disiplin ilmu teologi dari gembala jemaat bersama dengan anggota
jemaat yang memiliki jalur ilmu yang terkait, misalnya psikologi, kedokteran.
Bagi orang yang mengalami kesurupan, persoalan utama tentu perlu digali dan
dikaji, baik itu persoalan rohani (kemungkinan keterikatan dengan occultisme,
kehidupan dalam dosa, ketidakmampuan untuk mengampuni), maupun aspek medis (misalnya
kesehatan yang terganggu, kurangnya insulin tubuh, kelelahan) dan psikologis (misalnya
perasaan bersalah, kurangnya kemampuan bersosialisasi).
Tidak kalah
pentingnya adalah peran orang tua dalam fungsi kontrolnya atas pergaulan anak-anak
dan kaum muda. Alkitab dengan jelas
menunjukkan bahwa pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik (I Kor
15:33). Lingkungan hidup dan pergaulan seringkali menjadi jalan indoktrinasi
nilai-nilai budaya masyarakat, baik yang positif maupun yang negatif. Salah
satu dampak yang perlu disikapi untuk mencegah/mengantisipasi terjadinya
kerasukan setan maupun gangguan kejiwaan adalah kontrol terhadap nilai-nilai
budaya yang melahirkan citra-citra negatif terhadap kuasa-kuasa dan roh-roh. Kanic
mensinyalir bahwa ketakutan manusia
sebenarnya merupakan reaksi yang timbul sebagai akibat dari sensasi pencitraan
negatif, baik itu hal-hal yang nyata atau fantasi (Kanic 2009:99). Pendidikan
orang tuapun perlu diarahkan untuk membangun kepribadian yang sehat. Kenyataan
menunjukkan bahwa kerasukan seringkali terkait erat dengan indoktrinasi negatif
yang ditanamkan secara mendalam sejak usia dini. Dengan nada heran Kanic bahkan sempat
mempertanyakan “Bagaimana mungkin anak berumur 5 tahun sudah mulai takut dengan
berbagai mitos makhluk halus yang menyeramkan ??” (Kanic 2009:100). Sebagaimana diungkapkan pada bagian
pendahuluan, bahwa anak-anakpun sudah mengenal tokoh-tokoh hantu/setan/dedemit/
lelembut lengkap dengan sifat dan deskripsinya. darimana pengetahuan ini
diperoleh ? Selain pendidikan dan pergaulan, faktor input melalui media massa juga
perlu diwaspadai. Saat ini Televisi cukup marak dengan acara-acara yang
mengekspose ketakutan dan imajinasi negatif dengan memunculkan tayangan-tayangan
semacam “dunia lain, dua dunia, uji nyali, tempat angker, di sini ada Tuyul
dll”, tak dipungkiri bahwa semuanya ini berperan dalam menanamkan ketakutan dan
kepercayaan tersebut.
Kebersamaan,
baik dalam ikatan komunitas gereja maupun keluarga memiliki peran penting bagi
anak-anak/kaum muda dalam memahami nilai-nilai budaya dan berbagai informasi
yang tidak dipahami. Misalnya dalam memahami mitos yang berkembang dalam
masyarakat. Mitos pada masyarakat tradisional tidak jarang dikembangkan dengan
tujuan yang baik, yaitu dalam pembentukan norma dan etika. Misalnya, tidak
boleh keluar malam karena secara etis tidak baik berkeliaran malam hari. Hal
ini diperkuat dengan kisah-kisah mitos agar orang menjadi takut. Kisah-kisah
tentang mayat yang bagkit dari kubur terkait erat dengan bagaimana hidup yang
dijalani di dunia sebelum kematian. Inti dari kisah seram ini sebetulnya untuk
mengajarkan agar orang “memperhatikan bagaiamana ia hidup”, supaya ketika
kematian datang maka hidup yang baik akan berdampak pada kematian yang baik. Meskipun
pembentukan moral/karakter melalui kisah menakutkan ini perlu di tinjau ulang,
namun fakta menunjukkan bahwa cerita-cerita semacam ini kadangkala tak
terhindarkan sebagai informasi yang memasuki kehidupan anak/kaum muda.
Disinilah pendampingan, keterbukaan dan kebersamaan akan menolong mereka untuk
mengatasi ketakutan dan menangkap esensi pembentukan moral yang diharapkan.
SELESAI
"Hitherto
the Lord has helped us."
Ebenhaezer
From the desk of Daniel Lauw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar