PENDAHULUAN
“Dimana ada sinar matahari, di situ ada orang China”,
demikian salah satu ungkapan bangsa China/Tionghoa[1]
yang menggambarkan luasnya penyebaran bangsa ini. Bangsa ini memang merupakan
salah satu bangsa dengan peradaban dan kebudayaan tertua di dunia, bahkan
tertua di Asia setelah India. Sejarah mencatat sebelum periode Nabi Musa
berjumpa dengan Yahweh disemak duri yang menyala-nyala, bangsa China sudah ada
di muka bumi dan muncul sebagai salah satu ras manusia yang cukup besar.
Demikian juga sebelum muncul negara-negara seperti Jepang, Korea, Taiwan,
Hongkong, Singapura dan beberapa peradaban Indo-China yang tersebar luas di
Asia, negara China sudah ada terlebih dahulu dengan kekuatan budaya dan
pengaruhnya yang merambat ke seluruh dunia sampai saat ini[2] , tak
terkecuali di Indonesia. Keberadaan masyarakat Tionghoa – pendatang maupun keturunan – sudah cukup berakar di bumi pertiwi
ini sehingga praktek-praktek kebudayaan mereka pun dapat di jumpai di berbagai
pelosok negeri. Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, kelompok masyarakat
ini cukup di hormati dan di sebut sebagai vreemde
Oosterlingen, yaitu kelompok masyarakat Timur Asing (China, Arab dan
India), yang status sosialnya berada di antara bangsa Belanda dan inlander (bumiputera)[3]. Jarak sosial antara kelompok masyarakat Timur
Asing dengan inlander ini cukup jauh terbentang. Hal ini tentu membawa dampak
bagi perkembangan budaya-nya, terutama dalam perjumpaannya dengan kekristenan
yang melekat pada kehadiran bangsa Belanda.
Pada satu sisi, status sosial yang berada jauh di atas
status sosial masyarakat pribumi menyebabkan praktek-praktek tradisi budaya
Tionghoa dimungkinkan untuk di jalankan/di praktekkan di Indonesia selama
hubungan sosial-dagang-politis dengan penguasa Belanda berjalan dengan baik.
Sempitnya ruang gerak bagi budaya Tionghoa justru muncul pasca kemerdekaan
dengan PP-10 yang di keluarkan oleh Presiden Soekarno, dan makin ketat pada
masa Presiden Soeharto yang menganggap orang-orang Tionghoa sebagai pendukung
komunisme dan agen RRC. Pada masa itu seluruh bahasa, budaya dan agama Tionghoa
dilarang muncul di ruang publik, bahkan identitas nama-pun harus di pribumikan
menjadi nama Indonesia.
Namun pada sisi lain, ketika budaya Tionghoa mengalami
perjumpaan dengan kekristenan maka keduanya berdiri bagaikan dua kekuatan yang seolah-olah
tidak mungkin di satukan. Kekristenan masuk dalam superioritasnya sebagai
satu-satunya agama yang paling benar dengan segala atribut dan nilai budaya
barat yang di bawanya, sementara “kebudayaan
bangsa-bangsa dan agama lain dipandang
sebagai karya-karya iblis dan karena itu dari kodratnya bertentangan dengan
Injil Yesus Kristus”[4]. Akibatnya
muncul sikap anti terhadap adat istiadat dan tradisi Tionghoa. Budaya Tionghoa dipandang
tidak lebih dari sekedar mitos yang tidak koheren dan tanpa sebab, sehingga
mustahil di cari penalarannya[5]. Dianggap
sarat dengan okultisme dan tidak sejalan dengan Firman Tuhan. Sementara bagi
orang Tionghoa yang masih berpegang pada adat istiadat dan tradisi, kekristenan
tidak lain adalah “agama orang barat” yang tidak menghargai budaya, terutama
budaya dan adat istiadat Tionghoa yang menjunjungi tinggi pemujaan leluhur. Menjadi
orang Kristen seolah-olah berarti juga harus meninggalkan budaya Tionghoa-nya,
dan menjadi orang Tionghoa seakan-akan juga berarti tidak dapat menjadi orang
Kristen.
Kenyataan inilah yang sering menimbulkan dilema pada
diri orang Kristen Tionghoa, karena pada satu sisi mereka menyadari diri mereka
sebagai orang Kristen namun pada saat yang bersamaan, mereka juga sadar
terlahir sebagai orang Tionghoa. Ajaran kekristenan dan budaya Tionghoa seolah berada
pada sisi berseberangan sehingga orang harus memilih salah satu dan
meninggalkan yang lainnya. Hal ini tentu tidak mudah. Bagaimanapun juga hidup
manusia tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya yang melingkupi dan
membentuknya. Mengubur semua warisan budaya, sebenarnya berarti mengubur diri
kita sendiri juga ?[6] ; Sementara ketika orang
Kristen Tionghoa menjalankan tradisi-tradisi tersebut maka ia pun dapat di
anggap terlibat dalam praktek okultisme yang melanggar Firman Tuhan.
Dilema tersebut nampak dari berbagai pertanyaan yang
muncul dari orang-orang Kristen Tionghoa. Misalnya, Apakah orang Kristen boleh
merayakan Imlek, bolehkah mengunjungi makam orang tua/leluhur (Ceng Beng),
bolehkah melestarikan barongsay, bolehkah berdoa di depan makam/peti jenazah,
bolehkah memecah semangka dalam upacara pemberangkatan jenazah dll. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut hanya sebagian kecil dari puluhan pertanyaan yang intinya mencerminkan
“kebingungan” untuk menentukan sikap sebagai orang yang beragama Kristen sekaligus
berbudaya Tionghoa.
Apakah budaya dan iman Kristen memang berseberangan ?
Paper singkat ini hendak menunjukkan bahwa antara budaya (Tionghoa) dan iman Kristen
sesungguhnya dapat terjadi perjumpaan yang menolong orang kristen mengalami
pertumbuhan spiritualitas dengan tetap berpijak pada akar budayanya sekaligus bertumbuh
dalam penghayatan akan iman Kristennya. Salah satu aspek budaya yang akan
penulis soroti yaitu dalam hal penghormatan terhadap leluhur sebagaimana
dinampakkan melalui hari raya Ceng Beng.
HARI RAYA
CENG BENG
Hari raya Ceng Beng (Ceng/Qing = bersih; Beng/Ming =
Terang) merupakan salah satu dari 14 hari raya yang sangat di hormati oleh
orang Tionghoa[7]. Hari raya ini di adakan setahun sekali, yaitu
pada bulan ke tiga tahun Imlek, atau pada tanggal 5 atau 6 april menurut
kalender Masehi. Pada hari raya tersebut, orang Tionghoa akan mengunjungi
(ziarah) ke makam orang tua/ leluhur. Mereka membersihkan makam tersebut,
menaikkan doa-doa dan membakar kertas sembahyang, membakar dupa (hio), lilin
dan memberikan sesajian[8]. Sesajian
tersebut merupakan persembahan kepada roh almarhum dan biasanya berupa
buah-buahan atau kue basah yang di sukai oleh almarhum ketika masih hidup. Selain
itu orang Tionghoa juga membakar uang kertas, rumah-rumahan, mobil-mobilan
bahkan boneka kertas (yang diartikan sebagai pembantu) yang dikirimkan ke alam
baka untuk menyenangkan hati leluhur. Di penghujung upacara Ceng Beng, mereka
akan menempelkan beberapa kertas kuning yang panjang dan kecil di atas Bong Pai
(batu nisan) [9].
Bagi orang Tionghoa, kematian dipahami bukan sebagai
“titik” melainkan “koma”, yang berarti masih ada kelanjutan dan hubungan.
Kematian tidak hanya di kaitkan dengan keadaan tubuh ini saja tetapi juga masih
merupakan bagian dari dunia, dari kehidupan dan dari keluarga[10]. Ketika
orang tua meninggal, maka mereka akan berada dalam kerajaan langit yang di
pimpin oleh Kaisar langit (Heavenly Emperor/Shang Ti) yang menguasai para dewa dan
para leluhur serta segala yang hidup di bumi. Langit dan bumi ini memiliki
kaitan yang erat, sehingga masih dapat terjalin komunikasi. Komunikasi dari
bumi di tempuh melalui pemberian sesajen (korban, persembahan) sebagai bentuk
pembagian rejeki dan doa-doa, sedangkan kehendak langit dapat diketahui
menggunakan ramalan. Apabila orang-orang di bumi lalai memberikan persembahan
kepada para leluhur, maka hal ini akan mengakibatkan kemarahan yang berdampak
bencana bagi bumi maupun kesialan hidup bagi keturunan leluhur tersebut.
Sembahyangan (dan persembahan/sesajen) kepada para leluhur akan mencegah
bencana tersebut, dan jika dilaksanakan dengan tepat justru akan mendatangkan
rejeki (Ping An). Karena para leluhur tersebut diyakini memiliki pengetahuan terhadap
masa depan mereka yang masih hidup di bumi, sekalipun sangat terbatas, yaitu
hanya pada anak cucu atau keturunan satu marga[11].
Mereka juga diyakini masih dapat melakukan tindakan, baik berupa hukuman, yaitu
dengan menghalangi rejeki dan mempersulit hidup mereka atau sebaliknya dengan
menolong dan menjadikan hidup mereka lancar/sukses.
Dalam ritual sembahyang-nya, orang Tionghoa bukan
hanya mengirim doa agar jalan arwah tersebut bersih (Ceng) dan terang (Beng)
namun juga agar mereka di berkati. Karena itu dalam doa, mereka juga mohon
restu untuk pekerjaan mereka, pernikahan, mohon perlindungan jika akan pergi
jauh, minta ijin jika akan menjual rumah warisan dll. Tidak jarang dalam
kesempatan tersebut, mereka juga akan mohon pengampunan atas segala kesalahan
yang pernah dilakukan. Dalam tradisi asli, penyesalan/permohonan pengampunan
ini di awali dengan hari raya makan dingin satu hari sebelumnya. Saat itu
mereka pantang menyalakan api dan tidak boleh makan makanan yang hangat. Semua
harus dingin. Bagi orang Tionghoa yang menyukai makanan yang hangat bahkan
panas, makan makanan dingin adalah sebuah penyiksaan dan hal ini di artikan
sebagai pengorbanan /bentuk keprihatinan supaya roh leluhur mau berbelas kasih
dan memberikan pengampunan[12].
Bagi orang Tionghoa, warna-warna tertentu dihayati
bukanlah sekedar warna, namun ia memiliki makna. Hal ini diterapkan dalam
keyakinan mereka akan Feng Shui/Hong Sui[13],
yang memiliki 5 unsur dasar sesuai arah mata angin Pat Kwa, yaitu unsur air,
logam, kayu, tanah dan api yang masing-masing di simbolkan dengan warna hitam,
putih, hijau, kuning dan merah[14].
Dalam upacara tradisi, warna-warna tersebut juga memiliki makna. Misalnya hitam
sebagai simbol duka, putih sebagai simbol terang, merah simbol semangat/bahagia
dsb. Secara khusus warna kuning bagi orang Tionghoa dimaknai sebagai “warna identitas” [15].
Dalam mitos kuno, mereka percaya bahwa bangsa Tionghoa di lahirkan dan
dibesarkan oleh sungai kuning (Huang Ho). Sungai Kuning inilah, menurut catatan
sejarah Tiongkok, yang menaungi lahirnya budaya bangsa Tionghoa[16].
Penjiwaan ini nampak dari berbagai ungkapan yang mengarah pada identitas dan
budaya bangsa Tionghoa, misalnya kulit kuning (= orang Tionghoa), tanah kuning,
beras kuning, kacang kuning, sungai kuning, jubah kuning (= jubah kerajaan),
istana kuning (= istana raja), kaisar kuning (Huang Ti), muka kuning (=
perempuan cantik), bahkan alam bakapun di sebut “Alam Kuning”[17].
Dengan memasang kertas warna kuning pada Bong Pai, maka hal itu untuk
menunjukkan :
1.
Identitas. Yaitu
bahwa almarhum adalah orang Tionghoa dengan demikian, anak cucunya juga orang
Tionghoa. Identitas ini merupakan kebanggaan.
2.
Harapan. Yaitu agar
roh leluhur dapat masuk ke sorga (alam kuning)
3.
Pengakuan
Sosial. Yaitu sebagai penanda bahwa makam tersebut masih memiliki keluarga yang
berbakti. Makam yang tidak terawat menunjukkan bahwa anggota keluarga almarhum
tidak berbakti (Put Hao).
Bagi orang Tionghoa, sebutan Put Hao ini sangat di
takuti, merendahkan martabat dan sangat di hindari. Hal ini tidak terlepas
dengan sistem etika Tionghoa yang di sebut “Hao/Hauw” (Filial Piety)[18].
Konsep etika ini mempengaruhi setiap aspek hubungan kekeluargaan dan memberikan
arti bagi kehidupan. Semua kebiasaan dan adat tradisional rakyat secara
kolektif maupun individual memperlihatkan pengaruh praktek dari prinsip etika
ini. Dalam etika ini, keluarga mempunyai kedudukan yang sangat penting, yaitu
sebagai fondasi dan unit (primer) masyarakat. Seorang ahli kebudayaan China, Mencius
mengatakan “akar dari kerajaan ada pada
negara, dan akar dari negara ada pada keluarga”[19] sehingga
keluarga dianggap sama kedudukannya dengan kuil/tempat ibadah[20]. Praktek
Hao (hormat/bakti) harus di mulai pada orang tua sebelum pada bangsa dan
negara. Orang yang tidak menghormati/berbakti pada orang tua akan di sebut anak
yang Put Hao dan akan mengalami kehidupan yang tidak baik selama di dunia
maupun di akherat. Secara harafiah, Put Hao berarti “tidak berbakti”, namun dalam
keyakinan orang Tionghoa, maknanya jauh lebih dalam dari sekedar tidak
berbakti, karena ia dapat di artikan sebagai anak yang durhaka. Dengan
demikian, dibalik kata Put Hao terkandung kutukan[21].
Hao pada orang tua ini tidak memiliki batas waktu,
karena itu harus di nampakkan selama orang tua masih hidup maupun ketika mereka
sudah meninggal. Merupakan pantangan yang sangat besar bagi orang Tionghoa untuk
melupakan budi orang tua. Ceng Beng dalam pemahaman ini dilihat sebagai bukti
dari bakti anak terhadap orang tua yang tidak terpisahkan / terhentikan oleh
kematian. Berbagai kesibukan pekerjaan dan urusan keluarga tidak jarang membuat
seorang anak melupakan leluhurnya, namun dengan adanya Ceng beng maka
sesibuk-sibuknya seseorang, minimal setahun sekali mereka harus mengingat dan
mengunjungi makam orang tua/leluhurnya. Dengan demikian di harapkan mereka
tidak melupakan akar identitas dan budayanya.
PERJUMPAAN
IMAN KRISTEN DENGAN TRADISI CENG BENG
Jika di kaji
lebih dalam, sikap orang kristen yang menolak tradisi dan adat istiadat budaya
Tionghoa tidak sepenuhnya bertolak dari persoalan teologis-doktriner, melainkan
karena adanya benturan antara “budaya Kristen” dan budaya Tionghoa. Apa yang di
sebut “budaya Kristen” ini sebenarnya tidak ada, yang ada adalah budaya barat
yang melekat pada ajaran kekristenan yang di bawa oleh para misionaris barat. Prof.
E.G.Singgih mengatakan bahwa “Maklumlah banyak dari misionaris Barat dahulu
diam-diam ingin menjadikan orang Kristen berbudaya seperti mereka. Budaya barat
itu Kristen, sedangkan kekristenan itu barat. Orang Jawa Kristen menjadi
bingung, terlebih lagi orang Cina Kristen di Jawa”[22].
Budaya
sesungguhnya sangat melekat dalam kehidupan manusia dan hal ini sangat
mempengaruhi dinamika penghayatan religiositas seseorang. Agama selalu di
ekspresikan melalui budaya, dan budaya berakar pada agama. Tanpa budaya, agama
tidak dapat dinyatakan dengan konkrit[23]. Oleh
karena itu, penghayatan akan religiositas yang akan menumbuhkan spiritualitas
yang lebih matang, mau tidak mau harus berakar dari konteks budaya yang
menghidupi dan dihidupi oleh seseorang. Selama orang Kristen di Indonesia masih
bersikap eksklusif dengan mengasumsikan budaya barat sebagai “Budaya Kristen”
yang paling benar dan memegang teguh warisan radikal yang menolak budaya lain,
maka iman Kristen akan sulit memahami dan mengalami perjumpaan dengan
tradisi-tradisi non-barat semacam hari raya Ceng beng tersebut.
Penghayatan akan
Iman Kristen seharusnya bertolak bukan dari warisan ajaran para pendahulu,
melainkan dari terang Alkitab. Karena dibalik lahirnya ajaran/doktrin tertentu,
pasti di dalamnya juga termuat nilai-nilai budaya yang melatarbelakanginya.
Dengan demikian titik tolak pertama untuk mengalami perjumpaan antara iman
Kristen dengan tradisi Tionghoa adalah dengan menggunakan Alkitab sebagai “kaca
mata” untuk menimbang dan menilai budaya tersebut, bukannya menggunakan “budaya
Barat” untuk menilai “Budaya Timur”. Titik tolak ke dua yang perlu di bangun
adalah sikap yang terbuka untuk memahami spirit yang ada di balik adat istiadat
dan tradisi tersebut. Tidak jarang penolakan terhadap sebuah tradisi di
sebabkan karena ketidaktahuan mengapa ada tradisi semacam itu, apa tujuan dan
fungsinya. Dengan demikian, sebagai orang Kristen kita perlu memiliki
ketrampilan untuk berjalan di tengah, tidak terjatuh pada modernisme (mengambil
bentuk budaya Barat – sering dalam bentuk yang paling dangkal) di satu pihak
dan di lain pihak tidak jatuh dalam arkaisme (mengambil bentuk budaya Timur –
sering dalam bentuk yang paling feodal)[24].
Tradisi Ceng Beng
ini memang merupakan tradisi yang terbentuk dari konsep budaya paternalistik
(Xiao-Dao) dalam prinsip etika yang di sebut “Hao/Hauw” (Filial Piety) yang berbaur
dengan unsur-unsur mitologi dan tahyul. Namun jika elemen-elemennya dapat
diperjelas, maka di dalamnya dapat ditemukan kisi-kisi perjumpaan dengan iman Kristen.
Apabila keduanya diinkorporasikan dengan baik dalam kerangka iman Kristen maka
pada gilirannya akan melahirkan spiritualitas
baru yang berakar pada budaya (inkulturasi) dan membawa pertumbuhan dan
penghayatan yang lebih kuat pada iman Kristen.
Walaupun tradisi
Ceng Beng ini terkait dengan pemujaan leluhur, namun sebenarnya motif religius
umum yang mendasari budaya ini tidaklah eksklusif, sebab ia juga di dapati pada
bangsa-bangsa lain[25]. Dalam budaya Jawa pun tradisi ini dapat di
temui berupa tradisi “nyekar” dan “ngirim donga”[26].
Demikian juga dalam tradisi bangsa Yahudi sebagaimana di saksikan dalam
Alkitab, tradisi mengunjungi kubur dan mengenang leluhur dapat di jumpai.
Misalnya ketika Yesus di kuburkan, para murid wanita juga mengadakan kunjungan
ke makam dengan membawa rempah-rempah untuk meminyaki mayat Yesus (Mrk 16:1-2).
Dalam Kitab Kejadian tercatat dengan teliti mengenai Abraham yang menguburkan
istrinya di makam Makhpela (Kej 23) dan dikemudian waktu juga menjadi makam
Abraham, Ishak dan Yakub, para leluhur Israel (Kej 25:9; 49:31, 50:13).
Ketelitian deskripsi ini menunjukkan bahwa kematian dan pengenangan terhadap
leluhur merupakan bagian yang penting dalam Alkitab. Penghormatan pada leluhur
tidak terlepas dari sikap ibadah mereka terhadap Allah dan mempunyai makna
penerusan sejarah, bahkan berkembang menjadi adat istiadat bangsa. Bagi orang
Yahudi, beribadah kepada Allah juga berarti menghormati leluhur[27].
Secara praktis,
kunjungan ke makam leluhur untuk mengenang dan membersihkan kubur merupakan
tradisi yang tidak bertentangan dengan Alkitab. Persoalan yang seringkali
menjadi penolakan bagi orang Kristen adalah pada praktek penyembahan, misalnya
dengan menaikkan doa bagi arwah leluhur, memohon ampun atas kesalahan di masa
lalu atau sembahyangan untuk minta ijin, berkah, rejeki dll. Di balik praktek
sembahyangan tersebut terdapat pemahaman bahwa roh leluhur masih dapat
berkomunikasi dan melakukan tindakan-tindakan timbal balik dengan keluarga yang
masih hidup. Dalam iman Kristen, roh leluhur sudah terpisah dengan kehidupan
manusia (Luk 16:19-31), tidak tahu apa-apa, termasuk tidak tahu apa yang
terjadi pada keturunannya (Pkh 9:5-6).
Demikian juga doa yang meminta petunjuk arwah merupakan hal yang tidak
diperkenan Tuhan (Ul 18:10-11). Doa minta petunjuk hanya bisa ditujukan kepada
Allah, dan bukan kepada arwah (Yes 8:19). Oleh karena itu hal-hal yang terkait dengan
pemujaan seperti sembahyangan (baik lesan maupun dengan kartu sembahyang) dan
mendirikan altar sebaiknya tidak perlu dilakukan. Tetapi jika penyembahan yang
dimaksudkan hanya berupa “soja” atau “paikui”, maka penyembahan yang dimaksud
tersebut bukanlah penyembahan melainkan penghormatan, dan hal ini tidak
bertentangan dengan iman Kristen. Bentuk penghormatan semacam ini merupakan
bentuk penghormatan kepada orang tua yang sudah memiliki bentuk yang tetap/khas
dalam budaya Tionghoa, baik ketika orang tua masih hidup maupun ketika sudah
meninggal, dan bukan bermaksud menyembah (dalam arti mendewakan/ meng-ilahkan).
Etika “Hao/Hauw”
(hormat/bakti terhadap orang tua) yang tercermin dalam tradisi Ceng Beng
sebenarnya juga memiliki kesejajaran dengan Alkitab. Ada banyak bagian Alkitab
yang memuat perintah Tuhan untuk menghormati orang tua (misalnya Ul 5:16; Ams
1:8 ; Mat 15:4 ; 19:19; Mrk 7:10, 10:19; Kol 3:20; Ef 6:2). Bahkan terhadap
bangsa Israel, Allah menetapkannya dalam Dasa Titah sebagai hukum yang berada
di antara hukum yang terkait relasi dengan Tuhan dan sesama (Keluaran 20:12), atau
sebagai hukum pertama dalam etika hubungan antar manusia. Artinya, di atas segala
etika antar manusia, menghormati orang tua adalah hal yang utama dan pertama.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa “Hao” memiliki dasar dalam Alkitab dan tidak
berbenturan dengan budaya Tionghoa.
Namun Alkitab
lebih menekankan Hao tersebut pada saat orang tua masih hidup, karena setelah
mati, mereka tentu tidak tahu dan tidak dapat
merasakan apa-apa. (Pkh 9:5-6). Karena itu penghormatan terhadap leluhur yang
sudah meninggal tentunya harus dipahami dalam bingkai dan cara yang berbeda,
yaitu untuk memelihara kasih dan mengenang jasa leluhur atas kehidupan
anak-cucunya. Bukan pemujaan melainkan penghormatan. Hanya Tuhan yang patut di
puja, namun penghormatan dapat diberikan kepada orang tua bahkan sekalipun
mereka sudah meninggal. Logikanya sederhana, yaitu bahwa manusia harus belajar
mengasihi sebagaimana Tuhan mengasihi, dan kasih yang Tuhan miliki adalah kasih yang kekal dan tidak
terpisahkan oleh apapun, bahkan oleh maut sekalipun (Rm 8:38-39). Apabila kasih
kepada orang tua merupakan hal yang paling mulia di antara segala jenis relasi
antar manusia, maka kasih seperti inipun tidak perlu “dimatikan” seiring
kematian orang tua. Kasih ini dapat tetap dimiliki dan ditunjukkan dalam sikap
hormat yang tidak terputus oleh kematian.
. Kong Hu Cu
(Confusius) juga mengajarkan bahwa bakti kepada orang tua (Hao) sebagai bakti
yang harus di utamakan dan diwujudkan ketika mereka masih hidup. “Berbaktilah pada orang tuamu ketika mereka
hidup dan berdukalah ketika mereka mati[28]. Dengan
demikian Hao sebenarnya menemukan kemuliaannya ketika dinyatakan saat orang tua
masih hidup, bukan hanya pada saat mereka sudah meninggal. Apalah artinya bakti
(hao) yang datang setelah orang tua meninggal dengan membakar segudang kertas
sembahyang dan rumah-rumahan, mobil-mobilan, padahal semasa hidup mungkin
anak-anaknya bersikap kurang ajar atau tidak perduli alias tidak berbakti (Put
Hao)[29].
Iman Kristen
perlu memahami essensi dari penghormatan terhadap leluhur ini dan tidak hanyut
oleh penghakiman dengan menyatakannya sebagai penyembahan berhala. Karena bagi
orang Tionghoa, penghormatan terhadap orang tua bahkan leluhur merupakan hal
yang tidak dapat di tawar-tawar. Salah satu “ketakutan” para orang tua sehingga
melarang anak-anaknya menjadi orang Kristen tidak jarang di dasari oleh
pemikiran bahwa kelak makam mereka tidak akan di rawat, jenazah mereka tidak di
hormati dan anak-anak akan menjadi anak Put Hao, yang berarti menjadi anak
durhaka, hidupnya celaka dan di tolak oleh surga (Kerajaan langit/alam baka).
Bahkan muncul pandangan umum di kalangan orang Tionghoa, seandainya mau jadi orang
Kristen, jadilah orang Kristen Katholik, sebab di sini mereka masih mempunyai
kebebasan untuk dapat memasang hio/membakar dupa sebagai tanda bakti[30].
Membakar
hio/dupa sebenarnya merupakan warisan Alkitab dan tidak ada satu ayatpun yang
melarang penggunaannya. Dalam Perjanjian Lama, penggunaan dupa/kemenyan merupakan
bagian yang penting dalam Ibadah. Bahkan di Bait Suci juga di sediakan mezbah
khusus untuk “pembakaran ukupan” (kata lain untuk ukup adalah dupa, incense, wewangian[31])
sebagaimana yang dikerjakan oleh Zakharia, ayah dari Yohanes Pembaptis (Luk
1:8-10). Dupa/kemenyan juga merupakan lambang doa (Mzm 141:2; Why 8:3), lambang
ibadah (Mal 1:11) dan persembahan yang berharga bagi Raja (bdk Mat 2:11). Bahkan asal mula bahan-bahan pembuatan
dupa/hio yang berasal dari rempah-rempah berbau wangi sebenarnya juga ide dari
Tuhan sendiri (lihat Kel 30:34-35). Gereja-gereja pasca Perjanjian Baru
(Katholik dan Ortodoks) meneruskan tradisi ini
namun gereja Protestan dengan pengajaran dunia Barat menolaknya, bahkan
menganggap penggunaan dupa sebagai tanda orang kafir yang dipertentangkan
dengan orang beriman yang tidak menggunakan dupa[32].
Apabila merujuk pada warisan Alkitab dan tradisi gereja, penggunaan wewangian
dengan membakar hio sebagai simbol doa orang Tionghoa sebenarnya dapat
diterima.
MEMBANGUN
SPIRITUALITAS BARU YANG KONTEKSTUAL
Mencermati
perjumpaan iman Kristen dengan tradisi Ceng Beng sebagai salah satu contoh
tradisi dalam budaya Tionghoa, nampak bahwa kekristenan perlu me-rekonstruksi
pola pikir kolonial (kolonialisme) yang membangun paradigma negatif terhadap
budaya non-barat dan secara turun temurun serta dalam waktu yang cukup lama
menunjukkan sikap-sikap penolakan tanpa mau mencoba memahami nilai-nilai
religius yang termuat dalam budaya tersebut. Agama justru akan bertumbuh
apabila mampu menangkap religiositas yang berporos pada pengalaman dan
penghayatan dalam budaya. Religiositas inilah yang menjadi inti agama[33]
dan menghantarkan umat Kristen pada pertumbuhan spiritualitas yang kontekstual.
Penolakan
terhadap tradisi dan menganggapnya sebagai hal yang tabu, kafir dan harus di
jauhi tidak jarang disebabkan karena dirinya tidak dapat membedakan tradisi
yang sejalan dengan Alkitab dan yang tidak. Penolakan ini lah yang seringkali
menyebabkan orang kristen dianggap tidak tahu adat dan tidak menghormati
budaya. Sementara orang Kristen sendiri menuduh orang Kristen Tionghoa yang
menjalankan tradisi budayanya sebagai orang Kristen pada siang hari dan animis
pada malam hari[34]. Sebagai contoh larangan
“soja” atau “paikui” di depan makam atau peti jenazah di sebabkan karena
ketidaktahuan bahwa “soja” atau “paikui” sebenarnya merupakan bentuk
penghormatan ala Tionghoa dan bukannya sebuah penyembahan; demikian juga dengan
asumsi turun temurun terhadap hio/dupa/kemenyan yang dianggap sebagai
penyembahan berhala dan ditolak mentah-mentah, padahal ini merupakan warisan
yang alkitabiah.
Dalam
mengembangkan spiritualitas yang baru dan kontekstual, kekristenan perlu lebih terbuka
dalam memahami tradisi dalam ragam budaya yang ada, termasuk budaya Tionghoa. Orang
Kristen Tionghoa tetap dapat menjadi Kristen yang taat sekaligus sebagai orang
Tionghoa yang menghidupi budayanya. Bukan berarti kekristenan lebur begitu saja
tanpa sikap kritis ke dalam budaya, melainkan kekristenan dapat
mentransformasikan budaya dalam bingkai iman kristen. Spiritualitas kristen tetap
harus memiliki dasar teologis sesuai Alkitab, namun juga tetap menyadari diri
sebagai bagian dari dan yang dibentuk oleh kebudayaan[35].
Transformasi
budaya senantiasa memiliki dua sisi, yaitu konfirmasi dan konfrontasi[36].
Konfirmasi berarti mengukuhkan dan membenarkan. Dalam tradisi Ceng beng,
konfirmasi ini nampak misalnya dengan memberikan apresiasi bagi orang Kristen
Tionghoa untuk mengunjungi makam leluhur pada hari raya tersebut, membersihkan
makam, menyatakan penghormatannya terhadap leluhur dengan tata cara mereka,
menyalakan hio bahkan menaikkan doa syukur atas kenangan-kenangan dan jasa
almarhum/leluhur semasa hidupnya. Penyalaan
lilin dan penempelan kertas warna kuning juga sejalan dengan tradisi gereja
yang menghargai lilin dan memaknai warna-warna sebagaimana nampak dalam
liturgi/ibadah.
Sedangkan konfrontasi
berarti penghakiman dan pemotongan. Dalam tradisi Ceng Beng, konfrontasi ini
nampak ketika iman Kristen berhadapan dengan pemahaman tradisi yang menjalin
komunikasi antara keluarga yang hidup dengan leluhur yang sudah meninggal, yang
kemudian dinyatakan melalui sembahyang meminta rejeki, perlindungan dan restu
dari leluhur. Demikian juga dengan segala bentuk persembahan yang sebenarnya
bermakna “upeti” berupa makanan, buah dan kertas-kertas berbentuk rumah, mobil
yang dibakar. Terhadap nilai-nilai yang tidak sesuai dengan iman Kristen inilah
kekristenan harus berani menolak/memotong.
Ketika iman
Kristen sungguh-sungguh mau terbuka memahami tradisi Ceng Beng dalam perjumpaan
tersebut, maka di dalamnya akan ditemukan nilai-nilai religius yang seiring
iman Kristen namun dapat dikembangkan dalam pendekatan budaya yang dikenal oleh
mereka. Misalnya etika Hao/Hauw (Filial Piety) yang memiliki banyak aspek
keluhuran untuk mempersatukan umat dan membangun kesadaran peran dan tanggung
jawab sebagai bagian dari komunitas. Demikian juga di balik praktek
penghormatan leluhur , didalamnya terkandung satu kepercayaan akan adanya
kehidupan baru sesudah kematian badan dan kepercayaan akan eksistensi Allah
sebagai sumber tunggal dari segala yang hidup, baik kehidupan sementara manusia
di muka bumi ini maupun kehidupan kekal sesudah kematian badan[37].
Spiritualitas
Kristen yang mentransformasikan budaya adalah spiritualitas yang sadar konteks.
Ia bertumbuh dalam keseimbangan antara teologia dan budaya, serta mampu menyikapi
adat istiadat dan tradisi dengan bijak. Berani menolak apa yang perlu di tolak,
namun juga berani merangkul apa yang perlu di rangkum.
By Race, I am Chinese
By Grace, I am Christian
"Hitherto
the Lord has helped us."
Ebenhaezer
From the
desk of Daniel Lauw
Prodi Pasca Sarjana Master of Arts in Practical
Theology (MAPT)
Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana
Yogyakarta,
[1] Li
Xiao Xiang dan Fu Chun Jian, Origins of
Chinese People and Customs, (Jakarta: PT Elex Media Computindo (Kelompok
Gramedia), 1995), h.13. Orang China/Tionghoa menyebut kebangsaan mereka
berdasarkan dinasti, seperti Han Ren (Dinasti Han), Tang Ren/Teng Lang (Dinasti
Tang), China (Dinasty Chin). Nama China kuno pada awalnya adalah Hua Xia (tanah
indah dan subur di dataran tengah), kemudian berubah menjadi Cung Kua/Tiongkok
(Negeri tengah). Nama Tiong Hoa merupakan gabungan dari nama Cung Kua dan Hua
Xia menjadi Cung-Hua atau Tiong Hoa. Dalam paper ini, penulis tidak membedakan
penggunaan istilah China maupun Tionghoa.
[2] J.S. Kwek, Mitologi
China & Kisah Alkitab: Mitos, Legenda & Adat Istiadat China Yang paralel
Dengan Kisah-Kisah Alkitab, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2006), h. vii
[3] Emanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan : Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium
III,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 117
[4] Jebadu, Alex, Bukan Berhala ! : Penghormatan Kepada Para Leluhur, (Maumere:
Penerbit Ledalero, 2009), h. 1
[5] Willy
Berlian, “Iman dan Budaya Tionghoa: Sebuah Rekayasa Perpaduan Festival Menurut
Kalender Lunar Dan Kalender Gerejawi”, dalam Markus T Suryanto (ed), Hari-Hari Raya Tionghoa dan Firman Tuhan,
(Jakarta: Pelkrindo, 1995), h. 54
[6] Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi Dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran mengenai kontekstualisasi
Teologi di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2000), h. 45
[12] Tradisi hari raya makan dingin ini tidak begitu
populer dan jarang dilakukan orang Tionghoa di Indonesia, Markus T. Suryanto, Hari-Hari Raya Tionghoa dan Firman Tuhan,
h. 4
[13] Feng Shui/Hong Sui adalah kepercayaan yang
beranggapan bahwa tata letak ruangan, rumah, taman, gedung, kuburan, jembatan
dan bendungan terpengaruh kekuatan meridian alam. Tujuan dari Hong Sui ialah
mengelola dan membina sumber nergi vital yang tersembunyi di dalam tanah yang di
sebut Chi. Hal ini terkait dengan keinginan hidup manusia untuk memiliki
kebahagiaan, keamanan, kekayaan dan kekuasaan.
[15] Ada beberapa versi yang melatarbelakangi
munculnya tradisi menempel kertas kuning ini dan semua versi mengarah pada
makna identitas penghuni makam. Lihat Goh Pai Ki dan Fu Chun Jian, Origins of Chinese Festivals, (Jakarta:
PT.Elex Media Komputindo (Kel.Gramedia), 2000), h.102
[16] Willy Berlian, “Budaya Tionghoa, Budaya
Inlanders”, dalam, Markus T. Suryanto (ed), Hari-Hari
Raya Tionghoa dan Firman Tuhan, h.73
[18] Hsieh
Yu Wei, “Keluarga Dalam Masyarakat Konfusianisme”, dalam, Markus T. Suryanto (ed),
Hari-Hari Raya Tionghoa dan Firman Tuhan,
h.63
[23] Willy Berlian “Iman dan Budaya Tionghoa”, h. 54
[33] Agus M.Hardjana, Religiositas, Agama &
Spiritualitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005), h. 48 - 49
[35] Daniel J.Adams, Teologi Lintas Budaya: Refleksi Barat di Asia, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2006), h. 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar